Mutiara Keteladanan Zainul Abidin
Kabarnusa24.com, — Siapa Zainul Abidin yang dimaksud dalam tulisan ini?
Ketika Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu menjadi khalifah, dengan izin Allah, tamatlah riwayat Imperium Persia pada masanya.
Yezdegerd III, kaisar terkahir Persia, berakhir mengenaskan. Ia wafat di tempat pengasingan. Sementara seluruh harta, prajurit, dan kerabat istananya, secara otomatis menjadi tawanan perang. Tiga orang putrinya, bahkan ikut tergabung dalam barisan tawanan yang dibawa ke Madinah.
Tiga putri kaisar itu masih belia dan berparas jelita. Mereka menundukkan wajah, merasa rendah dan hina. Air mata pun meleleh membasahi pipi. Sebuah pemandangan yang menyentuh hati nurani Sayyidina Ali karramallahu wajhahu.
Beliau berharap, semoga orang yang membeli tiga tawanan terbaik ini, memperlakukan mereka dengan penuh rasa hormat. Sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, “Kasihanilah para bangsawan yang terhina.”
Ali kemudian memberi usulan kepada Amirul Mukminin Umar bin Khattab agar putri-putri itu selayaknya diperlalukan lebih baik daripada tawanan yang lain. Caranya: menaikkan harga mereka setinggi mungkin, lalu memberi kebebasan pada mereka bertiga untuk memilih orang yang bersedia membayarnya.
Saran yang sangat cerdas. Amirul Mukminin merealisasikan usulan ini. Hasilnya: Putri yang pertama, memilih Abdullah bin Umar. Putri kedua, memilih Muhammad bin Abu Bakar. Putri ketiga, memilih Husain bin Ali. Ya, ketiga putri ini memilih dan dipilih oleh tiga putra Khulafa’ur Rasyidin.
Mereka menikah dan dikaruniai keturunan yang shalih.
Putri pertama, melahirkan cucu Umar bin Khattab diberi nama Salim. Putri kedua, melahirkan cucu Abu Bakar yang diberi nama Qasim. Dan putri ketiga, melahirkan cucu Ali yang namanya persis seperti nama kakeknya.
Putri ketiga ini bernama Syah Zinan dan setelah memeluk Islam, ia berganti nama menjadi Ghazalah. Tiga cucu para khalifah, sekaligus tiga cucu kaisar Persia, tumbuh menjadi tiga fuqaha’ Madinah: Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar, Salim bin Abdullah bin Umar, dan Ali bin Husain bin Ali. Cucu khalifah Ali inilah yang bergelar Zainul Abidin. Jadi, Zainul Abidin adalah Ali bin Husain bin Ali.
Nilai Keteladanan Ali bin Husain Zainul Abidin
Pada kesempatan kali ini, kita membahas nilai-nilai keteladanan yang beliau wariskan.
Pertama, Sosok yang Peduli Sesama
Keluarga Ali Zainul Abidin adalah keluarga yang bergelimang harta. Namun demikian, ia tidak suka bersenang-senang dengan kekayaan itu. Zainul Abidin lebih senang berbagi secara sembunyi-sembunyi. Ini menjadi salah satu amal saleh yang sangat beliau sukai.
Di saat malam mulai gelap, beliau memikul sekarung tepung di punggungnya. Ali keluar rumah ketika orang-orang sedang tidur nyenyak. Satu per satu, ia sambangi rumah para fakir miskin yang menjaga iffah (harga diri) mereka dengan tidak meminta-minta.
Sewaktu jenazah Zainul Abidin dimandikan, terlihat ada bekas hitam di punggungnya, sehingga mereka yang memandikannya bertanya, “Bekas apa ini?”
“Itu adalah bekas karung-karung yang selalu dipikulnya ke seratus rumah di Madinah.” Demikian jawab salah seorang yang hadir saat itu.
Setelah Ali Zainul Abidin wafat, bantuan bagi fakir miskin terputus. Dan barulah mereka menyadari siapa manusia dermawan yang selama ini diam-diam membantu mereka.
Masyaallah!
Masih adakah sosok seperti Zainul Abidin di jaman sekarang? Yang memberi karena betul-betul peduli. Sampai harus bersusah payah dan turun tangan sendiri. Dari beliau kita belajar maksud hadits Nabi, “Tangan kanan bersedekah, tangan kiri tidak mengetahui.”
Kedua, Sosok yang Sangat Pemaaf
Suatu ketika, saat sedang bersiap-siap untuk mendirikan shalat, Imam Ali Zainul Abidin pernah dibuat terluka oleh budak wanita yang bekerja di rumahnya.
Alkisah, budak itu sedang menuangkan air untuk berwudhu. Tetapi, ceret penyimpan air malah terjatuh tepat di wajah Sang Imam hingga berdarah. Budak itu membaca sepotong ayat dari surat Ali Imran ayat 134.
وَالْكَاظِمِيْنَ الْغَيْظَ
Wal kaadzhimiina al-ghaydzh.
“(Ciri orang bertakwa itu) mampu meredam amarah.” Kata si budak agar tidak diomeli oleh tuannya.
Zainul Abidin hanya menimpali, “Kamu telah membantuku menahan marah.”
Kemudian wanita itu berkata lagi, “Wal afiina ‘anin Naasi.” Maksudnya, selain pandai menahan emosi, orang bertakwa itu juga mudah memaafkan kesalahan manusia.
Sang Imam menjawab, “Allah telah mengampunimu.”
Lalu budak itu menutup ayat 134 dengan sempurna,
وَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَۚ
Wallahu yuhibbul muhsiniin.
“Dan sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat ihsan (kebaikan).”
Maka Sang Imam menanggapi dengan bijak, “Pergilah. Sekarang kamu sudah bebas, merdeka.”
Masyaallah!
Jangankan membentak atau mengeluarkan kata-kata kasar, Zainul Abidin memilih untuk bersabar, memaafkan, dan memerdekakan budaknya.
Ketiga, Sosok yang Gemar Beribadah
Imam Malik menyebutkan bahwa Zainul Abidin mendirikan shalat sebanyak seribu raka’at sehari semalam. Pantaslah jika gelar Zainul Abidin disematkan kepadanya.
Umar bin Abdul Aziz, pemimpin yang adil dari Bani Umayyah, pernah bersaksi bahwa Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib adalah “Siraj ad-Dunya, wa Jamalul Islam, wa Zainul Abidin.” Lentera dunia, Simbol Keindahan Islam, dan Perhiasan Orang-orang yang rajin beribadah.
Keempat, Sosok yang Rendah Hati
Thawus bin Kaisan pernah melihat Zainul Abidin menangis dan meratap di hadapan Kakbah. Thawus merasa keheranan karena sesungguhnya Zainul Abidin punya banyak keutamaan, tapi sampai setakut itu kepada Allah. Bukankah beliau adalah cicit Rasul yang kelak akan mendapat syafaatnya?
Tapi kemudian Zainul Abidin menjawab keheranan Thawus dengan firman Allah –surah Al-Mu’minun ayat 101.
Di antara bentuk ketawadhu’an beliau yang lain adalah ketika beliau mendatangi majelis ilmu yang diasuh oleh Zaid bin Aslam. Padahal, Zaid bin Aslam adalah mantan budak dan umurnya lebih muda dari usia Sang Imam. Tapi Zainul Abidin menghormati Zaid karena keilmuannya.
Masyaallah!
Tidak henti-hentinya kita dibuat takjub oleh keindahan budi pekerti cucu sahabat Ali bin Abi Thalib ini. Inilah kemilau mutiara keteladanan Sang Imam yang agung. Semoga kita mampu meneladani beliau. Wallāhul muwaffiq ilā aqwamith tharīq.
Pemateri Kultum Ramadhan ditulis oleh ustadz Muhammad Faishal Fadhli.
(Sumber: dakwah.id)