KABARNUSA24.COM, — Pergerakan kaum ibu Nahdlatul Ulama, melalui beberapa tahapan-tahapan. Pada awal tahun 30-an, didapatkan informasi di koran dan majalah, kaum ibu menghadiri acara-acara NU. Pada acara tersebut, kaum bapak dan kaum ibu terpisah atau dibatasi dengan hijab. Di samping itu, hanya laki-laki yang boleh berbicara sementara kaum ibu hanya pendengar.
Lalu kaum ibu diperbolehkan menjadi anggota NU, dipersilakan mengadakan acara tersendiri. Selanjutnya, meskipun sangat terbatas, pada acara NU di cabang Bandung misalnya, kaum ibu diperbolehkan berbicara. Lantas pada 1938, para kiai memperbolehkan cabang-cabang NU mengakomodasi kaum ibu dengan menamai mereka sebagai Nahdlatul Ulama Muslimat (NUM) atau sekarang lebih dikenal dengan Muslimat NU.
Setahun sebelumnya, pada 1937 koran Pemandangan memberitakan para istri pengurus NU di daerah Subang tak mau ketinggalan dari perkumpulan tetangganya yang telah mendirikan perkumpulan.
Tetangga yang dimaksud pada kalimat tersebut mestinya adalah perkumpulan lain yang sesama ormas Islam seperti Muhammadiyah yang memiliki Aisyiyah, Persatoean Oelama punya Fathimiyah, Persatuan Islam (Persis) memiliki Persatuan Islam Istri (Persistri) atau nasionalis seperti Parindra Istri atau kedaerahan seperti Paguyuban Pasundan yang memiliki Pasundan Istri (Pasi).
Karena itulah, istri-istri pengurus NU Purwakarta Subang dan Karawang mendirikan sebuah organisasi bernama Nahdlatun Nisa’, kebangkitan perempuan (kaum ibu). Dengan menggunakan nama nahdlatul, tak sak lagi kaum ibu itu menautkannya dengan organisasi para suaminya, Nahdlatul Ulama. Peristiwa pendirian Nahdlatul Nisa’ itu diabadikan koran Pemandangan pada rubrik Taman Istri.
Di Surakarta, Jawa Tengah berdiri Nahdlatul Muslimat. Perkumpulan ini bergerak untuk pendidikan kalangan perempuan. Salah seorang tokohnya adalah Nyonya Mahmudah Mawardi yang kelak akan menjadi tokoh dan Ketua Umum Muslimat NU.
Namun, perkumpulan ini tidak terkait dengan NU secara organisasi sama sekali. Hanya saja sangat identik karena diawali dengan nahdlatul dan muslimat, nama yang kemudian menjadi badan otonom NU khusus ibu-ibu.
Berbeda dengan Nahdlatun Nisa di Subang, meskipun tidak berlangsung oleh pengurus besar dan tidak ada hubungan secara struktural, setidaknya para pendirinya adalah istri para pengurus NU. Di samping itu, para pengurus NU di daerah tersebut juga berjanji akan menjadi penyangganya dan berniat akan memuluskan pertumbuhan perkumpulan itu hingga ke ranting-ranting.
Tahapan-tahapan perkembangan partisipasi kaum ibu tersebut tidak terlepas dari pertimbangan atas pemahaman para kiai NU terhadap ajaran Islam.
Dukungan Para Kiai
Pada masa mudanya para pendiri NU adalah santri yang menimba ilmu kepada sejumlah ulama Nusantara selama bertahun-tahun. Mereka belajar ragam cabang ilmu mulai tauhid, fiqih, tafsir, hadits, gramatika, sejarah, hingga tasawuf, dan lain-lain. Setelah itu, mereka memperdalam ilmu kepada ulama-ulama terkemuka di jantungnya Islam pada zamannya, Makkah di Arab Saudi. Tak berlebihan jika dikatakan para pendiri NU adalah pakar ajaran Islam.
Pada gilirannya, ilmu-ilmu yang mereka pahami menjadi dasar pertimbangan dalam memandang dan mempraktikkan sesuatu dalam kehidupan mereka, termasuk dalam relasi laki-laki dan perempuan. Para ulama NU tentu saja mengetahui firman-firman Allah tentang kesetaraan antarmanusia, seseorang bernilai bukan karena jenis kelamin, melainkan ketakwaannya.
Dengan demikian, apresiasi mereka pada kaum ibu merupakan buah dari proses pemahaman dan penafsiran terhadap Alquran dan hadits dan qaul-qaul ulama terdahulu.
Salah satu contohnya, Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari, pemimpin utama NU, pernah memfatwakan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki peran yang setara dalam mempertahankan negara. Fatwa tersebut dikenal dengan Resolusi Jihad NU sebagaimana digambarkan KH Saifuddin Zuhri dalam Berangkat dari Pesantren:
Malam itu, 22 Oktober 1945, rapat PBNU yang juga diikuti oleh para konsul NU seluruh Jawa dan Madura, dihadiri oleh seluruh ulama anggota syuriyah-tanfidziyah. Pimpinan rapat di tangan Ketua Besar KH Abdul Wahab Chasbullah.
Setelah Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari memberi amanatnya, yakni berupa pokok-pokok kaidah tentang kewajiban umat Islam laki-laki dan perempuan dalam jihad mempertahankan kemerdekaan tanah air dan bangsa, rapat menyimpulkan satu keputusan dalam bentuk resolusi. Resolusi tersebut diberi nama “Resolusi Jihad”. (KH Saifuddin Zuhri, Berangkat dari Pesantren, 1987)
Pendiri NU yang lain, KH Abdul Wahab Chasbullah menampakkan dengan jelas pandangannya tentang pergerakan kaum ibu. Menurut dia, kaum ibu sebagaimana kaum bapak, merupakan hamba yang memiliki posisi sama dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Pandangan tersebut bersandar pada ayat-ayat Alquran dan hadits Nabi Muhammad SAW. Pandangan Kiai Wahab tersebut disampaikan saat berpidato pada Muktamar Ke-13 NU di Menes, Pandeglang, Banten, 1938.
“Dalam kalangan umat Islam, bukan hanya kaum bapak saja yang harus dan wajib mempelajari dan menjalankan kewajiban-kewajiban sebagai hamba Allah, tetapi kaum ibu juga harus mengikuti akan langkah gerak dari kaum laki-laki. Mereka harus sama-sama menjalankan segala apa yang sudah diwajibkan oleh agama Islam,” kata KH. Abdul Wahab Hasbullah yang disambut tepuk tangan kalangan muslimat. (Sri Mulyati, Tujuh Puluh Tahun Muslimat Nahdlatul Ulama, 2016) Lihat pula Versalag Congres Nahdlatoel Oelama Jang Ke-XIII di Kota Menes Bantam, 1938)
Salah seorang ajengan Sunda yang terekam pandangannya tentang kaum ibu adalah KH Ruhiat Cipasung saat berpidato di Sukamandi pada 1937 yang didokumentasikan koran Pemandangan edisi Senen 31 Mei.
Sebagaimana umumnya pidato seorang kiai, ia menyampaikan pandangan-pandangannya tentang kaum ibu yang bersumber dari sejarah hidup Nabi Muhammad SAW yang tentu saja merupakan ajaran Islam:
Kemoedian spr. menerangkan sebab2nja kemoendoeran oemmat Islam di zaman sekarang. Diterangkan poela, bahwa djika toedjoean Islam soedah matang, akan menimboelkan keamanan segala kedjahatan ta’ada. Dus kita orang nistjaja ta’chawatir lagi dengan pintoe terboeka, -zonder memakai palang pintoe. Selandjoetnja lagi diterangkan kedolimannja kaoem djahiliah terhadap kaoem iboe jg. dipandang rendah, dihinakan, dibinasa hingga seringkali terdjadi kaoem istri jg. dikoeboer hidoep2 dari ketelengesan dan dari tidak soekanja mempoenjai anak perempoean. Tetapi kata spr. setelah Islam berdiri, lenjaplah ponganiajaan si kaoern djahiliah terhadap kaoem iboe itoe, timboellah penghargaan bagi kaoem iboe.
Dari pandangan semacam itu tampak jelas ayahanda Rais Aam PBNU 1992-2000 KH Ilyas Ruhiat tersebut menempatkan kaum ibu dalam posisi yang penting.
Monumen Kesetaraan
Partisipasi kaum ibu memuncak pada 15 Juni 1938. Kaum ibu membanjiri perhelatan Muktamar NU ke-13 di Menes, Pandeglang, Banten. Mereka datang dari berbagai daerah Banten dan sekitarnya. Di antara mereka, tak kurang 2.000 orang memasuki gedung, tempat para kiai dan pengurus NU bermusyawarah, dan tamu undangan. Di antara kedua belah pihak dihalangi kain putih yang membentang. Sementara 6.000 orang lainnya, berada di luar, memadati halaman gedung. Mereka seolah melimpahkan aspirasinya kepada teman-temannya yang berhasil berdesakkan di dalam gedung.
Di dalam openbare vergadering ini kaoem iboe N.O. Menes dan Mathla’ul Anwar sama kelihatan datang berdoejoen-doejoen. Dan begitoepoen poela dari kaoem jang ada diloear kalangan N.O. mereka semoeanja membandjiri gedong congres sehingga penoeh sesak berdesakan sambil berdiri. (Verslag Congres Nahdlatoel Oelama Jang Ke-XIII di Kota Menes Banten, 1938)
Beberapa bulan sebelumnya, kaum ibu telah berdaya upaya turut mensukseskan perhelatan muktamar tersebut. Mereka dengan sukarela menyediakan tempat tidur seperti kasur, bantal dengan sarung buah tangan mereka sendiri untuk kebutuhan para peserta muktamar. Tak hanya itu, mereka juga turut berderma untuk kebutuhan-kebutuhan penyelenggaraan muktamar.
Demikian verslag (laporan) Muktamar Ke-13 NU saat mengungkapkan peristiwa partisipasi dan kehadiran kaum ibu di muktamar tersebut. Sebuah peristiwa langka dan pertama kali. Hal yang menarik, laporan itu tak menganggap kehadiran kaum ibu sebagai sebuah malapetaka, tapi justru bernada kegembiraan.
Kehadiran kaum ibu seperti kado indah karena sejak 13 tahun NU berdiri, yang semula hanya dikelola dan beranggotakan laki-laki, kini menarik perhatian kaum ibu. Bahkan, seorang ibu dari Bandung atas nama Nyonya Djoeaesih dipersilakan untuk menyampaikan pandangan-pandangannya. Disusul kemudian Nyonya Siti Syarah, dari Menes, sebagai tuan rumah juga diberi kesempatan berbicara.
Pidato kedua kaum ibu disimak para ulama terkemuka dari berbagai daerah, yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten, Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan, dan Nusa Tenggara Barat.
Peristiwa itu dianggap monumental pada zamannya, terutama di kalangan pesantren Ahlussunah wal Jamaah, diberitakan koran-koran, diketahui banyak orang dari berbagai daerah, kemudian diceritakan ulang, dikisahkan lagi, lalu dikutip para penulis yang meminati gerakan perempuan, dan terus dikutip.
Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf menobatkan peristiwa itu sebagai monumen kesetaraan antara laki-laki dan perempuan di kalangan NU (Gus Yahya Sebut Monumen Kesetaraan di Tubuh NU pada Muktamar 1938 di Menes).
“Para ulama NU sejak generasi muassis (pendiri) telah melakukan inisiatif yang sangat berani dalam konteks syariah. Contohnya, pada 1938, yaitu Muktamar Menes memberi panggung kepada dua orang ibu nyai pesantren untuk tampil,” terang Gus Yahya pada Halaqah Fiqih Peradaban di Madrasah Aliyah Ali Maksum, Krapyak, Yogyakarta, Kamis (11/8/2022).
Sumber: NU Online