Petuah “Emas” dari Grand Syekh Al Azhar Ahmed Al Tayeb

Petuah “Emas” dari Grand Syekh Al Azhar Ahmed Al Tayeb
Grand Syekh Al Azhar Ahmed Al Tayeb

Kabarnus24.com,- Kehadiran Grand Syeikh Al-Azhar yang juga Ketua Majelis Hukama Muslimin (MHM), Imam Akbar Ahmed Al Tayeb ke Indonesia merupakan sebuah kehormatan dan kemulian bagi bangsa Indonesia. Kehadirannya disambut dengan penuh antusisas oleh semua kalangan masyarakat, mulai dari Presiden Joko Widodo, Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin, Menteri Agama Yaqut Cholis Qoumas, para cendikiawan, akademisi, tokoh lintas agama, dan umat Islam.

Lawatannya ke Indonesia, selama empat hari, untuk melaksanakan sejumlah pertemuan dan menghadiri sejumlah agenda dengan berbagai lapisan masyarakat dan organisasi masyarakat. Salah satunya adalah kunjungan Grand Syekh Al Azhar Ahmed Al Tayeb ke Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, 9 Juli 2024, untuk menyampaikan orasi ilmiah.

Syekh Ahmed Al Tayeb membahas banyak hal terutama tentang kondisi umat Islam saat ini, mengenai peradaban umat Islam, problematika dan solusinya. Grand Syekh juga menyinggung tentang sikap umat Islam belakangan ini yang telah mengenyampingkan sikap toleran dalam menghadapi perbedaaan keyakinan. Dia menyampaikan pesan perdamaian, merawat kerukunan dan petuah untuk bangkit dari ketertinggalan.

Tentu, ini adalah momen istimewa bagi penulis dan juga kawan-kawan yang lain, bisa menyaksikan langsung petuahnya. Momentum yang berharga bagi semua untuk menimba ilmu dari sosok yang sangat bersahaja.

Di antara point-point penting yang disampaikan, penulis tertarik mengutip pertanyaan Grand Syekh saat menjelaskan bahwa penyakit yang dihadapi umat Islam saat ini adalah perpecahan, perselisihan (ikhtilaf), dan permusuhan internal. Itu adalah penyakit ganas yang selama ini membubuhkan titik kelemahan di tubuh umat Islam dan akhirnya dimanfaatkan oleh bangsa lain.

“Berapa banyak aliran di dunia dakwah saat ini yang menjadi latar belakang permusuhan, kebencian, dan pertengkaran di antara generasi muda muslim? Ke mana perginya perhatian para pendakwah muda terhadap isu-isu krusial umat?,” ujarnya.

“Mengapa mereka tidak membahas isu-isu besar ini dalam ceramah mereka yang kadang justru mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram? Apakah generasi muda kita tahu tentang Al-Quds, Masjid Al-Aqsa, dan penderitaannya sebagaimana mereka tahu tentang perdebatan teologis antara Asy’ariyah, Salafiyah, dan Sufiyah? Apakah mereka peduli dengan kondisi umat seperti mereka peduli dengan isu-isu perdebatan yang sepele dan sudah tidak relevan?,” ungkapnya lagi.

Menurut Syekh Ahmed Al Tayeb, perbedaan atau batas antara lima hukum syariat telah atau hampir menghilang, dan keluarga dalam masyarakat Islam kini sibuk dengan isu-isu kecil yang tidak memiliki kewajiban syariat, sembari mengabaikan isu-isu besar yang sangat penting dalam syariat Islam seperti berbakti kepada orang tua, berbuat baik kepada tetangga, menghargai nilai kerja, waktu, kebersihan, dan kasih sayang kepada sesama.

“Isu-isu ini telah bergeser turun ke urutan paling bawah dalam daftar kewajiban,” ujarnya.

Dia mengajak umat Islam untuk berhenti sejenak, dan fokus memikirkan fenomena yang dapat menghancurkan masyarakat Islam dari akarnya, yaitu mudahnya mengkafirkan sesama. “Oleh karena itu, kini waktunya umat Islam bergerak dan bekerja keras, bukan hanya sekedar retorika. Bangsa lain terus bekerja dalam hening dan penuh ancaman, membuat rencana dan makar yang sistematis,” kata Grand Syek Al Azhar.

“Kita sudah bosan dengan kata-kata tanpa aksi nyata dalam realita. Saya mengingatkan Anda pada kata-kata emas dari Imam Malik yang mengatakan “Saya tidak suka berbicara tentang sesuatu yang tidak berdampak pada tindakan nyata,” katanya lagi.

Ahmed Al Tayeb: Perbedaan itu Fitrah

Setelah menutup naskah pidato, Grand Syekh melanjutkan petuahnya. Ia mengatakan bahwa Agama Islam memiliki prinsip-prinsip yang senantiasa mendorong umatnya untuk bersatu meski berbeda-beda, sebagaimana juga tercermin dalam slogan ‘Bhinneka Tunggal Ika’.

“Perbedaan dalam keyakinan beragama merupakan fitrah dan tidak akan pernah hilang. Perbedaan dalam beragama akan terus ada hingga akhir zaman karena sejatinya manusia memang diciptakan berbeda-beda termasuk dalam persoalan keyakinan beragama,” ujarnya.

Beliau menjelaskan, Al-Qur’an dengan tegas menyatakan tentang perbedaan antara sesama manusia dalam surat Hud ayat 118. Dalam ayat tersebut, kata beliau, Allah SWT mengatakan bahwa jika Allah berkendak maka bisa saja Allah menciptakan manusia ini hanya satu bahasa, satu bangsa dan satu agama.

“Namun, Allah berkehendak bahwa perbedaan akan selalu ada di antara sesama manusia di segala aspek sampai hari kiamat. Bahkan ayat tersebut menyiratkan bahwa perbedaan tersebut tidak dapat dihilangkan,” ujarnya.

Imam Akbar Ahmed Al Tayeb menambahkan, pada ayat 19 surat Hud juga dijelaskan bahwa manusia memang diciptakan untuk berbeda-beda. “Sebagian ahli tafsir menafsirkan bahwa lafaz walidzalika khalaqahum pada ayat selanjutnya menunjukkan bahwa manusia memang diciptakan untuk berbeda-beda. Artinya, seandainya bukan karena perbedaan tersebut maka manusia tidak akan diciptakan,” ungkapnya.

Menurut Grand Syeikh Azhar ini, Islam mengajarkan prinsip-prinsip toleransi dan penghormataan terhadap perbedaan keyakinan. “Sebagai bentuk pelindungan atas perbedaan dalam akidah adalah laa ikraaha fid din, hal tersebut karena pemaksaan dalam beragama berbenturan dengan kehendak Allah yang telah menciptakan manusia berbeda-beda,” ujarnya.

Grand Syekh Ahmed Al Tayeb mengatakan, umat Islam harus mengedepankan sikap saling menghormati antar umat beragama karena sejatinya hal itu adalah ajaran Islam. “Perlu dibedakan antara “menghormati” dan “mengimani” akidah agama lain karena umat Islam diperintahkan untuk tidak mengimani akidah agama lain,” kata Ahmed.

Dia menegaskan, Rasulullah saw sebagai sosok agung juga menerapkan prinsip-prinsip toleransi yang tercermin dalam sikap beliau dalam menghormati pemeluk agama lainnya. “Aplikasi dari hal-hal tersebut di atas terdapat dalam wasiat Rasulullah SAW ketika mengutus sahabat untuk mengutip zakat ke Yaman. Siapa pun yang menolak Islam dari kalangan Yahudi atau Nasrani, maka jangan kalian paksa mereka meninggalkan agama mereka. Ini adalah sebuah sikap yang mengagumkan dari seorang yang diutus untuk mengajak manusia kepada agama Islam namun tetap menghormati keyakinan orang lain,” ujarnya.

Ahmed Al Tayeb bmempertanyakan sikap umat yang kerap memperselisihkan hukum tentang pengucapan selamat hari besar agama lainnya. Menurutnya, hal ini jauh dari prinsip yang diajarkan Islam. “Ketika Islam membolehkan seorang lelaki muslim menikahi wanita non-muslim, membolehkan menemani istrinya ke tempat ibadah, melarang suami memaksa istrinya masuk Islam atau bahkan sekedar mengajaknya dengan iming-iming tertentu. Apakah masuk akal jika pada saat tiba hari raya agama istrinya Islam mengharamkan suami untuk memberi ucapan selamat?,” ujarnya.

Dia melanjutkan, Islam mengajarkan untuk berbuat baik kepada semua umat beragama bahkan umat Islam tidak diajarkan untuk berperang kecuali dalam kondisi membela diri. “Satu-satunya alasan yang membolehkan umat Islam berperang adalah ketika mereka dalam kondisi membela diri ketika mereka diserang baik oleh kafir dari golongan ahli kitab atau bukan,” ungkapnya.

Sungguh, kehadiran Syeikh Al-Azhar ke Indonesia menjadi momen yang tak terlupakan. Ini momen penting mendengar kembali petuah Grand Syekh setelah penulis menamatkan pendidikan di Al Azhar pada 2007. Pesan-pesannya yang menyejukkan hati akan terus dikenang dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Semoga kita termotivasi untuk menjaga persatuan dan dakwah yang menyejukkan. Terima kasih Maulana Imam Grand Syeikh Al Azhar Ahmed El Tayeb, Semoga Allah SWT senantiasa menjaga dan melindungimu dari berbagai fitnah dan marabahaya. Amin.[]

Muhammad Nasril, Lc. MA (ASN Kemenag Aceh Besar & Mahasiswa S3 Hukum Islam UIN Jakarta (Program BIB Kemenag-LPDP)

Sumber: Kemenag RI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *