Cinta Tanah Air adalah Ajaran Esensial Islam, Elemen Penting Bangun Bangsa

Cinta Tanah Air adalah Ajaran Esensial Islam, Elemen Penting Bangun Bangsa

Tidak hanya insan biasa, Nabi Muhammad SAW pun terekam dalam hadits, sangat mencintai tanah airnya. Terutama dua kota suci, Makkah dan Madinah.Misalnya hadits riwayat Imam Tirmidzi :

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ

،عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَكَّةَ : ” مَا أَطْيَبَكِ مِنْ بَلَدٍ، وَأَحَبَّكِ إِلَيَّ

“وَلَوْلَا أَنَّ قَوْمِي أَخْرَجُونِي مِنْكِ مَا سَكَنْتُ غَيْرَكِ

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, dia berkata, “‘Rasulullah SAW. bersabda kepada kota Makkah, ‘Sungguh dirimu (kota Makkah) negeri yang amat indah, dan paling aku cintai, jikalau masyarakat Makkah tidak mengusirku, niscaya aku tidak akan tinggal di tempat lain selain dirimu (kota Makkah).’” (HR Tirmidzi no 3926)

Seperti telah dijelaskan, Nabi SAW tidak hanya mencintai kota Makkah, beliau juga sangat mencintai Madinah. Tempat di mana titik balik kegemilangan dakwah Nabi SAW.

Di kota ini, Nabi SAW menghabiskan sisa usianya. Nabi SAW tinggal di kota Madinah sekitar 10 tahun dan menjadi tempat peristirahatan terakhir Nabi SAW.

عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ

وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا قَددِمَ مِنْ سَفَرٍ فَنَظَرَ إِلَى جُدُرَاتِ

الْمَدِينَةِ أَوْضَعَ رَاحِلَتَهُ، وَإِنْ كَانَ عَلَى دَابَّةٍ حَرَّكَهَا

.مِنْ حُبِّهَا

Dari Anas RA berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam apabila pulang dari bepergian dan melihat dataran tinggi kota Madinah, beliau mempercepat jalan unta Beliau dan bila menunggang hewan lain beliau memacunya karena kecintaannya (kepada Madinah).” (HR Bukhari no 1886)

Hadits ini, mendapat komentar dari Ibnu Hajar al-‘Asqalani (w. 852 H) dalam karyanya Fath al-Bari:

الحديث دلالة على فضل المدينة، وعلى مشروعية

حب الوطن والحنين إليه

“Hadits ini menjadi dalil keutamaan kota Madinah dan menjadi dalil bahwa mencintai dan menyayangi Tanah Air adalah bagian dari syariat Islam.” (Lihat Fath al-Bari, Mesir: Al-Maktabah as-Salafiyah, juz 3, hlm 621)

Bahkan, diriwayatkan dalam hadits lain Nabi SAW sampai berdoa:

اللَّهُمَّ حَبِّبْ إِلَيْنَا الْمَدِينَةَ كَمَا حَبَّبْتَ إِلَيْنَا مَكَّةَ أَوْ

… أَشَدّ

“Ya Allah, berilah kecintaan kami terhadap Madinah sebagaimana kecintaan kami terhadap Makkah atau lebih cinta lagi,…” (HR Bukhari no 5895)

Dalam Alquran sendiri, terdapat ayat yang mengisyaratkan bahwa kecintaan terhadap tanah air adalah hal yang sangat wajar, alamiah, dan sedikit di antara manusia yang rela meninggalkan tanah kelahiran begitu saja. Allah SWTT berfirman:

وَلَوْ اَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ اَنِ اقْتُلُوْٓا اَنْفُسَكُمْ اَوِ اخْرُجُوْا

مِنْ دِيَارِكُمْ مَّا فَعَلُوْهُ اِلَّا قَلِيْلٌ مِّنْهُمْ ۗوَلَوْ اَنَّهُمْ فَعَلُوْا

مَا يُوْعَظُوْنَ بِهٖ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ وَاَشَدَّ تَثْبِيْتًاۙ

“Seandainya Kami perintahkan kepada mereka (orang-orang munafik), “Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampung halamanmu,” niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka. Seandainya mereka melaksanakan pengajaran yang diberikan kepada mereka, sungguh itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka).” (QS An-Nisā’ [4]: 66). Tidak hanya itu, dalam ayat lain Allah SWT berfirman:

…اِنَّ الَّذِيْ فَرَضَ عَلَيْكَ الْقُرْاٰنَ لَرَاۤدُّكَ اِلٰى مَعَادٍ ۗ

“Sesungguhnya (Allah) yang mewajibkan engkau (Nabi Muhammad untuk menyampaikan dan berpegang teguh pada) Alquran benar-benar akan mengembalikanmu ke tempat kembali…” (QS Al-Qaṣaṣ [28]:85)

Para ahli tafsir berbeda pendapat ketika menafsirkan kata “ma’aad” atau “tempat kembali” pada ayat di atas. Sebagian menafsirkannya dengan akhirat, namun sebagian lain memahaminya sebagai kota Makkah.

Seperti pendapat Imam Fakhruddin al-Razi (W 606 H) yang mengatakan bahwa pendapat ulama yang paling mendekati kebenaran adalah yang mengartikan “tempat kembali” di atas sebagai kota Makkah.

Malah, dalam tafsirnya tersebut dijelaskan mengenai bagaimana Malaikat Jibril mewahyukan ayat di atas persis ketika Nabi baru saja keluar dari gua Tsur kemudian memandangi jalan ke arah kota Makkah, sejurus kemudian Nabi merindukan tempat kelahirannya.

،فَنَزَلَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلامُ وقالَ: تَشْتاقُ إلى بَلَدِكَ،

ومَوْلِدِكَ، فَقالَ عَلَيْهِ السَّلامُ: نَعَمْ

“Kemudian Malaikat Jibril as. turun seraya berkata, ‘engkau merindukan kampung halaman dan tempat kelahiranmu,” dengan singkat Nabi menjawab, ‘ya, benar’”. (Lihat Mafatihul Ghaib, Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, juz 25, hlm. 19)

Lebih jauh, Syekh Ismail Haqqi Al-Hanafi Al-Khalwathi (w. 1127 H) dalam tafsirnya Ruhul Bayan mengatakan:

وفي تَفسيرِ الآيةِ إشَارَةٌ إلَى أنَّ حُبَّ الوَطَنِ مِنَ

،الإيمانِ

“Penjelasan ayat tersebut mengisyaratkan bahwa cinta tanah air adalah sebagian dari Iman.” (Lihat Ruh al-Bayan, Beirut: Dar el-Fikr, Juz 6, hal 441-442)

Masih dalam kitab tafsir yang sama, Syekh Ismail Haqqi mengutip perkataan Sayyidina Umar bin Khattab, Amirul Mukminin:

لَوْلاَ حُبُّ الوَطَنِ لَخَرُبَ بَلَدُ السُّوءِ فَبِحُبِّ الأَوْطَانِ

.عُممِّرَتْ البُلْدَانُ

“Tanpa kecintaan pada tanah air, negeri yang malang pasti hancur, dengan cinta tanah air lah negeri-negeri dibangun.”

Dari penjelasan ini serta kutipan terakhir dari Sayyidina Umar, kita dapat mengerti bahwa cinta Tanah Air bukan sekadar fitrah manusia. Tidak sebatas perasaan cengeng yang menghinggapi jiwa. Lebih dari itu, cinta Tanah Air merupakan elemen penting dalam membangun sebuah bangsa.

Pada Agustus ini, bulan kemerdekaan negeri kita tercinta yang memasuki 78 tahun, Indonesia, diharapkan seluruh lapisan masyarakat semakin mencintai tanah kelahirannya demi membangun baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Negeri gemah ripah loh jinawi di bawah lindungan kasih sayang Ilahi.

 

Sumber : Majlis Ulama Indonesia(MUI).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *