Sekapur Sirih

Kisah Syiblul Madari dan Daging yang Dicuri Burung

13
×

Kisah Syiblul Madari dan Daging yang Dicuri Burung

Sebarkan artikel ini
Kisah Syiblul Madari dan Daging yang Dicuri Burung
Ilustrasi (foto Gogel)

Oleh: Muhammad Afiq Zahara (alumni Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen).

Kabarnusa24.com,- Imam Abu Na’im al-Asfahani dalam kitab Hilyatul Auliyâ’ (Beirut,Dar al-Fikr, 2019: X/122) mengungkap kisah menarik tentang seorang ahli ibadah bernama Syiblul Madari. Sosok ini tergolong misterius karena Imam Abu Na’im tidak menjelaskan secara rinci riwayat hidupnya. Beliau hanya menyebutkan bahwa Syiblul Madari termasuk dalam golongan an-Nussâk wal-‘ubbâd (orang-orang saleh dan ahli ibadah).

Kesalehan Syiblul Madari memang tidak diragukan. Namun demikian, sebagai manusia biasa, Syibl masih memiliki keinginan untuk menikmati makanan yang lezat. Salah satu keinginannya itu adalah makan daging.

Suatu ketika, Syibl membeli daging dan membawanya pulang. Dalam perjalanan, tiba-tiba seekor burung pemangsa terbang mendekat dan mencuri daging tersebut. Tentu saja Syibl terkejut. Namun demikian, ia tidak memilih pulang ke rumah dan menggerutu, tapi kembali ke masjid untuk berpuasa.

Di tempat lain, setelah mencuri daging milik Syibl, burung tersebut bertemu dengan burung lain dan terlibat dalam perkelahian sengit memperebutkan daging itu. Kebetulan, perkelahian terjadi di dekat rumah Syibl, hingga akhirnya daging tersebut terlepas dari cengkeraman burung dan jatuh tepat di depan istrinya. Melihat daging tergeletak di sana, sang istri mengambilnya dan kemudian memasaknya.

Menjelang sore, ketika langit mulai menjingga dan waktu maghrib segera tiba, Syibl pulang ke rumahnya untuk berbuka puasa. Sesampainya di rumah, istrinya menyuguhkan daging yang telah dimasak.

“Dari mana kau dapatkan daging ini?” tanya Syibl pada istrinya.

Sang istri pun menjawab apa adanya bahwa sebelumnya ada burung yang berkelahi di atas rumah.

“Mereka berkelahi memperebutkan daging ini. Lalu daging ini jatuh di hadapanku. Aku pun mengambil dan memasaknya,” ucap sang istri.

Mendengar cerita itu, Syibl menangis sembari berujar:

اَلْحَمْدُ لِلّهِ الَّذِي لَمْ يَنْسَ شِبْلًا، وَإِنْ كَانَ شِبْلٌ يَنْسَاهُ

Artinya, “Segala puji untuk Allah yang tidak melupakan Syibl, meskipun Syibl (seringkali) melupakan-Nya.”

Demikian sikap Syiblul Madari ketika berhadapan dengan situasi yang bisa dianggap sebagai musibah. Dia tidak memilih untuk marah dan mengutuk burung yang mencuri dagingnya, tidak juga pulang dengan rasa kesal. Syibl memilih untuk berpuasa dan menghabiskan waktunya di masjid. Keputusan ini mencerminkan kebijaksanaan dan kedalaman cara pandang Syibl.

Syiblul Madari memilih opsi ibadah sebagai respons atas peristiwa tersebut. Ia sadar bahwa nikmat Allah yang didapatnya sudah begitu banyak, sehingga tidak pantas baginya untuk marah atau mempersoalkan kejadian yang dianggap sepele ini.

Oleh karena itu, ia memilih untuk merespons kejadian tersebut dengan berpuasa, menyerahkan segalanya kepada Sang Pemberi Nikmat. Baginya, peristiwa itu adalah bentuk lain dari cara bersyukur. Ia pernah berkata, sebagaimana dikutip oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim (Darul Kitab ats-Tsaqafi, t.t.: II/84-85), “asy-syukru at-tawâdlu’” (syukur adalah kerendahan hati), yaitu kesadaran penuh bahwa segala sesuatu berasal dari Allah.

Dengan keluasan persepsi, Syiblul Madari mengubah musibah menjadi ibadah. Ia memasrahkan dirinya kepada Allah. Tidak memaksakan kehendak, menghardik atau mengeluh yang berlebihan. Musibah membuatnya beribadah. Ia menerapkan syukur secara aktual, sebagaimana yang dikatakan Imam Junaid al-Baghdadi, bahwa dimensi penting dari syukur adalah tidak bermaksiat menggunakan nikmat-nikmat yang Allah berikan. Sedangkan semua hal berasal dari-Nya, termasuk keinginan untuk bersyukur.

Imam Junaid al-Baghdadi mengatakan, sebagaimana dikutip oleh Syekh Mustafa al-‘Arusi dalam Natâ’ij al-Afkâr al-Qudsiyyah fî Syarh al-Risâlah al-Qusyairiyyah (Beirut, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2007: II/120).

أن لَا تعصي الله بنعمه

Artinya, “(Syukur adalah) tidak bermaksiat kepada Allah dengan menggunakan nikmat-nikmat-Nya.”

Atas dasar ini, Syiblul Madari berserah diri, merendahkan hati dan pasrah. Karena sebanyak apa pun manusia bersyukur, tidak mungkin menyamai anugerah yang Allah berikan. Jangankan menyamai, menghampiri saja tidak. Bahkan kata “hampir” itu sendiri, masih terlalu tinggi untuk digunakan. Wallahu a‘lam.

Sumber: Halaman Hikmah NU Online

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *