JAKARTA, Kabarnusa24.com – Perluasan dan pengembangan suatu wilayah terkadang dihadapkan dengan kompleks pemakaman yang telah ada sebelumnya di daerah tersebut. Tidak jarang, makam dipindahkan ke kompleks lain. Lalu bagaimanakah hukum memindahkan makam ini?
Dalam Rubrik Konsultasi Agama MUIDigital, anggota Komisi Fatwa MUI, KH Romli, menjelaskan pada dasarnya memindahkan, membongkar atau menggusur jenazah sebelum jenazah itu rusak, adalah hukumnya haram. Karena merusak kehormatan mayit. Hal ini diperkuat dengan firman Allah SWT di surat Al-Isra ayat 70:
۞ وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِيْٓ اٰدَمَ وَحَمَلْنٰهُمْ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنٰهُمْ مِّنَ الطَّيِّبٰتِ وَفَضَّلْنٰهُمْ عَلٰى كَثِيْرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيْلًا ࣖ
“Sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam dan Kami angkut mereka di darat dan di laut. Kami anugerahkan pula kepada mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.” Begitu juga Nabi bersabda :
كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّارواه أبو داود
“Memecahkan tulang mayit seperti memecah tulang orang hidup.” (HR Abu Dawud)
Lihat juga fatwa MUI tahun 1981 tentang pemindahan jenazah, bahwa memindahkan jenazah yang telah dimakamkan itu tidak boleh, kecuali ada alasan yang dibenarkan oleh syariat. Sebab di antara penghormatan Allah SWT kepada manusia dengan tidak menggali kuburannya dan merusak kehormatannya.
Namun demikian seiring dengan perkembangan dan perluasan kawasan dan wilayah, ternyata banyak makam-makam yang dipindahkan dan digusur. Entah untuk keperluan pembangunan gedung, jalan raya ataupun jalan tol. Lalu bagaimana hukumnya?
Dalam literatur fikih, ulama berbeda pendapat terkait persoalan ini. Pertama, ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa haram hukumnya memindahkan mayit dari tempat (negeri atau balad) meninggalnya.
Hukum ini berlaku meskipun belum terjadi perubahan pada mayit, sebab ini termasuk ke dalam perbuatan menunda penguburan mayit dan merusak kehormatan mayit.
Akan tetapi ulama Syafi’iyah juga menyatakan bahwa diperbolehkan memindahkan mayit dari tempat meninggalnya untuk dimakamkan menuju tempat yang saling terhubung atau berdekatan. Ini juga termasuk apabila telah terjadi adat (uruf) yang berlaku dalam masalah ini (memindahkan mayit dari tempat meninggalnya).
Kedua, ulama Hanafiyyah berpendapat diperbolehkan memindahkan mayit sebelum dikuburkan baik jaraknya jauh maupun dekat. Akan tetapi, apabila telah dikuburkan tidak diperkenankan atau haram memindahkannya. Menurut salah satu pendapat dari Imam As-Syarkhasy bila telah melewati jarak 2 mil maka makruh memindahkan makam dari si mayit tersebut.
Ketiga, ulama Malikiyyah berpendapat diperbolehkan memindahkan mayit baik sebelum atau setelah dikuburkan. Hal ini dengan syarat asal tidak menyebabkan pemindahan tersebut sampai mayit terpecah atau tubuhnya rusak sehingga mengeluarkan bau busuk yang akan menodai kehormatan mayit (menyebabkan aib bagi mayit).
Pemindahan tersebut juga diperbolehkan apabila dikhawatirkan mayit akan tergerus air laut atau pemindahan mayit tersebut untuk dipindahkan ketempat yang lebih berkah. Misalnya adalah dengan dimakamkan di antara keluarganya atau supaya keluarganya dekat untuk menziarahi kuburannya.
Keempat, ulama Hanabilah berpendapat tidak diperbolehkan memindahkan mayit dari tempat meninggalnya kecuali dengan tujuan yang baik. Contohnya adalah seperti memindahkan mayit ke tempat yang mulia dari tempat meninggalnya. Lihat : Abdur-Rahman al- Jaziri, Madzahibul al-Arba’ah, Juz 1, h. 538 berikut:
نقل الميت من جهة موته
المالكية- قالوا: يجوز نقل الميت قبل الدفن وبعده من مكان إلى آخر بشروط ثلاثة: أولها: أن لا ينفجر حال نقله، ثانيها: أن لا تهتك حرمته بأن ينقل على وجه يكون فيه تحقير له، ثالثها: أن يكون نقله لمصلحة، كأن يخشى من طغيان البحر على قبره، أو يراد نقله إلى مكان له قيمة، أو إلى مكان قريب من أهله، أو لأجل زيارة أهله إياه فإن فقد شرط من هذه الشروط الثلاثة حرم النقل
الحنفية- قالوا: يستحب أن يدفن الميت في الجهة التي مات فيها، ولا بأس بنقله من بلدة إلى أخرى قبل الدفن عند أمن تغير رائحته، أما بعد الدفن فيحرم إخراجه ونقله، إلا إذا كانت الأرض التي دفن فيها مغصوبة، أو أخذت بعد دفنه بشفعة.
الشافعية- قالوا: يحرم نقل الميت قبل دفنه من محل موته إلى آخر ليدفن فيه ولو أمن تغيره، إلا إن جرت عادتهم بدفن موتاهم في غير بلدتهم، ويستثنى من ذلك من مات في جهة قريبة من مكة، أو المدينة المنورة، أو بيت المقدس، أو قريباً من مقبرة قوم صالحين فإنه يسن نقله إليها إذا لم يخش تغير رائحته، وإلا حرم، وهذا كله إذا كان قد تم غسله وتكفينه والصلاة عليه في محل موتته، وأما قبل ذلك فيحرم مطلقاً، وكذلك يحرم نقله بعد دفنه إلا لضرورة، كمن دفن في أرض مغصوبه فيجوز نقله إن طالب بها مالكها.
الحنابلة- قالوا: لا بأس بنقل الميت من الجهة التي مات فيها إلى جهة بعيدة عنها، بشرط أن يكون النقل لغرض صحيح، كأن ينقل إلى بقعة شريفة ليدفن فيها أو ليدفن بجوار رجل صالح
Berdasarkan penjelasan di atas, penulis cenderung pada pendapat yang memperbolehkan pembongkaran dan pemindahan mayit. Hal ini dengan syarat harus sesuai dengan ketentuan dan dengan alasan-alasan yang bersifat syar’i, dharuriy, dan ada kebutuhan mendesak, misalnya:
Jenazah dikubur tanpa dimandikan, dikubur di tanah atau pakaian yang digasab, harta jatuh di tempat pengkuburan, atau dikubur tanpa menghadap kiblat.
وَنَبْشُهُ بَعْدَ دَفْنِهِ لِلنَّقْلِ وَغَيْرهِ حَرَامٌ إِلَّا لِضَرُوْرَةٍ بِأَنْ دُفِنَ بِلَا غُسْلٍ أَوْ فِيْ أَرْضٍ أَوْ ثَوْبٍ مَغْصُوْبِيْنَ أَوْ وَقَعَ فِيْهِ مَالٌ أَوْ دُفِنَ لِغَيْرِ الْقِبْلَةِ لَا لِلتَّكْفِيْنِ فِي الْأَصَّحِ
(lihat : al-Imam Muhyiddin Abu zakariyya Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Minhaj al-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin fi al-Fiqh: 62)
Ada kebutuhan yang mendesak, seperti kondisi tanah yang becek atau keluar air kotor yang membuat genangan, di daerah sekitarnya banyak binatang buas, atau hal-hal lain yang sekiranya menggangu mayat.
Tanah yang dipakai untuk memakamkan milik orang lain dan pemiliknya tidak rela, hingga harus dipindahkan ke pemakaman umum atau lahan pribadi. Ada rencana untuk menggunakan lahan makam demi kepentingan umum seperti jalan
Dengan catatan, dalam pembongkaran dan pemindahannya tetap harus memperlakukan dan merawat mayit sebagaimana mestinya. Yaitu menjaga kehormatan orang yang meninggal (mayit), tidak boleh merusak jasadnya dan memecah apalagi mematahkan orang meninggal. Wallahu’alam
Sumber: Majlis Ulama Indonesia/ MUI