Tutup
DaerahReligi

Di Standardisasi Dai ke-24, Dai tidak Boleh Diam di Media Sosial

3
×

Di Standardisasi Dai ke-24, Dai tidak Boleh Diam di Media Sosial

Sebarkan artikel ini
Di Standardisasi Dai ke-24, Dai tidak Boleh Diam di Media Sosial

JAKARTA – KABARNUSA24.COM,
Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia, KH Marsudi Syuhud, mengimbau para dai tidak tinggal diam saja menyaksikan persoalan keagamaan yang terjadi di media sosial.

Menurut Kiai Marsudi, dai harus bisa menghandle (menjawab) segala persoalan yang terjadi di masyarakat, terlebih perdebatan soal agama yang sering terjadi di medsos.

“Kita berkumpul di sini, para dai di depan saya yang saya yakini alim-alim semua ini, dituntut untuk tidak diam. Karena ketika yang ngomongin agama orang yang tidak paham agama, hanya bermodalkan sorban dan udeng sebesar ban vespa, itu sangat bahaya,” kata dia dalam kegiatan Standardisasi Dai ke-24 Komisi Dakwah MUI, Senin (27/8/2023).

Saat ini, menurut dia, fenomena yang terjadi di media sosial semua mengalami abstraksi. Di medsos, semua orang kendati kapasitas ilmu keagamaannya terbatas bisa menjadi dai, ulama, bahkan kiai.

Hal tersebut mengakibatkan agama hanya menjadi alat perpecahan umat. Mereka yang tidak dibekali dengan pengetahuan keagamaan yang benar dan cukup, akan cenderung merusak terhadap nilai-nilai keagamaan itu sendiri.

“Karena kalau kita lihat persoalan di medsos sekarang adalah semuanya menjadi dai, seolah-olah semuanya menjadi kiai, seolah-olah semuanya menjadi ahli hukum. Padahal mereka cuma asal copy paste,” jelas Kiai Marsudi.

Untuk itu, kata Kiai Marsudi, dai harus bisa meningkatkan kompetensi keilmuan secara terus-menerus. Hal itu dilakukan untuk agar agama disampaikan secara benar dengan memahami persoalan aktual yang terjadi di tengah masyakat.

Dia menegaskan para dai saat ini dituntut untuk meningkatkan kapasitas keilmuan dan daya kreatifitas dalam berdakwah. Tidak dimungkiri, kondisi saat ini menempatkan dakwah dalam tantangan yang kompleks. Belum lagi budaya masyarakat Indonesia yang sangat beragam.

“Yang namanya dai itu mengajak dan membangun keimanan, ketakwaan dan akhlak, di negara manapun, maka keilmuannya harus distandard(isasi),” katanya.

Selain itu, lanjutnya, para dai juga harus mampu menjaga Majelis Ulama Indonesia sebagai rumah bersama. MUI menjadi bentuk persatuan dan kesatuan yang di dalamnya terbina perbedaan paham dan aliran. Para dai dituntut untuk menjaga perbedaan tersebut dalam bingkai persatuan.

Persatuan tersebut, menurut Kiai Marsudi jarang ditemui di negara-negara lain kendati penduduknya mayoritas Muslim, “Kita harus bangga menjadi seorang Muslim Indonesia, kita harus bangga menjadi pendakwah Islam Indonesia,” paparnya. (DB)

 

Sumber : Majlis Ulama Indonesia(MUI)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *