Tutup
Sekapur Sirih

Keutamaan Hidup Mandiri dengan Berdagang

3121
×

Keutamaan Hidup Mandiri dengan Berdagang

Sebarkan artikel ini
Keutamaan Hidup Mandiri dengan Berdagang

Oleh: Ustadz Muqoffi (Guru di Pesantren Gedangan dan Dosen IAI NATA Sampang Madura)

Kabarnusa24.com, — Hidup mandiri dengan berdagang memiliki keistimewaan tersendiri dalam agama Islam sehingga tidak boleh dipandang sebelah mata. Sebaliknya, orang yang berprofesi sebagai pedagang pun tidak perlu merasa sebagai pekerja rendahan, tidak berkelas, dan tidak memiliki nilai penting. Dalam kitab Dalilul Falihin li Thuruq Riyadhis Shalihin dijelaskan:

وأن التجارة لا تسقط المروءة

Artinya, “Sesungguhnya berdagang tidak menggugurkan harga diri”. (Muhammad ibn ‘Allan Ash-Shiddiqi Asy-Syafi’i, Dalilul Falihin li Thuruq Riyadhis Shalihin, [Lebanon, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 1971], jilid II, halaman 428).

Meskipun profesi pedagang, apalagi pedagang kecil, sering kali berpenampilan ala kadarnya bahkan tidak sedikit yang bekerja dalam kondisi kotor dan kumuh, hal itu bukan menjadi pertanda rendahnya sebuah pekerjaan dan indikasi buruknya sebuah profesi. Pasalnya, berdagang adalah pekerjaan mulia dan paling utama.

Mengutip pandangan Imam Syafi’i, Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Fathul Bari (Riyadl, Maktabah Al-Malik Fahad, 2001/IV:356) menegaskan bahwa berdagang merupakan mata pencaharian yang paling utama. Nilai keutamaan pedagang dapat dilihat dari beberapa unsur sebagaimana berikut:

Pertama, dengan berdagang kebutuhan masyarakat bisa terpenuhi dengan baik, termasuk kebutuhan primer, seperti makanan dan minuman, komoditas rumah tangga, dan berbagai macam kebutuhan pokok lainnya. Maka, ketika ada perkumpulan manusia selalu ada proses jual beli yang menjadi bagian tak terpisahkan dalam menunjang kegiatan sehari-hari, bahkan sebagai sarana mutlak untuk bertahan hidup.

Mengingat hal tersebut, jual beli merupakan transaksi yang diterima oleh Allah swt dan mendapat pahala bagi pekerjanya. Tidak hanya itu, jual beli juga dapat diterima dalam syariat Islam selama tidak menyimpang dari ketentuan fikih. Sebagaimana pernyataan Al-Munawi dalam menafsirkan hadits berikut:

وكل بيع مبرور) أي مقبول عند الله بأن يكون مثابا به أو في الشرع بأن لا يكون فاسدا ولا غش فيه ولا خيانة لما فيه من إيصال النفع إلى الناس بتهيئة ما يحتاجونه

Artinya, “(Segala penjualan diterima), artinya diterima di sisi Allah swt seperti mendapat pahala, atau dalam syari’at seperti bukan penjualan yang fasid, tidak ada kecurangan dan khianat, karena memberikan manfaat bagi masyarakat dengan menyediakan apa yang mereka butuhkan”. (Al-Munawi, Faidlul Qadir, [Lebanon, Darul Ma’rifah: 1972], jilid I, halaman 547).

Kedua, dengan sibuk bekerja dalam perniagaan, seorang pedagang dapat menghindari hal-hal yang tidak berguna, seperti menganggur, main-main, dan membuang waktu tanpa tujuan. Berdagang yang membutuhkan keseriusan bekerja dapat mengalihkan fokus dari kegiatan yang sia-sia menuju hal-hal yang lebih bermanfaat, sehingga waktu yang dimiliki bernilai ibadah kepada Allah. Pernyataan ini merujuk pada penjelasan Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani berikut:

ومن فضل العمل باليد الشغل بالأمر المباح عن البطالة واللهو وكسر النفس بذلك والتعفف عن ذلة السؤال والحاجة إلى الغير

Artinya, “ antara keutamaan bekerja dengan tangan adalah sibuk melakukan pekerjaan yang halal sehingga terhindar dari menganggur, main-main, menahan hawa nafsu, dan menjauhkan diri dari kehinaan meminta dan membutuhkan kepada orang lain”. (Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, [Riyadl, Maktabah Al-Malik Fahad: 2001], jilid IV, halaman, 356).

Hal ini cukup logis, karena aktivitas jual beli melibatkan produsen yang bertugas melayani konsumen untuk memenuhi segala yang dibutuhkan, mulai dari menyiapkan komoditas yang diinginkan, melakukan pengemasan, hingga mendistribusikan ke tempat yang telah ditentukan.

Ketiga, dengan berdagang dapat terhindar dari perilaku meminta-minta yang dinilai sebagai perbuatan tidak terpuji, bahkan jika berlebih-lebihan mendapat ancaman yang pedih di akhirat. Imam An-Nawawi mengutip dari Imam Al-Qadhi menjelaskan:

أنَّهُ يُعاقَبُ بِالنّارِ ويَحْتَمِلُ أنْ يَكُونَ عَلى ظاهِرِهِ وأنَّ الَّذِي يَأْخُذُهُ يَصِيرُ جَمْرًا يُكْوى بِهِ كَما ثَبَتَ فِي مانِعِ الزَّكاةِ

Artinya, “Ora tersebut (berlebih-lebihan dalam meminta-minta) akan disiksa dengan api dan bara api ditaruh di punggungnya, dan segala apa yang dipintanya dengan jalan meminta-minta kelak berubah menjadi api yang akan menyiksanya, sebagaimana hal ini juga berlaku atas orang yang menahan zakat.” (An-Nawawi, Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim Ibnul Hajjaj, [Beirut, Darut Turats Al-Arabi: 1392 H], jilid VII, halaman 132).

Sebaliknya, jika mampu hidup mandiri dan menolak meminta-minta, maka akan mendapat keutamaan yang sangat besar, di antaranya adalah mampu menjadi orang yang sabar. Hal ini dapat dipahami dari penjelasan berikut:

من يتصبر عن السؤال والتطلع إلى ما في أيدي الناس بأن يتجرع مرارة ذلك ولا يشكو حاله لغير ربه يصبره الله بالتشديد أي يسهل عليه الصبر

Artinya, “Atau barangsiapa yang bersabar menghindari meminta dan memandang apa yang ada di tangan manusia dengan menelan kepahitan dan tidak mengeluhkan keadaannya kepada selain Tuhannya, maka Allah swt akan memberinya kesabaran yang sangat, yaitu dia mudah bersabar”. (Muhammad Al-Qari, Mirqatul Mafatih, [Lebanon, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2001], jilid IV, halaman 306).

Sabar berarti mampu berlapang dada dalam menghadapi berbagai kondisi yang dialami dan menerima apa adanya. Dengan sikap ini, meskipun secara finansial tergolong orang kurang mampu tapi dia kaya hati. Apalagi jika berhasil meraih kekayaan harta melalui usaha bisnis yang dijalaninya.

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa berdagang merupakan profesi yang mulia dan sangat utama, karena dilihat dari tiga unsur, yaitu dapat memenuhi kebutuhan masyarakat , dapat menghindari aktivitas yang tidak bermanfaat, dan dapat menjauhi sikap meminta-minta. Wallahu a‘lam.

Sumber: Halaman syariah NU Online

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *