JAKARTA, Kabarnusa24.com – Ketua MPR RI ke-16 Bambang Soesatyo memaparkan hasil penelitian Prof. Burhanuddin Muhtadi mengungkapkan bahwa sebanyak 33 persen (63,5 juta pemilih) atau 1 dari 3 pemilih pada Pemilu 2014 dan 2019 menerima politik uang. Menempatkan Indonesia berada di nomor tiga dari sisi persentase 33 persen. Sedangkan dari sisi absolute atau angka 63,5 juta pemilih, Indonesia menjadi negara dengan korban paling besar sedunia dalam hal politik uang.
Maraknya politik uang membuat politik menjadi berbiaya tinggi. Sehingga para kepala daerah, anggota legislatif, maupun yang duduk di lembaga eksekutif, pada akhirnya terjebak dalam pusaran korupsi untuk mengembalikan biaya politik pada saat kampanye. Menghilangkan politik biaya tinggi merupakan pekerjaan rumah yang sangat penting, karena pada akhirnya akan membuat langkah Indonesia mencapai target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable Development Goals (SDGs) pada tahun 2030 bisa terealisasi.
“SDGs merupakan agenda dunia yang dilegitimasi PBB, dimulai tahun 2015 dan ditargetkan selesai pada 2030. Tujuan utamanya untuk mengakhiri kemiskinan, meningkatkan kesejahteraan, dan melindungi masa depan bumi sebagai rumah bersama. Korupsi merupakan salah satu hambatan terbesar tercapainya berbagai program SDGs. Sebagaimana kajian Economic and Social Council Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), bahwa korupsi yang terjadi di dunia telah menggerogoti 5 persen dari produk domestik bruto global,” ujar Bamsoet saat membuka Forum Diskusi Aktual Berbangsa dan Bernegara, ‘Akselerasi Pelaksanaan SDG’s Guna Mengurangi Ketimpangan Ekonomi’, di Jakarta, Rabu (11/9/24)
Hadir menjadi narasumber antara lain, Ketua Dewan Pakar BS Center Prof. Didin S. Damanhuri, Peneliti Habibie Center Umar Juoro, Direktur SDG’s UNPAD Prof. Suzy Ana, Peneliti FEB UNPAD Yayan Satyakti, Peneliti INDEF Berly Martawardaya, dan Direktur of Global Connectivity IPB Eva Anggraini.
Ketua DPR RI ke-20 dan Ketua Komisi III DPR RI ke-7 bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, tantangan Indonesia mencapai SDGs masih sangat banyak. Salah satunya tergambar pada angka kemiskinan yang mencapai 9,03 persen (data BPS per Maret 2024) atau setara dengan 25,22 juta jiwa. Pada periode yang sama, angka ketimpangan (rasio gini) yang dicapai adalah 0,379 atau masuk dalam klasifikasi “moderat”.
“Kondisi tersebut membuat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di setiap provinsinya juga mengalami ketimpangan. Misalnya, IPM Provinsi Jakarta yang mencapai skor 82,46, sementara IPM di Provinsi Papua 62,25. Atau yang lebih dramatis, ketika pertumbuhan ekonomi tahun 2023 Provinsi Maluku Utara mencapai 20,49 persen, berbanding terbalik dengan pertumbuhan ekonomi Provinsi Nusa Tenggara Barat yang hanya mencapai 1,80 persen,” jelas Bamsoet.
Ketua Dewan Pembina Depinas SOKSI (Ormas Pendiri Partai Golkar) dan Kepala Badan Polhukam KADIN Indonesia ini menerangkan, SDGs meniscayakan ditegakkannya prinsip inklusivitas yang merangkul semua kalangan. Sehingga tidak ada yang merasa ditinggalkan dan mendorong terwujudnya keadilan prosedural serta semua pihak terlibat dalam keseluruhan proses pembangunan; dan keadilan subtansial, dimana kebijakan dan program pembangunan mampu menjawab persoalan-persoalan yang mengemuka.
“Gagasan SDG’s menegaskan, bahwa pembangunan yang kita laksanakan harus memiliki orientasi dan visi masa depan. Karena hasil pembangunan tidak hanya untuk dinikmati generasi sekarang, tetapi juga diwariskan untuk anak cucu kita di masa depan,” pungkas Bamsoet.
Orientasi dan Visi Forum diskusi aktual berbangsa dan bernegara yang di buka oleh Bamsoet, pada pertemuannya juga dipandang oleh Tokoh penggerak pembangunan asal Daerah Bekasi, Hadi Mustofa menaruh harapan tercapainya Sustainable Development Goals (SDGs) di 2030 benar-benar bisa dicapai, sebagaimana pemaparan ketua MPR RI ke 16 Bamsoet dalam membuka forum diskusi aktual berbangsa dan bernegara.
(DB-HM)