Religi  

Niat Puasa Tasua Asyura di Muharram Sekaligus Jadwal dan Keutamaannya

Niat Puasa Tasua Asyura di Muharram Sekaligus Jadwal dan Keutamaannya

JAKARTA, Kabarnusa24.com – Merujuk pada penetapan 1 Muharram 1446 Hijriyah, terdapat perbedaan antara Nahdlatul Ulama dengan Muhammadiyah dan Pemerintah.

NU menetapkan awal Muharram 1446 H bertepatan Senin (8/7/2024). Sementara itu, Pemerintah, melalui penanggalan nasional, menyatakan 1 Muharram yang menandai tahun baru Islam Hijriyah 1446 bertepatan pada Ahad 7 Juli 2024. Keputusan ini sama dengan Muhammadiyah.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka berikut jadwal lengkap puasa sunnah di bulan Muharram merujuk pada perbedaan di atas.

Puasa sunnah di Muharram versi Pemerintah-Muhammadiyah:
1. Puasa 1-8 Muharram dapat dilaksanakan pada 7-14 Juli 2024
2. Puasa Tasua 9 Muharram dilaksanakan pada 15 Juli 2024
3. Puasa Asyura 10 Muharram dilaksanakan pada 16 Juli 2024
4. Puasa Ayyamul Bidh dilaksanakan pada 19-21 Juli 2024

Puasa sunnah di Muharram versi NU:
1.Puasa 1-8 Muharram dapat dilaksanakan pada 8-15 Juli 2024
2. Puasa Tasua 9 Muharram dilaksanakan pada 16 Juli 2024
3. Puasa Asyura 10 Muharram dilaksanakan pada 17 Juli 2024
4. Puasa Ayyamul Bidh dilaksanakan pada 20-22 Juli 2024

Sebagai bulan pembuka dalam kalender Hijriyah serta bagian dari bulan hurum (mulia), Muharram menjadi bulan yang diagungkan umat Islam. Terdapat berbagai macam amalan khusus di bulan ini terutama pada 10 atau sering disebut Asyura. Di antaranya adalah berpuasa.

Namun, terdapat pula tanggal istimewa selain puasa pada tanggal 10, yaitu berpuasa pada 9 Muharram alias puasa Tasua. Dalam beribadah, terdapat rukun yang mesti dilakukan. Di antaranya adalah niat.

Niat Puasa Tasu’a dan Asyura

Lafal niat puasa sunnah Tasua adalah sebagaimana berikut:

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ سُنَّةِ التَا سُوعَاء لِلهِ تَعَالَى

Nawaitu shauma ghadin ‘an adâ’i sunnatit Tasû‘â lillâhi ta‘âlâ.

“Aku berniat puasa sunnah Tasu‘a esok hari karena Allah SWT.”

Sedangkan niat puasa sunnah Asyura adalah:

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ سُنَّةِ ِعَا شُورَاء لِلهِ تَعَالَى

Nawaitu shauma ghadin ‘an adâ’i sunnatil âsyûrâ lillâhi ta‘âlâ.

“Aku berniat puasa sunnah Asyura esok hari karena Allah Swt.”
Jika niatnya dilakukan pada saat siang hari, sebelum tergelincirnya matahari maka lafalnya sebagai berikut:

نَوَيْتُ صَوْمَ هَذَا اليَوْمِ عَنْ أَدَاءِ سُنَّةِ التَا سُوعَاء أو عَا شُورَاء لِلهِ تَعَالَى

Nawaitu shauma hâdzal yaumi ‘an adâ’i sunnatit Tasû‘â awil âsyûrâ lillâhi ta‘âlâ

“Aku berniat puasa sunnah Tasu’a atau Asyura hari ini karena Allah SWT.”

Keutamaan
Keutamaan puasa Asyura terdapat dalam hadits-hadits sahih. Salah satunya hadits yang menyatakan bahwa puasa Asyura dapat menghapus dosa setahun kemarin. Nabi SAW bersabda:

وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ

“Adapun puasa pada hari Asyura, aku memohon kepada Allah agar puasa tersebut bisa menghapus dosa setahun sebelumnya.” (HR Muslim no 1162)

Imam an-Nawawi (w 676 H) menjelaskan maksud dosa yang diampuni pada hadits di atas adalah dosa kecil, atau paling tidak mendapat keringanan atas dosa besar atau pengangkatan derajat seorang hamba. (an-Nawawi, al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, juz 8, hlm 51)

Jadi, bukan pengampunan dosa seluruhnya, karena dosa besar kemungkinan besar Allah ampuni hanya apabila hamba bertaubat nasuha, taubat yang sungguh-sungguh.

Kemudian keutamaan lain dari puasa Asyura adalah antusiasnya Nabi SAW dalam melaksanakan puasa tersebut. Diceritakan dalam hadits riwayat Imam Bukhari dari Ibnu Abbas Ra.:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَرَّى صِيَامَ يَوْمٍ فَضَّلَهُ عَلَى غَيْرِهِ إِلَّا هَذَا الْيَوْمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَهَذَا الشَّهْرَ يَعْنِي شَهْرَ رَمَضَانَ

“Tidak pernah aku melihat Nabi SAW sengaja berpuasa pada suatu hari yang Beliau istimewakan dibanding hari-hari lainnya kecuali hari ‘Asyura’ dan bulan ini, yaitu bulan Ramadan”. (HR. Bukhari)

Sedang perintah untuk puasa Tasua, juga terdapat dalam hadits sahih riwayat Muslim dari Ibnu Abbas RA sebagai berikut:

حِينَ صَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Saat Rasulullah SAW berpuasa pada hari ‘Asyura`dan juga memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa; Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, itu adalah hari yang sangat diagungkan oleh kaum Yahudi dan Nasrani.” Maka Rasulullah SAW bersabda, “Pada tahun depan insya Allah, kita akan berpuasa pada hari ke sembilan (Muharam).” Tahun depan itu pun tak kunjung tiba, karena Rasulullah SAW wafat.” (HR Muslim)

Berdasarkan hadits ini dapat dipahami bahwa puasa Tasua dan Asyura merupakan Sunnah Nabi. Adapun di antara hikmah di balik dianjurkannya puasa Tasua atau puasa tanggal 9 Muharram agar tidak serupa dengan Nasrani dan Yahudi. (an-Nawawi, al-Majmu’, juz 6, hlm. 383).

Keutamaan Puasa sunnah Muharram
Namun, perlu dipahami bahwa anjuran puasa di bulan Muharram tidak hanya Tasua dan Asyura saja. Berdasarkan hadits:

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ؛ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ، وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ؛ صَلَاةُ اللَّيْلِ

“Puasa paling utama setelah Ramadhan adalan berpuasa di bulan Allah, yaitu Muharram, dan shalat yang paling utama setelah shalat fardhu adalah shalat malam.” (HR Muslim, Tirmidzi, Abu Daud, Nasai, Ibn Majah, Darimi, dan Ahmad)

Imam an-Nawawi (w 676 H) menjelaskan bahwa ternyata, puasa di bulan Muharram tidak hanya pada hari ke sepuluh saja yang populer disebut puasa Asyura atau Suro.

Menurutnya, hadits di atas menunjukkan keutamaan berpuasa di bulan Muharram seluruhnya.
Bahkan dengan jelas hadits di atas menunjukkan bahwa puasa di bulan Muharram adalah puasa paling utama setelah puasa bulan Ramadhan. (Lihat selengkapnya an-Nawawi, al-Minhaj Syarh Shahih Muslim Ibn Hajjaj, juz 8, hlm. 55). Wallahu A’lam.

Sumber: Majlis Ulama Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *