Kisah Ahli Maksiat yang Dishalatkan Jenazahnya Oleh Wali Allah
Kabarnusa24.com, Imam Al-Ghazali dalam karya terkenalnya Kitab Ihya Ulumiddin mengisahkan seorang ahli maksiat yang dikenal masyarakat sebagai sampah masyarakat yang kesehariannya hanya mabuk-mabukkan dan beraktivitas di tempat pelacuran (tempat hiburan).
Suatu hari yang panas seorang laki-laki ahli maksiat yang tenggelam dalam dosa meninggal dunia. Tidak ada anggota masyarakat yang simpati pada jenazah laki-laki setengah baya yang tinggal di sudut Kota Bashrah ini, termasuk juga kepada keluarganya. Istri almarhum sendiri tidak menemukan anggota masyarakat yang berkenan membantunya untuk memikul jenazah suaminya yang pemabuk itu karena memang tetangganya juga tidak mengenalnya saking ahli maksiat suaminya.
Istri almarhum terpaksa membayar dua orang untuk memikul keranda yang berisi jenazah suaminya ke mushala. Ia juga tidak menemukan jamaah mushalla yang berkenan menshalatkan jenazah suaminya.
Istri almarhum kemudian memutuskan untuk melanjutkan prosesi pengurusan jenazah. Ia lalu membawa jenazah suaminya ke padang pasir terbuka untuk dimakamkan. Tak disangka ia mendapati seseorang yang seakan telah menunggu lama jenazah suaminya untuk menshalatkan jenazah tersebut. Orang itu tidak lain adalah orang zuhud yang uzlah di sebuah bukit di tepi kota yang terkenal kewaliannya di kalangan penduduk.
Tak berapa lama tersiar kabar di tengah masyarakat Bashrah bahwa orang yang dikenal wali Allah rela dan berkenan menuruni bukit hanya untuk menshalatkan jenazah fulan yang dikenal sebagai seorang pemabuk. Masyarakat Bashrah pun sambil terheran-heran lalu berduyun-duyun merapat ke lokasi pemakaman. Mereka berbaris di belakang ulama kharismatik yang dikenal sebagai wali Allah untuk menshalatkan jenazah tersebut.
Masyarakat yang terheran-heran lalu bertanya kepada ulama kharismatik tersebut. Wali Allah tersebut menjawab, “Dalam mimpi aku mendengar suara langit, ‘Turunlah, temui jenazah fulan. Kamu akan melihat jenazah yang tidak diiringi siapapun kecuali istrinya. Shalatkanlah jenazahnya karena sungguh ia telah diampuni.’”
Mendengar jawaban ulama kharismatik yang rela turun bukit itu, masyarakat Bahsrah makin takjub dan heran. Sedangkan ulama kharismatik ini juga belum mengerti persis alasan pengampunan Allah terhadap jenazah laki-laki pemabuk ahli maksiat tersebut. Wali Allah itu lalu memanggil istri almarhum untuk menggali keterangan perihal apa yang diamalkan oleh almarhum suaminya. Istri almarhum memulai ceritanya bahwa suaminya semasa hidup sebagaimana dikenal masyarakat Bashrah menghabiskan waktu sepanjang hari di tempat hiburan dan mabuk minuman seharian. “Coba kamu perhatikan, kebaikan kecil apa yang pernah dilakukan almarhum suamimu?” tanya ulama kharismatik tersebut. Sementara masyarakat memperhatikan dengan khidmat jawaban istri almarhum.
“Baik, ada tiga hal yang kuingat,” jawab istri almarhum. Pertama, setiap kali sadar dari mabuknya waktu Shubuh almarhum suaminya segera mengganti pakaian, berwudhu, lalu bergegas menuju masjid untuk shalat Subuh berjamaah. Selesai shalat Subuh berjamaah, almarhum kembali ke tempat hiburan langganannya dan tenggelam dalam dosa. Kedua, rumah almarhum tidak pernah sepi dari satu atau dua anak yatim yang disantuni. Bahkan tidak jarang kebaikan almarhum terhadap anak-anak yatim tersebut melebihi kebaikannya terhadap anaknya sendiri. Ketiga, tidak jarang almarhum suaminya sadar di tengah mabuknya pada gelap malam, lalu menangis dengan penyesalan dan bermunajat, “Wahai Tuhan pemilik sudut-sudut neraka Jahanam. Apakah Engkau akan memenuhi sudut-sudut Jahanam itu dengan raga yang hina ini (maksudnya dirinya).” Mendengar keterangan istri almarhum, ulama kharismatik itu berpaling menunggu pemakaman selesai sebelum kembali ke atas bukit di tepi Kota Bashrah. Keterangan istri almarhum menghilangkan keheranan yang sebelumnya hinggap pada dirinya dan masyarakat Kota Bashrah.
Kisah ini memberikan pelajaran kepada kita agar tidak memandang hitam putih seseorang di masyarakat dan tidak meremehkan kebaikan sekecil apapun dalam agama Islam. Wallahu a’lam.
Sumber: Imam Al-Ghazali dalam karyanya. (Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, [Beirut, Darul Fikr: 2018 M], juz IV, halaman 502).