Investigasi Kajian Wisata Ritual, Berjumpa Nabi Muhammad Perspektif Logika Tasawuf dan Ilmu Mukasyafah

Investigasi Kajian Wisata Ritual, Berjumpa Nabi Muhammad Perspektif Logika Tasawuf dan Ilmu Mukasyafah

Investigasi Kajian Wisata Ritual, Berjumpa Nabi Muhammad Perspektif Logika Tasawuf dan Ilmu Mukasyafah

Kabarnusa24.com,- Apakah Kita Bisa Bertemu Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam Saat Ini?

Bertemu dengan orang yang kita cintai adalah hal yang paling indah dalam hidup kita. Hal ini karena, sebelum kita bertemu denganya, hati kita selalu bergejolak karena rindu dan ingin sekali bertemu.

Setelah bertemu, apa yang diimpikan hati kita terbayar semua dengan melihat langsung dirinya.

Hal ini tentu sama jika kita ingin bertemu Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam.

Saat kita rindu baginda Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam, kita yang selalu bershalawat kepadanya dan membaca perjalanan hidupnya (Maulidnya) yang penuh suka dan duka, pasti berkeingan untuk bertemu nabi, bertemu dengan kekasih Allah ini.

Tentunya, kita semua akan bertemu dengan Rasulullah Shalallahu Alayhi Wasallam di akhirat kelak dengan izin dan rahmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Akan tetapi, pada masa kita masih hidup seperti sekarang, apakah kita bisa bertemu dan berjumpa dengan Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam ?

Dalam Kitab Ru’yatu Rasulillah, Karya Al-Habib Abdurrazzaq bin Musthafa Al-Azhmatkhan Al-Husaini (Guru Tasawuf Presiden Soekarno, yang ditulis tahun 1908) dan buku Otensitas Hadis Menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi, karya Usman Sya’roni, disebutkan bahwa menurut kaum Sufi, bertemu dengan Rasulullah setelah wafatnya baik dalam mimpi atau kondisi mukasyafah atau kondisi terjaga adalah hal yang benar dan bisa terjadi.

Bertemu dalam hal ini bisa dalam mimpi ketika tertidur, atau dalam keadaan terbangun.

Bagi orang yang tidak mengenal dunia tasawuf atau tidak pernah memasuki dunia tasawuf, tampaknya pengalaman tersebut irassional dan mungkin bertentangan dengan akidah mereka.

Kaum Sufi berpendapat, bahwa meninggalnya Rasululalh Shalallahu Alaihi Wasallam pada tanggal 12 Rabi’ul Awwwal 11 H, bukan berarti beliau pergi untuk selama-lamanya, melainkan sebenarnya beliau ‘masih hidup’ dan terus menerus mengawasi umatnya.

Sehingga, pendapat kaum sufi bahwa Rasulullah ‘masih hidup’, menjadi landasan mereka bahwa bertemu dengan Rasulullah untuk saat ini adalah suatu hal yang mungkin.

Setidaknya, para kaum sufi menyodorkan dalil-dalil, bahwa Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam ‘masih hidup’, di antaranya pada Surah Al-Baqarah ayat 154:

وَلَا تَقُوْلُوْا لِمَنْ يُّقْتَلُ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ اَمْوَاتٌ ۗ بَلْ اَحْيَاۤءٌ وَّلٰكِنْ لَّا تَشْعُرُوْنَ

Artinya: Dan janganlah kamu mengatakan orang-orang yang terbunuh di jalan Allah (mereka) telah mati. Sebenarnya (mereka) hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya. (Q.S Al-Baqarah: 154).

pada ayat di atas menegaskan, bahwa orang-orang yang mati di jalan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, pada hakikatnya tidak mati namun tetap ‘hidup’. Akan tetapi orang-orang di dunia tidak menyadarinya.

Kalau para Syuhada saja dinyatakan oleh Al-Qur’an tidak meninggal, bagaimana dengan Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam yang mempunyai kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan mereka?.

Dalil lain yang menyatakan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam masih ada dan kita bisa bertemu nabi, ialah hadits yang diriwayatakan oleh Ibnu Majah yang berbunyi:

قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ : إِنَّ مِنْ أَفْضَلِ أَيَّامِكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ ، فِيهِ خُلِقَ آدَمُ ، وَفِيهِ النَّفْخَةُ ، وَفِيهِ الصَّعْقَةُ ، فَأَكْثِرُوا عَلَيَّ مِنَ الصَّلاَةِ فِيهِ ، فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ مَعْرُوضَةٌ عَلَيَّ , فَقَالَ رَجُلٌ : يَا رَسُولَ اللهِ ، كَيْفَ تُعْرَضُ صَلاَتُنَا عَلَيْكَ وَقَدْ أَرَمْتَ ؟ يَعْنِي بَلِيتَ ، فَقَالَ : إِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَ عَلَى الأَرْضِ أَنْ تَأْكُلَ أَجْسَادَ الأَنْبِيَاءِ

Artinya: “Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Sesungguhnya hari yang yang paling utama dari hari-hari kalian adalah hari Jum’at, pada hari itu Adam diciptakan, sangkakala ditiup dan di hari itu datang Hari Kiamat. Maka perbanyaklah shalawat kepadaku pada hari itu, sesungguhnya shalawat kalian akan sampai kepadaku.” Seorang laki-laki bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana shalawat kami bisa sampai kepadamu, sementara engkau telah tiada dan jasadmu telah hancur?” Beliau menjawab, “Allah telah mengharamkan bagi bumi untuk makan jasad para Nabi.” (H.R Ibnu Majah)

Dalam hadits di atas, Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam memerintahkan para sahabatnya agar memperbanyak membaca shalawat, walaupun beliau sudah tiada, karena semua shalawat yang dibacakan kepadanya akan disampaikan kepada beliau, dan beliau akan menjawabnya.

Pada mulanya para sahabat merasa heran, mungkinkah orang yang sudah meninggal dunia dapat menjawab dan berinteraksi dengan orang yang masih hidup?.

Menanggapi hal ini, Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam mengatakan, bahwa jasad para Nabi tidak hancur oleh bumi. Hal ini mengisyaratkan bahwa Rasulullah itu ‘masih hidup’, dan mengetahui shalawat yang sampai kepadanya dari umatnya.

Dengan demikian , jelaslah bahwa para Nabi itu memang betul-betul masih ‘hidup’ di alam kubur mereka.

Tapi muncul pertanyaan dari sini, kalau Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam dan para Nabi lainya betul-betul masih ‘hidup’, mengapa mereka tidak pernah terlihat berjalan-jalan di sekitar kita?

Jawabanya, tak lain karena kehidupan para Nabi di alam barzakh dan dunia ini berbeda. Hanya orang-orang suci yang telah mendapatkan kasyf atau mukasyafah (pengalaman keterbukaan ruhani) yang memungkinkan untuk dapat melihat para Nabi, dan hanya bagi mereka yang benar-benar mengikuti sunnah Rasul saja yang akan dapat bertemu dengan beliau.

Sehingga, bisa diambil kesimpulan juga, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk bertemu Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam saat ini, yaitu memiliki pengalaman spritualitas yang tinggi, serta selalu konsisten dalam mengikuti jejak Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam.

اللهم صلى على سيدنا محمد وعلى آل سيدنا محمد

(Referensi: Kitab Ru’yatu Rasulillah, Karya Al-Habib Abdurrazzaq bin Musthafa Al-Azhmatkhan Al-Husaini, tahun 1908. Buku Otensitas Hadis Menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi, karya Usman Sya’roni)

Oleh : Sayyid Abdul Kodir Jaelani – Bekasi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *