Kabarnusa24.Com, Dilema etik yang dimaksud dalam artikel ini mengacu pada pendapat Arens dan Loebbecke (1995: 74), yakni “situasi yang dihadapi seseorang di mana keputusan mengenai perilaku yang pantas harus dibuat”. Bagi pemimpin atau pejabat publik, dilema etik ini kerap dialami pada saat menghadapi situasi yang menghendaki harus memutuskan: untuk melakukan atau tidak melakukan; berbuat atau tidak berbuat; memutuskan atau membiarkan; menjalankan atau menafikan, dan seterusnya. Pilihan dilematis seperti ini terkait dengan tanggung jawab pejabat publik yang harus bertindak dengan cara adil dan tidak memihak, mengutamakan kepentingan publik di atas keuntungan pribadi, serta memenuhi tugas dengan kompeten, integritas, akuntabilitas dan transparansi.
Pada organisasi yang memberikan pelayanan pendidikan dan keagamaan kepada publik seperti Kementerian Agama, dilema etik dapat diprediksi akan kerap muncul dan bakal dialami oleh pejabat publik yang berhadapan dengan masyarakat. Hal-hal kecil dalam layanan bisa saja menimbulkan dilema bekerja. Misalnya pilihan antara mengutamakan keluarga, teman, atau tetangga daripada pemohon layanan yang lain.
Bisakah pejabat publik memberikan kesempatan yang sama bagi semua orang dalam konsultasi publik. Sejauhmana kedekatan dengan kawan mempengaruhi obyektifitas pejabat untuk memenangkan dalam tender? Kalau ada teman atau pihak lain memberikan hadiah, diterima atau tidak? Masih banyak lagi contoh dilema etik yang berkait dengan keadilan, melibatkan benturan kepentingan, atau berkaitan dengan integritas pemimpin.
Dilema etik ini bersifat halus dan sering dianggap sederhana, tak disadari, sirr (tersamar), dan dianggap biasa-biasa saja. Kasus pejabat publik yang tak mampu menahan godaan untuk memanfaatkan posisi demi keuntungan pribadi adalah contoh terang dilema etik yang tak bisa diatasi. Banyaknya kasus penyelewengan dan penyalahgunaan wewenang, terlebih konflik kepentingan yang dialami oleh pejabat publik menjadi penanda bahwa persoalan dilema etik ini tak boleh dianggap sederhana. Kemampuan dan kapasitas pejabat publik mengatasi dilema etik dalam bekerja melayani masyarakat, sekaligus mengeliminir benturan kepentingan antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum menjadi sangat penting. Terlebih dalam konteks integritas kepemimpinan.
Atensi dan Penyikapan Dilema Etik
Atensi yang kurang terhadap persoalan dilema etik ini setidaknya bisa dicandera dari beberapa faktor. Pertama, soal penyikapan dan cara mengatasi dilema etik. Bagi pejabat publik yang memiliki sensitivitas tinggi terhadap dilema yang dialami saat melayani publik akan lebih memudahkan mengambil sikap dan keputusan etis yang diperlukan. Sebaliknya, ketiadaan pemahaman dan kurangnya sensitivitas terhadap dilema etik bisa melahirkan sikap acuh, menggampangkan masalah, dan merasa tak bersalah melakukan tindakan yang sebenarnya salah secara etik.
Misalnya, pejabat publik menerima pemberian, hadiah, atau oleh-oleh khas dari seorang rekan atau bawahan di daerah. Pertanyaan etisnya: apakah pemberian atau hadiah itu berkait dengan jabatannya atau tidak? Jika misalnya dia bukan pejabat publik, apakah pemberian itu diberikan oleh rekan atau bawahannya? Di sini muncul dilema etik itu: diterima atau ditolak; pemberian biasa saja atau karena interest tertentu; karena kebaikan seorang rekan atau perasaan sungkan dan tidak enak jika tidak memberikan sesuatu kepada pejabat yang datang?
Kedua, pengetahuan dan pemahaman akan makna dan implikasi dilema etis. Dilema etik itu berkaitan dengan “situasi” yang dihadapi seseorang di mana keputusan mengenai perilaku yang pantas harus dibuat. “Situasi” itu sifatnya cair, personal, dan apa yang dirasakan (what is felt). Karena bersifat personal, ukuran menentukan dan mengetahui bahwa situasi itu tak baik dan perlu diputuskan sangat tergantung pada seseorang.
Dilema itu rasa dan perasaan. Literally bersifat abstrak dan tak diketahui pihak lain. Karena itu keputusan yang akan diambil seseorang yang menghadapi dilema etik itu menyangkut sikap etis yang didasari pengetahuan dan pemahaman yang benar, serta jujur pada diri sendiri.
Kita ambil contoh, pejabat yang menggunakan sumberdaya publik atau fasilitas kantor untuk tujuan pribadi atau politik. Mungkin bagi pejabat publik tertentu, penggunaan fasilitas kantor untuk tujuan pribadi itu dianggap lumrah, tak melanggar aturan, dan tak ada yang dirugikan karena mengacu pada contoh pejabat lain. Meskipun sebenarnya dari hati yang paling dalam si pejabat itu pasti mengalami dilema etik antara menggunakan fasilitas itu atau tidak.
