Tutup
ReligiSekapur Sirih

Meneladani Ketawadhu’an Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam

2
×

Meneladani Ketawadhu’an Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam

Sebarkan artikel ini
Meneladani Ketawadhu'an Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
Ilustrasi gambaran Tawadu. (Foto gogel)

Meneladani Ketawadhu’an Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam

Kabarnusa24.Com,- Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, adalah hamba Allah yang paling mulia, beliau adalah satu-satunya hamba yang Allah angkat ke langit ketujuh, lalu kemudian Allah Ta’ala mengajaknya berbicara langsung tanpa perantara apa pun. Beliau juga membawa ilmu pengetahuan yang paling utama dan paling mulia, yaitu agama Islam yang lurus ini. Allah Ta’ala berfirman,

وَكَذٰلِكَ اَوْحَيْنَآ اِلَيْكَ رُوْحًا مِّنْ اَمْرِنَا ۗمَا كُنْتَ تَدْرِيْ مَا الْكِتٰبُ وَلَا الْاِيْمَانُ وَلٰكِنْ جَعَلْنٰهُ نُوْرًا نَّهْدِيْ بِهٖ مَنْ نَّشَاۤءُ مِنْ عِبَادِنَا ۗوَاِنَّكَ لَتَهْدِيْٓ اِلٰى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍۙ

“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) ruh (Al-Qur’an) dengan perintah Kami. Sebelumnya engkau tidaklah mengetahui apakah Kitab (Al-Qur’an) dan apakah iman itu, tetapi Kami jadikan Al-Qur’an itu cahaya, dengan itu Kami memberi petunjuk siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sungguh, engkau benar-benar membimbing (manusia) kepada jalan yang lurus.” (QS. Asy-Syura: 52)

Beliau juga mendapatkan pengakuan langsung yang sangat mulia dari Allah Ta’ala,

وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ

“Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur.” (QS. Al-Qalam: 4)

Dengan tingginya kedudukan Nabi dan kemuliaannya, beliau adalah panutan dan “role model” manusia dalam hal ke-tawadhu’-an dan kerendahan hati. Bagaimana tidak? Sedang Allah Ta’ala berfirman,

فَبِمَا رَحۡمَةٍ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمْۖ وَلَوۡ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلۡقَلۡبِ لَٱنفَضُّواْ مِنۡ حَوۡلِكَۖ

“Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu.” (QS. Al-Imran: 159)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga diperintahkan untuk berlaku tawadhu’. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

وإنَّ اللَّهَ أَوْحَى إلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حتَّى لا يَفْخَرَ أَحَدٌ علَى أَحَدٍ، وَلَا يَبْغِي أَحَدٌ علَىى أَحَدٍ

“Dan sesungguhnya, Allah mewahyukan padaku untuk memiliki sifat tawadhu’. Janganlah seseorang menyombongkan diri (berbangga diri) dan melampaui batas pada yang lain.” (HR. Muslim no. 2865)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga memberikan kabar gembira untuk mereka yang bersikap tawadhu’,

ما نَقَصَتْ صَدَقةٌ مِن مالٍ، وما زادَ اللَّهُ عَبْدًا بعَفْوٍ إلَّا عِزًّا، وما تَواضَعَ أحَدٌ للَّهِ إلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ

“Sedekah itu tidak akan mengurangi harta. Tidaklah ada orang yang memberi maaf kepada orang lain, melainkan Allah akan menambah kemuliaannya. Dan tidak ada orang yang merendahkan diri (bersikap tawadhu’) karena Allah, melainkan Allah akan mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim no. 2588)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengancam orang-orang yang sombong dan tidak bersikap tawadhu’,

لَا يَدْخُلُ الجَنَّةَ مَن كانَ في قَلْبِهِ مِثْقالُ ذَرَّةٍ مِن كِبْرٍ

“Tidak akan masuk surga, (kecuali ia dibalas terlebih dahulu atas perbuatannya) orang yang dalam hatinya terdapat kesombongan (walau) sebiji sawi.” (HR. Muslim no. 91)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

قَالَ اللهُ عَزَّ وجَلَّ: الكِبْرياءُ رِدَائي، والعَظَمَةُ إِزَارِي، فَمَنْ نَازَعَني وَاحِدًامِنْهُمَا قَذَفْتُه في النَّارِ

“Allah Ta’ala berfirman, ‘Kesombongan adalah selendang-Ku dan keagungan adalah sarungku-Ku. Barangsiapa yang menyaingi Aku pada salah satu dari kedua sifat tersebut, niscaya Aku akan melemparkannya ke dalam api neraka.’” (HR. Abu Dawud no. 4090, Ahmad no. 9359 dan Ibnu Majah no. 4174)

Oleh sebab itu, Nabi kita selalu tawadhu’ dalam semua hal di kehidupan beliau.

Dalam berpakaian misalnya, beliau selalu mengenakan baju seadanya dan tidak berlebih-lebihan. Sebenarnya jika beliau mau dan mengikuti hawa nafsunya, maka bisa saja beliau akan memilih mengenakan baju yang terbuat dari tenunan sutra sebagaimana raja-raja di zaman tersebut mengenakannya.

Dalam berkendara, beliau mencukupkan diri dan tidak sungkan untuk menggunakan keledai dan bagal (peranakan antara kuda dan keledai) sebagai tunggangan sehari-harinya. Jika beliau mau, maka beliau bisa memilih menggunakan kuda-kuda tangguh nan indah sebagai tunggangannya.

Bahkan, jika beliau sedang mengendarai keledainya tersebut, lalu kemudian berpapasan dengan anak kecil, maka beliau akan memanggilnya dan memboncengkannya di belakangnya. Sungguh ini merupakan bukti paling jelas akan ke-tawadhu’an beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.

Di antara ke-tawadhu’-an beliau yang lain, saat sedang di rumah, maka beliau akan mengerjakan beberapa pekerjaan rumah dan membantu istri-istrinya, satu hal yang laki-laki zaman sekarang sangat gengsi dan malas untuk melakukannya. Lihat bagaimana kesaksian Aisyah radhiyallahu ‘anha saat ada yang bertanya perihal keseharian Nabi di rumahnya,

كَانَ يَكُونُ في مِهْنَةِ أهْلِهِ – تَعْنِي خِدْمَةَ أهْلِهِ – فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلَاةُ خَرَجَ إلى الصَّلَاةِ

“Beliau selalu membantu pekerjaan keluarganya, dan jika datang waktu salat, maka beliau keluar untuk melaksanakan salat.” (HR. Bukhari no. 676)

Di antara bentuk ke-tawadhu’-an beliau juga adalah beliau tidak senang bila ada seseorang yang berdiri untuk menghormati beliau (sebagaimana kebiasaan manusia di zaman sekarang). Sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menceritakan,

مَا كَانَ شَخْصٌ أَحَبُّ إِلَيْهِمْ رُؤْيَةً مِنَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَكَانُوْا إِذَا رَأَوْهُ لَمْ يَقُوْمُوْا إِلَيْهِ لِمَا يَعْلَمُوْنَ مِنْ كَرَاهِيَّتِهِ لِذَلِكَ

“Tidak ada seorang pun yang lebih mereka (para sahabat) cintai saat melihatnya selain Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Namun, jika melihat beliau, mereka tidak pernah berdiri karena mereka mengetahui kebencian beliau atas hal itu.” (HR. Tirmidzi no. 2754 dan Ahmad no. 13623)

Bentuk ke-tawadhu’-an beliau yang lain adalah senantiasa menjawab undangan yang sampai kepada beliau, walaupun orang yang mengundangnya berasal dari kaum fakir. Beliau tidak mempermasalahkan dan menerima, meskipun makanan yang dihidangkan tersebut adalah makanan yang biasa saja. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَوْ دُعِيتُ إلى ذِراعٍ أوْ كُراعٍ لَأَجَبْتُ، ولو أُهْدِيَ إلَيَّ ذِراعٌ أوْ كُراعٌ لَقَبِلْتُ

“Seandainya aku diundang untuk jamuan makan sebesar satu paha depan (kambing) atau satu paha belakangnya, pasti aku penuhi dan seandainya aku diberi hadiah makanan satu paha depan (kambing) atau satu paha belakang pasti aku terima.” (HR. Bukhari no. 2568)

Lihat bagaimana kisah ke-tawadhu’-an Nabi dengan seorang perempuan berkulit hitam yang biasa menyapu dan membersihkan masjid Nabawi di masa Nabi.

Suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam merasa kehilangan dan tidak mendapati perempuan tersebut, lalu beliau menanyakannya kepada para sahabat. Para sahabat pun menjawab, “Ia telah wafat.”

Lalu Nabi bersabda, “Kenapa kalian tidak memberitahukan kepadaku?”

Abu Hurairah berkata, “Seolah-olah mereka meremehkan urusannya.”

Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tunjukkan kuburnya kepadaku.”

Lalu mereka menunjukkannya, beliau pun kemudian menyalati wanita itu, lalu bersabda, “Sesungguhnya kuburan-kuburan ini dipenuhi kegelapan bagi para penghuninya. Dan sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala menyinarinya bagi mereka dengan salatku terhadap mereka.” (HR. Bukhari no. 458 dan Muslim no. 956)

Lihatlah bagaimana sikap ke-tawadhu’-an Nabi yang tak bisa digambarkan oleh kata-kata ini. Bahkan ke-tawadhu’-an Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga terwujud dan dirasakan oleh budak-budak. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengisahkan,

إنْ كَانَتِ الأمَةُ مِن إمَاءِ أهْلِ المَدِينَةِ، لَتَأْخُذُ بيَدِ رَسولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ فَتَنْطَلِقُ به حَيْثُ شَاءَتْ

“Sekiranya ada seorang budak dari budak penduduk Madinah menggandeng tangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (meminta tolong kepada Nabi), sungguh beliau akan beranjak bersamanya ke mana budak itu pergi (sampai selesai urusan yang dimintai pertolongannya dari Nabi tersebut).” (HR. Bukhari secara muallaq no. 6072)

Subhanallah, seorang budak mengambil tangannya, sedangkan beliau di tengah para sahabatnya dan dengan banyaknya kesibukan beliau, namun beliau tetap melayani dan berlaku lemah lembut terhadap budak tersebut!

Sungguh semua kisah ini akan membuat kita semakin mencintai beliau, karena fitrah manusia adalah mencintai mereka yang berlaku tawadhu’ dan rendah hati serta membenci mereka yang sombong dan suka meremehkan orang lain.

Sudah sepantasnya bagi siapa saja yang Allah Ta’ala berikan kenikmatan berupa kedudukan dan banyaknya harta untuk mengambil pelajaran dari kisah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, menjadi pribadi yang mulia, penuh dengan ke-tawadhu’-an dan kerendahan hati, tidak sombong dan meremehkan orang lain.

Semoga Allah Ta’ala jauhkan kita dari sikap sombong dan menghiasi diri kita dengan sikap tawadhu’, karena Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْتَكْبِرِينَ

“Sesungguhnya Dia (Allah) tidak menyukai orang-orang yang menyombongkan diri.” (QS. An Nahl: 23)

 

Sumber: Kutipan Ulasan Dakwah Materi Khutbah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *