Tutup
Religi

3 Sifat dan Tabiat Buruk Manusia di Gambarkan dalam Al-Quran 

6
×

3 Sifat dan Tabiat Buruk Manusia di Gambarkan dalam Al-Quran 

Sebarkan artikel ini
3 Sifat dan Tabiat Buruk Manusia di Gambarkan dalam Al-Quran 
Ilustrasi Prilaku Sifat Manu'a (kikir dan pelit)

Kabarnusa24.com, – Manusia sering kali tidak menyadari tabiat asli dan kelemahan-kelemahannya sendiri, sehingga terjebak dalam siklus perilaku negatif yang sama. Padahal, jauh-jauh hari, Allah telah menggambarkan dengan jelas sifat, tabiat, dan kelemahan manusia. Salah satu contohnya adalah dalam surah Al-Ma’arij ayat 19-21, di mana Allah berfirman:

إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ خُلِقَ هَلُوعًا ، إِذَا مَسَّهُ ٱلشَّرُّ جَزُوعٗا ، وَإِذَا مَسَّهُ ٱلۡخَيۡرُ مَنُوعًا

Artinya, “Sesungguhnya manusia diciptakan dengan sifat keluh kesah. Apabila ditimpa keburukan (kesusahan), ia berkeluh kesah. Apabila mendapat kebaikan (harta), ia amat kikir,” (QS. Al-Ma’arij [70]: 19-21).

Namun, siapakah yang dimaksud dengan “manusia” dalam ayat ini? Apakah orang beriman atau bukan? Al-Qurthubi mengutip pendapat ad-Dhahhak yang menyatakan bahwa manusia yang dimaksud pada ayat tersebut adalah mereka yang kufur.

Sementara itu, al-Baghawi mengutip adh-Dhahhak yang mengatakan bahwa manusia yang dimaksud adalah mereka yang kikir. (Al-Baghawi, Ma’alim at-Tanzil fil-Quran, [Beirut: Daru Ihyait-Turats, 2000], jilid V, halaman 153).

Penulis sendiri lebih condong kepada konteks ayat ini yang lebih merujuk kepada orang beriman, karena ayat berikutnya menyebutkan, “kecuali orang-orang yang shalat.” Orang yang menjaga shalatnya tentu saja merupakan golongan orang beriman.

Sementara itu, menurut Tafsir al-Qurthubi, istilah “kufur” yang digunakan lebih merujuk pada “kufur nikmat” atau tidak adanya rasa syukur. Sifat ini dapat ditemukan pada siapa saja, apa pun agamanya.

Ayat 19-21 surat Al-Ma’arij menyebutkan tiga sifat utama manusia, yaitu halu’a, jazu’a, dan manu’a. Berikut adalah penjelasan detail tentang ketiga sifat tersebut:

1. Halu’a

Halu’a adalah sifat yang mencakup ketidakpuasan, ketidaksabaran, dan rasa bosan. Al-Qurthubi dalam Tafsirnya menyebutkan bahwa menurut adh-Dhahhak, kata halu’a berarti “kufur” dalam arti ingkar, tidak bersyukur, dan tidak mengakui nikmat Allah.

Al-Qurthubi juga menambahkan bahwa secara bahasa, menurut Mujahid dan Qatadah, halu’a berarti keinginan yang menggebu-gebu dan keluhan yang paling buruk. ‘Ikrimah menafsirkan halu’a sebagai “mudah bosan” dan “mudah lelah,” sedangkan adh-Dhahhak menambahkan bahwa halu’a juga bisa berarti “tidak pernah kenyang.”

2. Jazu’a

Jazu’a berarti suka mengeluh, terutama ketika menghadapi keburukan. Menurut Tsa’lab, sifat halu’a meliputi ketidaksabaran dan ketidaksukaan saat menghadapi kesulitan, disertai sikap mengeluh, mengadu, dan protes.

3. Manu’a

Manu’a adalah sifat kikir dan pelit ketika diberikan kebaikan. Tsa’lab mencatat bahwa jika manusia diberi nikmat atau anugerah, mereka cenderung kikir, enggan berbagi, dan bahkan melupakan Sang Pemberi nikmat.

Seperti yang ditegaskan Ibnu Kaisan, manusia secara alami cenderung menyukai apa yang menyenangkan dirinya dan menjauhi apa yang tidak disukainya. Padahal, Allah memerintahkan untuk menginfakkan apa yang dicintai dan bersabar menghadapi apa yang tidak disukai. Tak heran, menurut Abu Ubaidah, ketika diberikan kebaikan, manusia sering tidak bersyukur, dan ketika menghadapi kesulitan, mereka tidak bersabar.

Manusia sering kali lupa bahwa mereka hanya bisa berkeinginan, tetapi keputusan akhir tetap berada di tangan Allah. Sebesar apa pun keinginannya, ia tetap harus tunduk pada kehendak Allah. Usaha yang sekuat apa pun tidak akan mampu melampaui ketetapan takdir. Seperti yang diungkapkan oleh Syekh Ibnu ‘Athaillah dalam Al-Hikam-nya:

سوابق الهمم لا تخرق أسوار الأقدار

Artinya, “Keinginan yang menggebu tidak akan mampu menembus benteng takdir.” (Ibnu ‘Athaillah, Syarhul Hikam, [Semarang: Toha Putra, t.t.], halaman 6).

Setelah menggambarkan kelemahan-kelemahan manusia dalam beberapa ayat sebelumnya, Allah tidak meninggalkan manusia begitu saja tanpa petunjuk. Dia memberikan solusi yang jelas dan konkret untuk mengatasi sifat-sifat negatif tersebut. Allah berfirman:

إِلَّا ٱلۡمُصَلِّينَ، ٱلَّذِينَ هُمۡ عَلَىٰ صَلَاتِهِمۡ دَآئِمُونَ، وَٱلَّذِينَ فِيٓ أَمۡوَٰلِهِمۡ حَقّٞ مَّعۡلُومٞ، لِّلسَّآئِلِ وَٱلۡمَحۡرُومِ، وَٱلَّذِينَ يُصَدِّقُونَ بِيَوۡمِ ٱلدِّينِ ،وَٱلَّذِينَ هُم مِّنۡ عَذَابِ رَبِّهِم مُّشۡفِقُونَ ،إِنَّ عَذَابَ رَبِّهِمۡ غَيۡرُ مَأۡمُونٖ ،وَٱلَّذِينَ هُمۡ لِفُرُوجِهِمۡ حَٰفِظُونَ،إِلَّا عَلَىٰٓ أَزۡوَٰجِهِمۡ أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُهُمۡ فَإِنَّهُمۡ غَيۡرُ مَلُومِينَ

Artinya, “…kecuali orang-orang yang melaksanakan shalat, mereka yang tetap setia melaksanakan shalatnya, dan orang-orang yang dalam hartanya disiapkan bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan yang tidak meminta, dan orang-orang yang mempercayai hari pembalasan, dan orang-orang yang takut terhadap azab Tuhannya, sesungguhnya terhadap azab Tuhan mereka, tidak ada seseorang yang merasa aman (dari kedatangannya), dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki maka sesungguhnya mereka tidak tercela,” (QS. Al-Ma’arij [70]: 22-30).

Melalui ayat-ayat di atas, Allah memberikan penawar atas semua sifat buruk manusia, yaitu:

(1) Shalat dengan istiqamah.

(2) Menyisihkan sebagian harta untuk mereka yang membutuhkan.

(3) Meyakini hari pembalasan.

(4) Merasa takut akan azab Allah, dan

(5) Menjaga kemaluan kecuali terhadap pasangan yang sah.

Dengan mengikuti petunjuk ini, manusia dapat melampaui kelemahan-kelemahannya dan mencapai ketenangan jiwa serta keseimbangan hidup. Semoga kita semua termasuk dalam golongan yang mampu mengatasi kelemahan ini dan senantiasa berada di jalan yang lurus. Wallahu a’lam.

Oleh: Ustadz M. Tatam Wijaya, (Penyuluh dan Petugas KUA Sukanagara-Cianjur, Jawa Barat)

Sumber: Nu Online

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *