Tutup
Sekapur Sirih

Membedakan Bisyarah dan Money Politics Jelang Pilkada

3113
×

Membedakan Bisyarah dan Money Politics Jelang Pilkada

Sebarkan artikel ini
Membedakan Bisyarah dan Money Politics Jelang Pilkada
Beda money politics dan bisyarah

Oleh : Ustadz Muhammad Zainul Millah (Pengasuh Pondok Pesantren Fathul Ulum, Wonodadi, Blitar).

Kabarnusa24.com, — Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan wujud dari demokrasi langsung di tingkat daerah. Pilkada merupakan sarana bagi masyarakat untuk menentukan pemimpin daerah mereka selanjutnya. Sejak tahun 2015, Indonesia telah melaksanakan pilkada serentak di sejumlah Provinsi, Kota Madya, dan Kabupaten.

Dalam setiap pelaksanaan Pilkada, money politics atau politik uang sudah dianggap lumrah. Padahal jelas-jelas politik uang tidak diperboleh menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 Tentang Partai Politik, Pasal 73 ayat (4) yang berbunyi:

“Barang siapa pada waktu diselenggarakannya pemilu memberikan janji atau menyuap seseorang agar menjalankan haknya dengan cara tertentu, dipidana dengan hukum penjara paling lama tiga tahun.”

Meski demikian, faktanya pada setiap momentum Pilkada, sebagian besar masyarakat menganggap politik uang sebagai hal yang lumrah dan dominan dalam mekanisme demokrasi bangsa Indonesia yang mayoritas muslim ini. Hal ini tentu membuat pesta demokrasi menjadi tidak sehat serta membuat biaya demokrasi di Indonesia menjadi semakin tinggi.

Keberadaan para tokoh agama dalam Pilkada tampaknya belum mampu menghentikan secara total adanya politik uang dari politisi dan partai politik. Tokoh agama sebagai sosok yang mengajarkan agama, nilai, dan norma-norma sosial, belum mampu menghentikan penyebaran politik uang di kalangan masyarakatnya.

Beberapa oknum di antaranya menyebut, pemberian uang oleh calon kepada tokoh agama bukan sebagai suap atau money politics, melainkan sekedar bisyarah, yakni pemberian untuk membahagiakan sebagai bentuk penghormatan kepada mereka.

Di lingkungan masyarakat agamis, istilah bisyarah biasa digunakan untuk tanda terima kasih atas jasa yang telah dilakukan, atau imbalan yang diterima atas jasa mengajar Al-Qur’an, mengajar agama Islam, khatib, imam shalat, dan sebagainya.

Istilah bisyarah dalam pilkada sering digunakan untuk pemberian amplop kepada para tokoh agama. Dengan demikian, mereka terkadang merasa pemberian tersebut tidak termasuk risywah yang diharamkan dalam Islam.

Selain itu, juga dianggap tidak termasuk kategori suap menurut hukum positif, sebagaimana dijelaskan, tindakan yang tidak termasuk suap menurut hukum positif di Indonesia adalah serangan fajar dan sumbangan-sumbangan partai politik atau pejabat negara pada lembaga-lembaga masyarakat termasuk lembaga dan organisasi keagamaan seperti masjid, madrasah, panti asuhan dan pesantren. (Sabilal Rosyad, Praktik Money Politics dalam Perspektif Sosio Legal Normatif, [Pekalongan, PT Nasya Expanding: 2021], halaman 106).

Apakah Bisyarah Termasuk Suap? Lantas, benarkah bisyarah tidak termasuk kategori money politics atau risywah?

Pemberian amplop atau bisyarah yang dibolehkan dalam Islam, tentu tidak terlepas dari motif dan tujuannya. Bila dicermati secara subtansial, istilah bisyarah dalam kitab ulama salaf sering diidentikkan dengan istilah hadiah.

Merujuk artikel Salah Paham Soal Amplop Kiai, Begini yang Terjadi Sebenarnya Umumnya, Pemberian amplop atau bisyarah memiliki motif utama:

1. Pemberian karena imbal balik atas jasa ceramah, mengajar Al-Qur’an, atau keilmuan lainnya;

2. pemberian karena untuk pembangunan masjid, pesantren dan fasilitas keagamaan lainnya;

3. pemberian murni karena ekspresi kecintaan masyarakat kepada kiai, mengingat kiprahnya di tengah kehidupan masyarakat.

Meski demikian, dalam momentum Pilkada, istilah bisyarah atau hadiah terkadang tidak digunakan dengan semestinya. Bisyarah sering dijadikan alat untuk melegalkan praktik suap normalisasi money politics terselubung yang diharamkan.

Money Politics Perspektif Munas NU 2002

Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama tahun 2002 tentang Money Politics dan Hibah kepada Pejabat, merumuskan hukum sebagai berikut:

“Money politics sebagai pemberian (berupa uang atau benda lainnya) untuk mempengaruhi dan atau menyelewengkan keputusan yang adil dan obyektif. Dalam pandangan syariat Islam hal itu merupakan suap (risywah) yang dilaknat oleh Allah swt baik yang memberi (rasyi) ataupun yang menerima (murtasyi), maupun yang menjadi perantara (raisy).” (Ahkamul Fuqoha [Surabaya, Khalista: 2011], halaman 830-833).

Keputusan Munas NU berdasarkan fatwa Imam As-Subki yang memerinci antara risywah dan hadiah sebagai berikut:

وَمُلَخَّصُ كَلاَمِ الْعُلَمَاءِ فِيْمَا يُعْطِي الْحُكَّامُ الأَئِمَّةَ وَالْأُمَرَاءَ وَالْقُضَاةَ وَالْوُلاَةَ وَسَائِرَ مَنْ وَلَّى أَمْرًا مِنْ أُمُورِ الْمُسْلِمِينَ أَنَّهُ إِمَّا رِشْوَةُ وَإِمَّا هَدِيَّةٌ أَمَّا الرِّشْوَةُ فَحَرَامُ بِالإِجْمَاعِ عَلَى مَنْ يَأْخُدُهَا وَعَلَى مَنْ يُعْطِيْهَا وَسَوَاءٌ كَانَ الْأَخْذُ لِنَفْسِهِ أَوْ وَكِيْلًا

Artinya, “Kesimpulan dari pendapat para ulama tentang harta yang diberikan penguasa kepada para tokoh masyarakat, pejabat, hakim, penguasa pemerintahan, dan orang-orang yang mengemban tanggungjawab urusan kaum muslimin, bisa merupakan suap atau hadiah. Adapun suap hukumnya haram secara ijma’ baik bagi yang menerima maupun yang memberi. Baik diambil untuk diri sendiri atau sebagai wakil orang lain.”

وَالْمَرَادُ بِالرِّشْوَةِ الَّتِي ذَكَرْنَاهَا مَا يُعْطَى لِدَفْعِ حَقٍّ أَوْ لِتَحْصِيْلِ بَاطِلٍ وَإِنْ أُعْطِيَتْ لِلتَّوَصُّلِ إِلَى الحُكْمِ بِحَقٍّ فَالتَّحْرِيمُ عَلَى مَنْ يَأْخُذُهَا كَذَلِكَ وَأَمَّا مَنْ لَمْ يُعْطِهَا فَإِنْ لَمْ يَقْدِرْ عَلَى الْوُصُوْلِ إِلَى حَقِّهِ إِلَّا بِذَلِكَ جَازَ وَإِنْ قَدَرَ إِلَى الْوُصُوْلِ إِلَيْهِ بِدُوْنِهِ لَمْ يَجُزْ وَهَكَذَا حُكْمُ مَا يُعْطَى عَلَى الْوِلايَاتِ وَالْمَنَاصِبِ يَحْرُمُ عَلَى الآخِذِ مُطْلَقًا

Artinya, “Maksud suap yang kami sebutkan di atas adalah segala sesuatu yang diberikan dalam rangka menolak kebenaran atau menghasilkan kebatilan. Jika harta itu diberikan sebagai perantara untuk mendapatkan putusan hukum suatu hak, maka hukum haram berlaku bagi penerimanya dalam kasus seperti itu.

Adapun orang yang tidak memberikan suap, maka jika ia tidak dapat memperoleh haknya kecuali dengan jalan memberikan suap, maka dibolehkan menyuap. Namun jika ia mampu mendapatkan haknya tanpa memberi suap, maka tidak dibolehkan. Demikian juga status hukum pemberian yang didasarkan pada kekuasaan atau jabatan, maka secara mutlak haram bagi penerimanya.”

وَأَمَّا الْهَدِيَّةُ وَهِيَ الَّتِي يُقْصَدُ بِهَا التَّوَدُّدُ وَاسْتِمَالَةُ الْقُلُوْبِ فَإِنْ كَانَتْ مِمَّنْ لَمْ تُقَدَّمْ لَهُ عَادَةٌ قَبْلَ الْوِلايَةِ فَحَرَامٌ وَإِنْ كَانَتْ مِمَّنْ لَهُ عَادَةٌ قَبْلَ الْوِلَايَةِ فَإِنْ زَادَ فَكَمَا لَوْ لَمْ تَكُنْ لَهُ عَادَةٌ وَإِنْ لَمْ يَزِدْ فَإِنْ كَانَتْ لَهُ خُصُوْمَةٌ لَمْ يَجُزْ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ خُصُوْمَةٌ جَازَ بِقَدْرِ مَا كَانَتْ عَادَتُهُ قَبْلَ الْوِلايَةِ وَالْأَفْضَلُ أَنْ لَا يَقْبَلَ وَالتَّشْدِيدُ عَلَى الْقَاضِي فِي قَبُوْلِ الْهَدِيَّةِ أَكْثَرُ مِنَ التَّشْدِيدِ عَلَى غَيْرِهِ مِنْ وُلَاةِ الأُمُوْرِ لأَنَّهُ نَائِبٌ عَنِ الشَّرْعِ فَيَحِقُّ لَهُ أَنْ يَسِيْرَ بِسِيْرَتِهِ

Artinya, “Adapun hadiah adalah pemberian yang dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa cinta dan simpati, maka jika hadiah diberikan oleh orang yang tidak biasa memberi kepada seseorang sebelum ia memangku suatu jabatan, maka hukumnya haram; namun jika dari orang yang sudah terbiasa memberi hadiah kepadanya sebelum ia mendapatkan jabatan, maka jika ia memberi lebih (dari biasanya), maka statusnya sama dengan jika si pemberi tidak terbiasa memberi hadiah kepadanya.

Namun jika tidak lebih dari ukuran yang biasa diberikan, maka jika ia memiliki lawan sengketa, hukumnya tidak boleh; dan jika ia tidak memiliki lawan sengketa (pada suatu kasus), maka ia boleh mengambil sebatas ukuran yang biasa diterimanya sebelum menjabat, namun lebih utama tidak mengambilnya.

Hukum larangan kepada seorang hakim untuk mengambil hadiah lebih kuat dari pada pejabat lain. Karena hakim adalah wakil dari syara’, maka sudah seharusnya bila ia berjalan sesuai dengan hukum syara’.” (Fatawas Subki, [Beirut, Darul Ma’rifah: t.th.), juz I, halaman 204-205).

Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami, money politics atau suap adalah pemberian dengan tujuan untuk membatalkan kebenaran atau menetapkan kebatilan. Sedangkan hadiah atau bisyarah adalah pemberian dengan tujuan untuk mendapatkan simpati dan kasih sayang.

Meskipun keduanya berbeda tujuan, namun segala bentuk pemberian baik itu suap, bisyarah atapun hadiah, jika diberikan oleh orang yang tidak ada kebiasaan memberi sebelum Pilkada, dengan tujuan untuk mendapatkan suara pemilih, maka hukumnya haram karena termasuk risywah atau mengandung substansi risywah. Wallahu a’lam.

Sumber: halaman syariah – NU Online

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *