Jakarta || kabarnusa24.com
Pada tanggal, 25 Mei 2023 Ketua MK _Prof. Dr. Anwar Usman, SH., MH_ di Gedung MK telah membacakan amar putusan yang fenomenal dan dinilai politis dalam perkara Nomor. 112/PUU-XX/2022 yang salah satu permohonannya tentang memutuskan masa jabatan pimpinan KPK yang sebelumnya empat tahun menjadi lima tahun berdasarkan Pasal 34 UU 30/2002 tentang KPK, di luar permohonan tentang pengaturan batasan usia calon pimpinan KPK.
Putusan MKRI tersebut telah mengabulkan permohonan atas Pemohon Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron yang pada pokok pertimbangannya menyatakan,
_“… Oleh karena itu, menurut Mahkamah, ketentuan masa jabatan pimpinan KPK selama empat tahun adalah tidak saja bersifat diskriminatif tetapi juga tidak adil jika dibandingkan dengan komisi dan lembaga independen lainnya yang sama-sama memiliki nilai constitutional importance. Selain itu, berdasarkan asas manfaat dan efisiensi, masa jabatan pimpinan KPK selama lima tahun jauh lebih bermanfaat dan efisien jika disesuaikan dengan komisi independen lainnya, sehingga siklus waktu pergantian pimpinan KPK seharusnya adalah lima tahun sekali, yang tentu saja akan jauh lebih bermanfaat daripada empat tahun sekali.”_
Putusan MKRI tersebut telah mendapat tanggapan dan penilaian yang beragam, baik yang mendukung maupun yang menolak.
Bagi yang menolak, *_pertama,_* disampaikan mantan hakim Mahkamah Konstitusi (MK), I Dewa Gede Palguna, menanggapi keputusan MK yang mengabulkan uji materi atau judicial review (JR) yang diajukan oleh Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron.
“Pertimbangan Mahkamah Konstitusi untuk kali ini tidak masuk akal menurut saya,” kata Dewa Palguna disela-sela acara diskusi di Denpasar, Bali, Jumat (26/5/2023), seperti dikutip dari Kompas TV.”
Tidak ada ratio decidendi dari putusan itu. Menurut saya tidak ada pertimbangan konstitusional itu,” sambung Dewa Palguna. _(Vide, Kompas.com – 27/05/2023)._
*_Kedua,_* Pakar hukum tata negara Prof. Denny Indrayana juga mencurigai bahwa putusan Mahkamah Konstitusi atau MK yang memperpanjang masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi berhubungan dengan kepentingan Pilpres 2024. _(Vide, TEMPO.CO – 26/05/2023)._
Tulisan ini tidak bermaksud untuk menganalisa putusan MKRI tersebut yang dalam kewenangannya telah bersifat final dan mengikat (binding), melainkan untuk menelaah dan mengulas adakah pertimbangan konstitusional (Ratio Decidendi) yang berhubungan dengan kepentingan Pilpres 2024.
Pendekatan yang dipakai untuk menganalisa adalah “statutory approach”, yakni dengan merujuk literatur perundang-undangan yang terkait dengan ketentuan masa jabatan pimpinan KPK.
*Tentang Pertimbangan Konstitusional (Ratio Decidendi)*
Ratio decidendi adalah alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk sampai pada putusannya.
Ratio Decidendi inilah yang menurut *_Goodheart,_* menunjukan bahwa ilmu hukum merupakan ilmu yang bersifat preskriptif, bukan deskriptif. Sedangkan putusan sesuatu yang bersifat deskriftif.
Ratio decidendi adalah penafsiran hakim atau pertimbangan hakim yang dijadikan sebagai dasar pertimbangan oleh para pembentuk undang-undang.
Pada umumnya, fungsi Ratio decidendi atau legal reasoning, adalah sebagai sarana mempresentasikan pokok-pokok pemikiran tentang problematika konflik hukum antara seseorang dengan orang lain, atau antara masyarakat dengan pemerintahan terhadap kasus-kasus yang menjadi kontroversi atau kontraproduktif untuk menjadi replika dan duplika percontohan, terutama menyangkut baik dan buruknya sistem penerapan dan penegakan hukum, sikap tindak aparatur hukum, dan lembaga peradilan. *_(Abraham Amos, 2007)._*
Ratio Decidendi berarti dasar keputusan pengadilan dengan alasan umum atau prinsip-prinsip keputusan peradilan.
Secara yuridis, dalam Pasal 33 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor. 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang _(Vide, PMK 06/2005),_ dan dijelaskan dalam Pasal 33 huruf e PMK 06/2005 dinyatakan pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan harus dimuat dalam putusan.
Mahkamah dalam pertimbangan putusannya menyatakan sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Paragraf [3.18] menyatakan :
_“Bahwa sistem perekrutan pimpinan KPK dengan skema 4 tahunan berdasarkan Pasal 34 UU 30/2002 telah menyebabkan dinilainya kinerja dari pimpinan KPK yang merupakan manifestasi dari kinerja lembaga KPK sebanyak dua kali oleh Presiden maupun DPR dalam periode masa jabatan yang sama. Penilaian dua kali terhadap KPK tersebut dapat mengancam independensi KPK karena dengan kewenangan Presiden maupun DPR untuk dapat melakukan seleksi atau rekrutmen pimpinan KPK sebanyak 2 kali dalam periode atau masa jabatan kepemimpinannya berpotensi tidak saja mempengaruhi independensi pimpinan KPK, tetapi juga beban psikologis dan benturan kepentingan terhadap pimpinan KPK yang hendak mendaftarkan diri kembali pada seleksi calon pimpinan KPK berikutnya. Perbedaan masa jabatan KPK dengan lembaga independen lain menyebabkan perbedaan perlakuan yang telah ternyata menciderai rasa keadilan (unfairness) karena telah memperlakukan berbeda terhadap hal yang seharusnya berlaku sama. Hal demikian, sejatinya bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu menurut Mahkamah, guna menegakkan hukum dan keadilan, sesuai dengan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 dan menurut penalaran yang wajar, ketentuan yang mengatur tentang masa jabatan pimpinan KPK seharusnya disamakan dengan ketentuan yang mengatur tentang hal yang sama pada lembaga negara constitutional importance yang bersifat independen yaitu selama 5 (lima) tahun.”_
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, maka alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk sampai pada putusannya, Mahkamah Konstitusi tidak saja dihadapkan untuk mengabulkan atau menolak penghitungan yang benar menurut Pemohon, tetapi juga dapat dalam penafsiran hakim atau pertimbangan hakim yang dijadikan sebagai dasar pertimbangan oleh para pembentuk undang-undang alasan-alasan hukum yang menurut penalaran yang wajar, ketentuan yang mengatur tentang masa jabatan pimpinan KPK seharusnya disamakan dengan ketentuan yang mengatur tentang hal yang sama pada lembaga negara constitutional importance yang bersifat independen yaitu selama 5 (lima) tahun
Bahwa tidak ada suatu metode yang baku menurut *_Anwar Usman (2012),_* untuk menentukan dan menyatakan bahwa suatu keyakinan hakim menjadi sebuah nilai atau tidak, karena sifat subyektif dari keyakinan hakim itu sendiri.
Namun yang terpenting dari keyakinan hakim adalah ratio legis yang dituangkan dalam pendapat hukumnya terhadap sebuah permasalahan hukum.
Ratio legis inilah yang akan memuat landasan pertimbangan filosofis, sosiologis, maupun yuridis yang menjadi konstruksi hakim dalam memutus suatu perkara _(Ratio Decidendi)._
Jika ratio decidendi hakim ini menjadi mainstream publik atau menjadi rujukan bagi hakim-hakim yang lain _(sebagai yurisprudensi)_ dalam memutus sebuah perkara, berarti pandangan keyakinan hakim tersebut memiliki sebuah nilai yang diyakini kebenarannya serta lebih mendekati rasa keadilan masyarakat.
Dalam berbagai putusan Mahkamah Konstitusi yang seperti itu terbukti telah memberikan makna hukum dan keadilan dalam penanganan permohonan, baik dalam rangka Pengujian Undang-Undang maupun sengketa Pemilu atau Pemilukada.
Dalam praktik yang sudah menjadi yurisprudensi dan diterima sebagai solusi hukum itu, Mahkamah Konstitusi dapat menilai dasar keputusan Mahkamah Konstitusi dengan alasan umum atau prinsip-prinsip keputusan Mahkamah Konstitusi secara yuridis, yang diatur dalam Pasal 33 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor. 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara, dihubungkan sepanjang berdasarkan asas manfaat dan efisiensi, masa jabatan pimpinan KPK selama lima tahun jauh lebih bermanfaat dan efisien jika disesuaikan dengan komisi independen lainnya, sehingga siklus waktu pergantian pimpinan KPK seharusnya adalah lima tahun sekali, yang tentu saja akan jauh lebih bermanfaat daripada empat tahun sekali _(Vide, Putusan MK Nomor 41/PHPU.D-VI/2008 bertanggal 2 Desember 2008)._
Kalau kita telaah dan cermati, Putusan MKRI tersebut, sejalan untuk membantu lembaga-lembaga utama penegak hukum, yaitu Kepolisian dan Kejaksaan yang belum optimal menjalankan fungsinya dalam memberantas korupsi secara efektif dan efisien.
Dalam sistem ketatanegaraan, KPK merupakan _auxiliary organ_ yaitu lembaga penunjang yang dibentuk untuk mendorong peranan dari lembaga utama (Kepolisian dan Kejaksaan) yang memiliki tugas dan fungsi untuk memberantas tindak pidana korupsi.
Meskipun sebagai lembaga penunjang _(auxiliary organ),_ namun kedudukan KPK strategis dalam rangka pemberantasan korupsi maka KPK dikenal juga sebagai lembaga yang tergolong ke dalam lembaga constitutional importance.
Sehingga kedudukan penting dan strategis lembaga KPK tampak jelas dalam Pasal 3 UU 30/2002 yang menyatakan bahwa KPK merupakan lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. _(Vide, Putusan MK Nomor 112/PUU-XX/2022 bertanggal 25 Mei 2023)._
Tambahan pula, perubahan beberapa ketentuan dalam UU 30/2002 tersebut, diharapkan KPK dapat diposisikan sebagai satu kesatuan aparatur lembaga pemerintahan yang bersama-sama dengan Kepolisian dan Kejaksaan melakukan upaya terpadu dan terstruktur dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi sehingga hal tersebut dapat dilaksanakan secara lebih efektif, efisien, terpadu dan terkoordinasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
*Penutup*
Dari uraian tersebut diatas, jelaslah bahwa putusan MKRI perkara Nomor. 112/PUU-XX/2022 memuat landasan pertimbangan filosofis, sosiologis, maupun yuridis yang menjadi konstruksi hakim Mahkamah Konstitusi dalam memutus suatu perkara tentang Pertimbangan Konstitusional (Ratio Decidendi) dan tidak ada hubungan dengan kepentingan Pilpres 2024, serta secara yuridis sesuai dengan Pasal 33 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor. 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang _(Vide, PMK 06/2005)._
Dengan demikian, selama ratio decidendi adalah penafsiran hakim atau pertimbangan hakim yang dijadikan sebagai dasar pertimbangan oleh para pembentuk undang-undang.
Pada umumnya, fungsi Ratio decidendi atau legal reasoning, adalah sebagai sarana mempresentasikan pokok-pokok pemikiran tentang problematika konflik hukum dan memuat landasan pertimbangan filosofis, sosiologis, maupun yuridis yang menjadi konstruksi hakim dalam memutus suatu perkara di Mahkamah Konstitusi yang seperti itu terbukti telah memberikan makna hukum dan keadilan dalam penanganan permohonan, baik dalam rangka Pengujian Undang-Undang maupun sengketa Pemilu atau Pemilukada.
Maka praktik yang sudah menjadi yurisprudensi dan diterima sebagai solusi hukum itu, Mahkamah Konstitusi dapat menilai dasar keputusan Mahkamah Konstitusi dengan alasan umum atau prinsip-prinsip keputusan Mahkamah Konstitusi secara yuridis dalam memutus sebuah perkara, *_berarti pandangan keyakinan hakim tersebut memiliki sebuah nilai yang diyakini kebenarannya dan rasa keadilan tentang Pertimbangan Konstitusional (Ratio Decidendi) dalam putusan MKRI perkara Nomor. 112/PUU-XX/2022 yang telah memutuskan masa jabatan pimpinan KPK yang sebelumnya empat tahun menjadi lima tahun berdasarkan Pasal 34 UU 30/2002 tentang KPK._*