Pertimbangannya bukan karena boleh atau tidak, tapi pantas apa tidak, etis atau tidak. Pertimbangan etis inilah yang hemat saya menjadi rujukan bagi pejabat publik. Karenanya, mengukur dilema etik ini akan efektif jika dihadapkan pada pertanyaan mendasar: apakah menggunakan fasilitas kantor itu etis?
Ketiga, perilaku masyarakat yang permisif dan “potong kompas” berkontribusi menimbulkan dilema etik. Dalam layanan publik banyak ditemui praktik percaloan dan meminta tolong pada “orang dalam” atau kebiasaan menyelipkan amplop pada petugas. Alasannya biar cepat dan mudah, tak perlu antre dan membuang waktu.
Perilaku masyarakat yang permisif dan ditingkahi dengan merasa “bisa membeli” layanan memupuk kebiasaan tak baik dalam pelayanan publik. Bagi pejabat publik, kondisi ini tentu menimbulkan dilema etik antara membiarkan perilaku potong kompas atau bersikap tegas; tak kenal kompromi ataukah menyerah pada keadaan; menegakkan aturan atau menerima konsekuensi ditinggalkan kawan atau dibenci.
Faktor keempat bisa karena layanan publik yang tidak transparan dan tidak akuntabel, masih menekankan manual dan pertemuan fisik. Meskipun layanan ini pelan-pelan mulai digantikan dengan layanan digital atau e-services, tak bisa dipungkiri praktik pelayanan publik masih belum bisa memangkas tuntas praktik percaloan, kongkalikong, sogokan, pertemanan, dan main belakang.
Layanan seperti ini berkontribusi besar terhadap dilema etik yang dialami pejabat publik. Mirip dan berkaitan dengan faktor ketiga, layanan publik yang buruk akan menyuburkan praktik korup yang mengganggu terhadap penegakan hukum, etika, dan akuntabilitas publik. Di sini dilema melibatkan benturan kepentingan yang bertentangan dengan kewajiban/ loyalitas kepada publik.
Peran Pemimpin
Forester-Miller dan Davis (1996) menawarkan model pengambilan keputusan etis yang bisa dilakukan oleh pemimpin berintegritas. Pertama, mengidentifikasi masalah. Pemimpin etis harus mengumpulkan semua informasi terkait secara objektif sebelum membuat keputusan yang harus dibuat.
Kedua, menerapkan kode etik dari institusi. Sangat mungkin bahwa beberapa masalah etika yang harus dihadapi seseorang dalam aktivitasnya telah diatur dalam kode etik. Jika ini tidak efektif perlu reinforcement atau reapproachment.
Ketiga, menetapkan sifat dan dimensi dilema etik. Pemimpin etis bisa melakukannya dengan cara berbicara atau berdiskusi dengan rekan sejawat, atasan atau ahli lainnya tentang masalah etik.
Keempat, brainstorming. Melibatkan pihak lain, menetapkan semua kemungkinan tindakan yang dapat diambil, dengan bantuan orang lain, jika memungkinkan.
Kelima, mengidentifikasi semua konsekuensi. Identifikasi atas konsekuensi yang dapat timbul untuk semua alternatif tindakan dan untuk semua orang yang terlibat. Hal ini juga dapat dilakukan dengan bantuan orang lain yang berpengalaman atau mereka yang memiliki keahlian. Tindakan ini memungkinkan mengatasi problem dilema etik menemukan solusi yang tepat.
Keenam, evaluasi tindakan yang dipilih. Hal ini dilakukan untuk melihat apakah ada masalah atau dilema etika baru yang tersirat di dalamnya dan jika ada, prosesnya akan dimulai dari awal. Dan ketujuh, implementasi tindakan yang dipilih. Implementasi dan tindak lanjut situasi dan melihat apakah perkiraan yang dibuat sebelumnya memang benar-benar terjadi atau mendekati perkiraan.
Tawaran Forester-Miller dan Davis ini menyediakan tahapan yang sistematik dalam mengatasi dilema etik yang dialami pejabat publik. Tahapan ini juga menyediakan ruang untuk menyelami problem dilema etik dari “dalam” sekaligus memberi solusi.
Kesimpulannya, dilema etik bukan tak mungkin dihindari. Kesediaan untuk bertanya dan meminta pertimbangan pada nurani (istafti qalbaka, istafti nafsaka) yang diajarkan Rasulullah SAW dapat menjadi guidance dilema etik itu bisa diatasi. Kejujuran pada diri sendiri bahwa sesuatu itu tak pantas dilakukan dan tak benar jika diputuskan akan meminimalisir pertentangan batin seseorang: antara melakukan atau tidak melakukan. Kembali kepada diri masing-masing.
Sumber materi: DR. H.Mastuki, M.Ag (Kapusdiklat Tenaga Teknis Pendidikana dan Keagamaan)