Tutup
Sekapur Sirih

Kisah Dialog Sahabat Nabi ” Kok Lihat Aku Begitu? “

4
×

Kisah Dialog Sahabat Nabi ” Kok Lihat Aku Begitu? “

Sebarkan artikel ini
Kisah Dialog Sahabat Nabi " Kok Lihat Aku Begitu? "
Ishaq Zubaedi Raqib --MCH Daker Makkah Al Mukarramah

Kisah Dialog Sahabat Nabi ” Kok Lihat Aku Begitu? “

Kabarnusa24.com,-

“Kok lihat aku begitu?”
“Kau pasti diangkat. Berpisah dariku!”

***

Judul panjang tulisan di atas adalah penggalan dialog Nabi Muhammad SAW dengan salah seorang Sahabat. Konon, sahabat ini punya kebiasaan yang tidak “biasa”. Dia setiap hari membuat jadwal pribadi.

Agenda tunggal; memandang wajah Nabi. Di mana pun dan ke mana pun dia pergi. Bahkan, pernah suatu pagi ia menunggu di depan pintu rumah Nabi, tidak lama hanya seusai salat subuh. Begitu Nabi membuka pintu, dia tidak menyia-nyiakan kesempatan.

Nabi tidak menegur apalagi melarang. Sekali waktu, Nabi menyapanya. Lantas dia ditanya kenapa. “Hai! Mengapa kau memandangku demikian?” Sahabat itu mulai menangis. Berharap Nabi tidak keberatan apalagi memarahinya.

“Demi ayah dan ibuku. Saya sangat senang memandang wajahmu ya, Rasulallah. Tapi pada Hari Kiamat, Allah SWT pasti mengangkat derajatmu dan kau akan tinggal di surga yang sangat tinggi. Aku pasti berpisah darimu,” katanya merintih.

Hebatnya, menurut salah satu riwayat, desah dan suara batin Sahabat tadi, telah membuat batang-batang arasy Tuhan berguncang hebat. Dan Tuhan pun mengirimkan titah. Titah itu telah serta merta membuat bilik-bilik hati para Sahabat bergemuruh.

Jantung hati umat Islam berdentang. Serasa salju dari surga datang bergelombang. Lalu turunlah ayat 79 Surah An Nisa’ di bawah ini. Ayat jaminan dari Nabi untuk semua umat. Wasilahnya adalah Sahabat tadi.

وَمَنۡ يُّطِعِ اللّٰهَ وَالرَّسُوۡلَ فَاُولٰٓٮِٕكَ مَعَ الَّذِيۡنَ اَنۡعَمَ اللّٰهُ عَلَيۡهِمۡ مِّنَ النَّبِيّٖنَ وَالصِّدِّيۡقِيۡنَ وَالشُّهَدَآءِ وَالصّٰلِحِيۡنَ‌ ۚ وَحَسُنَ اُولٰٓٮِٕكَ رَفِيۡقًا

“Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul (Muhammad), maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang yang diberikan nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi, para pencinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shalih. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (QS. An Nisa:79).

Sungguh luar biasa janji Nabi ini. Kita, jika saja cinta Nabi, maka kita juga akan diperkenalkan dan dipertemukan oleh Nabi kita dengan para Nabi, para siddiqin, dan majelis para syuhada.

***

Apakah hal ini mungkin? Sangat bisa. Dan yang menjanjikan hal itu bisa terjadi, adalah seseorang yang telah Allah lenyapkan dari dirinya sifat dusta alias kidzib. Dialah Nabi Muhammad Rasulullah. Asal? Asal apa? Asal kita cinta Nabi.

Syarat yang amat sangat tidak berat. Malah menyenangkan, membuat candu, ingin terus dan terus mencinta. Persis Sahabat di atas. Sangat sulit menjalankan sunnah-sunnah tanpa adanya cinta kepada si peletak sunnah.

Menurut psikolog sosial kenamaan, Herbert C. Kelman, paling tidak ada tiga tingkat dan tahapan menuju terciptanya cinta sejati. Cinta yang menjadi asal muasal mengalirnya ibadah dan semua aktifitas. Terutama cinta umat kepada Nabi yang mulia.

Pertama ; compliance (ketundukan). Seseorang cinta sesuatu atau seseorang karena ada rasa cemas, khawatir dan takut akan kehilangan hal yang dapat menguntungkan dirinya. Ini cinta dengan pengaruh paling dangkal.

Kita “terpaksa” mencintai Rasul karena cemas, khawatir, dan takut kehilangan janji Rasul yang akan menguntungkan kita. Apa contohnya? Contohnya adalah syafaat.

Syafaat adalah “jaminan” dari Nabi kepada para umatnya yang pada dirinya terdapat dosa besar. Amat jelas bahwa syafaat akan menguntungkan agar dapat, paling tidak, meringankan balasan dan siksa dari Allah atas dosa dan maksiat yang dilakukan.

“شفاعتي لأهل الكبائر من أمتي”

“Syafaatku bagi pelaku dosa besar dari kalangan umatku.” (HR. Imam Abu Dawud dan Imam At Tirmidzi)

Kedua; tahap internalisasi. Ini tingkatan lebih tinggi dan membawa pengaruh yang lebih mendalam dibanding tahap compliance. Seseorang mencintai Nabi karena di dalam dirinya sudah tertanam keyakinan akan semua yang datang dari Allah lewat Nabi.

Kita mencintai Rasul karena kita yakin syafaat Nabi adalah “fasilitas” yang dianugerahkan Allah kepada Nabi agar dapat membantu umatnya terbebas, atau paling kurang, diringankan ancamannya oleh Allah SWT.

Persis seorang pasien yang mematuhi saran dokter dan mentaati anjuran serta meninggalkan larangan-larangannya. Ia meyakini resep dan anjuran dokter karena dia punya ilmu dan bertahun-tahun ikut pendidikan kedokteran.

Atau mahasiswa yang taat pada perintah dosennya. Atau para santri yang patuh kepada kiai karena yakin akan keilmuan dan kelebihan sang kiai. Cinta pasien, mahasiswa dan santri adalah sebuah internalisasi. Keyakinan yang mendalam.

Terakhir adalah proses identifikasi. Ini adalah tahapan terdalam dan tingkat tertinggi. Melampaui cinta karena ketundukan dan internalisasi. Seseorang mencintai dan meneladani Nabi karena memang ingin menirunya agar semua aktifitasnya menyerupai Nabi.

Dia ingin berjalan sebagaimana Nabi berjalan. Ia ingin makan, minum, tidur seperti Nabi. Ia ingin wudhu, salat, zakat dan berhaji seperti Nabi melakukan itu. Tentu tidak persis sama. Dia mengidentikkan diri.

Anak meniru orang tuanya adalah bukti cinta sejati. Anak perempuan mematut-matut diri di depan kaca saat ibunya sedang berdandan. Atau seorang anak laki-laki yang memaksa ikut “gowes” karena melihat ayahnya “sepedaan” setiap akhir pekan bersama kawan-kawannya.

Atau fans yang meniru idola dan panutannya. Atau murid yang yang berdiri di depan kelas, meniru gurunya mengajar. Mereka mengidentifikasi diri sebagai atau “to be” ibu, ayah, idola dan guru!!!

Wallaahu A’lamu Bishshowaab. Shollu ‘Alan Nabiy…

Penulis: Ishaq Zubaedi Raqib –MCH Daker Makkah Al Mukarramah

Sumber: Kemenag RI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *