Tutup
SejarahSekapur Sirih

Mengenang Peristiwa Tragedi Asyura, Syahidnya Al-imam AL-Husain Bin Ali (Cucu Kesayangan Rosulallah)

2
×

Mengenang Peristiwa Tragedi Asyura, Syahidnya Al-imam AL-Husain Bin Ali (Cucu Kesayangan Rosulallah)

Sebarkan artikel ini
Mengenang Peristiwa Tragedi Asyura, Syahidnya Al-imam AL-Husain Bin Ali (Cucu Kesayangan Rosulallah)

Mengenang Peristiwa Tragedi Asyura, Syahidnya Al-imam AL-Husain Bin Ali (Cucu Kesayangan Rosulallah)

Kabarnusa24.com – Dalam sebuah riwayat Hadits, Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam bersabda :

حسين مني وأنا من حسين، أحب الله من أحب حسينا

المصدر : بحار الأنوار: 43 / 261 / 1 وص 264 / 16

Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam bersabda: “Husain dariku, dan (keturunan) ku dari Husain. Allah akan mencintai siapa yang mencintai Husain”.(Kitab Biharul Anwar).

Dalam Sejarah Islam, tanggal 10 Muharram, menjadi hari yang sangat penting dan mulia. Terutama bagi Ahlulbayt dan Dzurriyyah Rasulullah di seluruh dunia.

Karena pada tanggal itu Al-Imam Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib, putra Fathimah Az-Zahra binti Rasulullah, cucu kesayangan Rasulullah, berikut keluarga dan orang-orang yang ikut bersamanya terbunuh dan dibantai secara kejam di sebuah daerah bernama Karbala. Irak.

Beliau (Al-Imam Al-Husain bin Ali, Radhiyallahu Anhu wa Alaihis Salam) terbunuh sesudah mengalami isolasi dan pertempuran selama 3 hari di tempat itu (Karbala), oleh pasukan yang dikirim Yazid bin Mu’awiyah (yang mengaku beragama Islam, tapi masih memusuhi keluarga Nabi Muhammad, sang Nabi Pembawa Islam).

Pada setiap 10 Muharram atau setiap Asyura, setiap tahun sejak saat peristiwa itu, para pengikut Imam Ali bin Abi Thalib, pengikut Imam Al-Husain bin Ali, seluruh Dzurriyyah Rasulullah di seluruh dunia, baik yang mengaku Syi’ah maupun Ahlussunah Wal Jama’ah, menjadikan hari itu sebagai hari perkabungan internasional atau Hari Duka Sedunia.

Karena Al-Imam Al-Husain bin Ali adalah milik Seluruh Umat Islam, bukan hanya milik Syi’ah, tapi juga milik Ahlussunah Wal Jama’ah, terutama yang merasa keturunan Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam.

Sebuah kisah tentang ini menyebutkan bahwa Suatu hari Al-Imam Husain diundang warga Irak untuk datang ke Kufah, Irak. Mereka berjanji akan memberikan dukungan bagi kekuasaanya, menggantikan kakaknya Al-Imam Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib.

Beberapa orang sahabat menyarankan agar Al-Imam Al-Husain tidak berangkat ke sana. Ini berdasarkan pengalaman bahwa tidak semua orang Kufah jujur dan bisa dipercaya.

Abdullah bin Zubair bin Awwam mengatakan kepada Al-Imam Al-Husain:

أين تذهب؟! تذهب إلى قوم قتلوا أباك وطعنوا أخاك. لا تذهب فأبى الحسين إلا أن يخرج

“Akan kemanakah, anda Al-Imam Al-Husain?. Apakah anda akan pergi menemui kelompok yang telah membunuh ayahmu dan menikam kakakmu; Al-Imam Al-Hasan?. Urungkan keinginanmu untuk pergi ke sana”.

Abdullah bin Abbas juga menyampaikan nasehat agar Al-Imam Al-Husain mengurungkan kepergiannya ke Irak. Ia mengatakan :

يابن عم، إني أتخوف عليك في هذا الوجه الهلاك، إن أهل العراق قوم غُدر فلا تغترَنَّ بهم، أقم في هذا البلد .فقال الحسين بن علي: يابن عم، والله إني لأعلم أنك ناصح شفيق، ولكني قد أزمعت المسير. فقال له: فإن كنت ولا بد سائرًا فلا تسر بأولادك ونسائك، فوالله إني لخائف أن تُقتَلَ كما قُتِلَ عثمانُ ونساؤه وولده ينظرون إليه

“Wahai Al-Imam Al-Husain, putra pamanku, sungguh aku sangat mengkhawatirkanmu. Warga Irak adalah kaum yang sering tidak setia. Anda jangan terjebak pada bujuk-rayu mereka. Tinggal saja di sini”.

Al-Imam Al-Husain menjawab,“Putra pamanku, Demi Allah, aku mengerti engkau telah memberikan nasehat yang baik. Terima kasih. Tetapi aku telah bertekad untuk berangkat ke sana.”

Abdullah bin Abbas mengatakan lagi,“Jika anda harus berangkat, aku berharap tidak membawa anak-anak, perempuan-perempuan dan keluargamu. Demi Allah, aku khawatir anda akan dibunuh, sebagaimana Utsman. Dan kematian itu disaksikan oleh kaum perempuan, keluarga dan anak laki-lakinya.”

Tetapi Al-Imam Al-Husain mengabaikan nasehat dari para sepupunya itu.

Al-Imam Al-Husain bergeming. Ia percaya pada janji warga Kufah yang akan memberinya janji sumpah setia (baiat) kepadanya. Al-Imam Al-Husain mengatakan, “Aku sudah melakukan istikharah, minta petunjuk Allah, dan Allah memberi petunjuk yang baik. Aku akan berangkat ke sana.”

Al-Imam Al-Husain akhirnya berangkat ke sana diiringi keluarganya dan sejumlah pengikutnya yang diperkirakan terdiri dari 72 anggota keluarga dan kurang dari 100 orang pengikutnya. Sampai di Karbala, beberapa kilometer dari Kufah, tentara Yazid bin Muawiyah, dalam jumlah besar, lebih dari 3000 tentara, dibawah panglimanya; Ubaidillah Ibn Ziyad, segera menghadangnya.

Ibn Ziyad memerintahkan Umar bin Saad memimpin pasukan.

Saat bertemu Al-Imam Al-Husain, Umar mengajukan tawaran agar Al-Husain tunduk kepada Yazid bin Mu’awiyah. Tetapi Al-Imam Al-Husain menolak dengan tegas. Ia tidak mau mengakui kekuasaan Yazid yang tidak sah. Dia dan ayahnya telah merampas kekuasaan Al-Imam Ali bin Abi Thalib, ayahnya. Maka perang tak sebanding berlangsung sengit.

Al-Imam Al-Husain, para pengikut dan keluarganya, kecuali sejumlah perempuan dan putranya, Al-Imam Ali Zainal Abidin As-Sajjad, dibantai.

Kepala Al-Imam Al-Husain dipisahkan dari tubuhnya, lalu ditaruh di sebuah wadah semacam mangkok besar. Sesudah itu kepala Al-Imam Al-Husain dibawa ke Damaskus, Suriah, Pusat Ibukota Kerajaan Muawiyah, dan diserahkan kepada Yazid bin Muawiyah.

Konon, saat melihat potongan kepala tersebut, Yazid justru senang dan merasa puas.

Beberapa waktu kemudian Yazid menyerahkannya kepada Zainab yang diusirnya agar membawa kepala itu ke Mesir.

Menurut satu versi, perempuan ini lalu mengubur kepala Husein itu di Kairo. Mesir. Kuburan itu berada di tempat yang kini dikenal dengan Masjid Husain.

Sementara tubuh Al-Imam Al-Husain dikubur di Karbala, Irak.

Peristiwa Karbala dikenang sepanjang masa oleh muslimin Pecinta Al-Imam Al-Husain sebagai sebuah tragedi kemanusiaan terbesar.

Sampai hari ini kaum Pecinta Al-Imam Al-Husain di seluruh dunia, memperingatinya sebagai hari duka nestapa.

Para pengikut Al-Imam Al-Husain di berbagai negara, memperingati hari Asyura selama 10 hari, sejak tanggal 1 hingga tanggal 10 Muharram. Selama itu, bendera hitam setengah tiang dikibarkan. Selain peringatan tanggal 10 Muharram itu, mereka juga menyelenggarakan upacara perkabungan selama 40 hari.

Di Kairo, Mesir terdapat masjid Al-Husain di bilangan yang populer disebut dengan namanya : Husain. Ia berdampingan dengan masjid (Jami’) Al Azhar. Di Masjid itu diyakini kepala Al-Imam Al-Husain dikubur di sana. Sampai hari ini kuburan itu diziarahi banyak orang laki-laki dan perempuan dari seluruh Penjuru Dunia.

Di tempat itu mereka berdoa dan menangisi Syahidnya Al-Imam Al-Husain. “Waa Husaynaaah….. Waa Husaynaaah” (Duhai Husain…. Duhai Husain….Oh Husain).

Suara-suara duka itu memang memilukan dan menyayat-nyayat hati. Mereka mencintai cucu Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam, dan menyesali Syahidnya Al-Imam Al-Husain yang dibunuh oleh Pasukan Yazid bin Muawiyah yang mengaku Beragama Islam, tapi membenci Keluarga Rasulullah.

 

REFERENSI :

1. Kitab Manaqib Al-Imam Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib. Karya Al-Imam An-Naqib Al-Mufassir Al-Muhaddits Al-Hafizh Al-Habib Prof.Dr.KH.R. Shohibul Faroji Al-Azhmatkhan.SAg.MA.PhD. (Al-Imam An-Naqib dari Lembaga Nasab Baitul Ansab Lil Asyraf Al-Azhmatkhan Wa Ahlulbayt Al-Alamiy ato Asryaf International)
2. Kitab Biharul Anwar, Karya : As-Sayyid Muhammad Baqir bin Muhammad Taqi bin Al-Maqsud Ali al- Majlisi Al-Husaini

Pemateri Oleh : Abdul kofir Jaelani (AKJ) bin SM Amin bin Tubagus Djamin bin Ry’an bin Sya’ Nur bin Tubagus Muhyiddin bin Muhammad Soleh bin Tubagus Kacung bin Sayyid Maulana.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *