JAKARTA, Kabarnusa24.com – Lembaga Pendidikan (LP) Ma’arif Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) meminta Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menguji kembali Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 34 ayat (2) terhadap frasa ”wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya”.
Di dalam persidangan secara daring yang ditanggapi langsung oleh Hakim Konstitusi Arsul Sani itu, Sekretaris LP Ma’arif PBNU H Harianto Oghie ingin memastikan subsidi yang memadai dan pengaturan yang adil antara pendidikan negeri dan swasta. Hal itu bertujuan agar kualitas dan keberlanjutan pendidikan tetap terjaga.
Ia menegaskan bahwa LP Ma’arif NU hadir dalam konteks melaksanakan amanat konstitusi dan UU Sisdiknas. Oghie juga menyebutkan bahwa LP Ma’arif memiliki sekolah/madrasah yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia pada jenjang SD/MI sebanyak 10.749 satuan pendidikan dan 214.980 guru.
“Jenjang SMP/ MTs sebanyak 6.093 satuan pendidikan dan 121.860 guru, serta jenjang SMA/MA/SMK sebanyak 3.194 satuan pendidikan dan 63.880 guru. Total sebaran satuan pendidikan di bawah naungan LP Ma’arif NU sebanyak 20.036 dan 400.720 guru dalam naungan LP Ma’arif NU,” katanya, melalui keterangan yang diterima Media, Kamis (3/10/2024).
Usulan LP Ma’arif NU untuk Pemerintah
Pertama, optimalisasi subsidi pendidikan oleh pemerintah kepada siswa-siswa yang tidak mampu secara ekonomi, terutama di sekolah swasta, sesuai dengan UU Nomor 20 Tahun 2003 pasal 46 ayat 1 yang berbunyi: “Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat.”
Dengan demikian, prinsip keadilan sosial tetap terjaga, tanpa mengorbankan keberlanjutan dan kualitas pendidikan di lembaga swasta.
Kedua, mengembangkan dan menyediakan standar biaya operasional pendidikan yang ideal untuk memastikan sekolah negeri maupun swasta dapat beroperasi dengan baik melalui penyediaan pendidikan yang berkualitas.
Dengan demikian, tidak ada ketimpangan pembiayaan pendidikan antarsekolah, baik negeri atau swasta.
Ketiga, kehadiran negara dalam bentuk pemberian subsidi kepada sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat adalah sangat penting dan vital, agar anggaran sekolah swasta tersebut tercukupi, pendidikan berjalan dengan baik, guru lebih profesional, dan biayanya terjangkau masyarakat, atau bahkan bisa memberikan biaya gratis bagi sebagian masyarakat.
Keempat, pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat harus dapat mengatasi persoalan akses, pemerataan dan kualitas pendidikan. Namun kebijakannya tidak bisa fit to all, harus ada perbedaan pendekatan kebijakan pendidikan yang proporsional.
Kehadiran sekolah LP Ma’arif NU di daerah marginal, sebagai contoh, adalah untuk menjawab persoalan akses. Keberadaan sekolah LP Ma’arif NU di daerah kategori tertinggal dan marginal ini tentu tidak mungkin meminta biaya dari masyarakat.
Sebaliknya, permintaan kontribusi masyarakat pada pembiayaan sekolah-sekolah swasta yang berada di wilayah tidak marginal adalah wajar dan boleh agar kebutuhan masyarakat terhadap pendidikan dapat terpenuhi dan kualitasnya tetap terjaga.
Kelima, selain subsidi biaya pendidikan, pemerintah harus mempertahankan guru sekolah swasta yang diangkat sebagai guru PPPK atau guru PNS untuk tetap bertugas di sekolah/madrasah swasta asalnya sebelum diangkat, bukan dipindah ke sekolah/madrasah negeri, agar sekolah/madrasah swasta tersebut semakin maju dan anggaran biaya penyelenggaraan yang dibebankan kepada masyarakat juga berkurang.
Sebagai informasi, dalam persidangan ini hadir pula Pengurus LP Ma’arif NU H Alamsyah dan Esti Purnawinarni.
Sumber: NU Online