Tutup
Sekapur Sirih

Tiga Dimensi Amanah Menurut Imam Fakhruddin Ar-Razi

6905
×

Tiga Dimensi Amanah Menurut Imam Fakhruddin Ar-Razi

Sebarkan artikel ini
Tiga Dimensi Amanah Menurut Imam Fakhruddin Ar-Razi
Ilustrasi

Oleh: Muhaimin Yasin (Alumnus Pondok Pesantren Ishlahul Muslimin Lombok Barat dan Pegiat Kajian Keislaman)

Kabarnusa24.com, — Menjaga amanah dalam Islam adalah sikap terpuji yang harus dimiliki oleh setiap Muslim. Secara hakikat, sikap ini merupakan modal penting untuk membangun masyarakat yang harmonis dan berkeadilan. Oleh karena itu, amanah menjadi salah satu sifat mulia yang melekat pada para nabi dan rasul.

Perintah untuk menjaga amanah banyak disebutkan dalam Al-Qur’an, hadits, serta perkataan para ulama. Salah satu firman Allah SWT yang paling terkenal tentang amanah terdapat dalam Surat An-Nisa ayat 58:

اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَمٰنٰتِ اِلٰٓى اَهْلِهَاۙ وَاِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ اَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ سَمِيْعًاۢ بَصِيْرًا

Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada pemiliknya. Apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu tetapkan secara adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang paling baik kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

Selain itu, amanah juga merupakan komponen penting dalam pondasi keimanan seseorang. Menjaga amanah mencerminkan kebaikan spiritual dan kedalaman iman. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Anas bin Malik:

مَا خَطَبَنَا نَبِيُّ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِلَّا قَالَ: ‌لَا ‌إِيمَانَ ‌لِمَنْ ‌لَا ‌أَمَانَةَ ‌لَهُ، وَلَا دِينَ لِمَنْ لَا عَهْدَ لَهُ

Artinya, “Tidaklah Nabi Saw berkhutbah kepada kami, melainkan beliau bersabda: Tiada iman bagi siapa saja yang tidak memiliki sifat amanah dalam dirinya. Begitu pun, tiada agama bagi siapa saja yang tidak menepati janji.” (HR. Ahmad)

Dalam merincikan hal-hal yang berkaitan dengan amanah, para ulama memiliki beragam pendapat yang didasarkan pada landasan masing-masing. Pada kesempatan kali ini, topik yang akan dibahas adalah tiga aspek amanah yang tidak terpisahkan menurut salah satu cendekiawan Muslim ternama, yaitu Imam Fakhruddin Ar-Razi. Apa saja aspek tersebut? Mari simak.

Tiga Aspek Amanah yang Tidak Bisa Terpisahkan

Imam Fakhruddin Ar-Razi, dalam kitabnya At-Tafsirul Kabir (Beirut, Darul Ihya’ At-Turats, 1999, 10:109), menjelaskan tafsir terkait Qur’an Surat An-Nisa ayat 58. Dalam salah satu pembahasannya, ia mengklasifikasikan amanah menjadi tiga bagian:

1. Amanah yang berhubungan dengan Allah SWT,

2. Amanah yang berhubungan dengan sesama makhluk, dan

3. Amanah yang berhubungan dengan tanggung jawab kepada diri sendiri.

 

1. Amanah yang Berhubungan dengan Tuhan

Ar-Razi menjelaskan bahwa amanah yang berhubungan dengan Allah SWT mencakup pelaksanaan segala hal yang berkaitan dengan perintah dan larangan-Nya. Amanah ini merupakan tanggung jawab seorang hamba dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah.

Lebih jauh lagi, amanah ini juga mencakup tanggung jawab terhadap segala sarana yang membantu terlaksananya ketaatan kepada Allah. Sebagai contoh, ketika seseorang hendak melaksanakan ibadah shalat, semua sepakat bahwa salat adalah perintah Allah. Maka, segala hal yang menjadi perantara untuk melaksanakan salat juga termasuk dalam amanah yang harus dipenuhi.

Hal-hal seperti menjaga wudu, menutup aurat dengan benar, serta melaksanakan rukun dan syarat salat sesuai ketentuan, semuanya merupakan bagian dari amanah kepada Allah. Begitu pula dengan ibadah-ibadah lainnya, seperti menunaikan zakat, menjalankan puasa, dan melaksanakan ibadah haji.

وَاعْلَمْ أَنَّ هَذَا بَابٌ وَاسِعٌ، فَأَمَانَةُ اللِّسَانِ أَنْ لَا يَسْتَعْمِلَهُ فِي الْكَذِبِ وَالْغَيْبَةِ وَالنَّمِيمَةِ وَالْكُفْرِ وَالْبِدْعَةِ وَالْفُحْشِ وَغَيْرِهَا، وَأَمَانَةُ الْعَيْنِ أَنْ لَا يَسْتَعْمِلَهَا فِي النَّظَرِ إِلَى الْحَرَامِ، وَأَمَانَةُ السَّمْعِ أَنْ لَا يَسْتَعْمِلَهُ فِي سَمَاعِ الْمَلَاهِي وَالْمَنَاهِي، وَسَمَاعِ الْفُحْشِ وَالْأَكَاذِيبِ وَغَيْرِهَا، وَكَذَا الْقَوْلُ/ فِي جَمِيعِ الْأَعْضَاءِ

Artinya: “Ketahuilah bahwa pembahasan ini cukup luas. Termasuk juga di dalamnya amanah terhadap lisan, hendaknya tidak dipergunakan untuk berbohong, ghibah, mengadu domba, kufur, bid’ah, kekejian dan selainnya. Begitu juga amanah terhadap mata, hendaknya tidak dipergunakan untuk melihat sesuatu yang haram. Selain itu, ada amanah terhadap pendengaran, hendaknya tidak dipergunakan untuk mendengar suara musik erotis, nada-nada yang terlarang, kekejian, kebohongan dan lain sebagainya. Demikian juga berlaku untuk semua anggota badan.”

Selain melaksanakan segala perintah dan menjauhi larangan, Ar-Razi juga menambahkan bahwa menjaga anggota tubuh dari perbuatan yang dilarang merupakan bagian dari amanah yang berhubungan dengan Allah SWT.

2. Amanah yang Berhubungan dengan Sesama Makhluk

Dalam pembahasan tentang amanah yang berhubungan dengan sesama makhluk, Ar-Razi lebih menekankan pada amaliyah yang berkaitan langsung dengan manusia, tanpa mencakup keseluruhan makhluk seperti hewan dan tumbuh-tumbuhan. Meskipun keduanya juga termasuk dalam amanah yang dibebankan kepada manusia sebagai khalifah di muka bumi, kali ini Ar-Razi menyoroti aspek amanah sosial atau hablumminannas.

Ar-Razi menjelaskan beberapa perilaku sehari-hari yang erat kaitannya dengan amanah sosial. Di antaranya adalah menepati janji, menghindari pengurangan timbangan bagi pedagang, bersikap adil terhadap rakyat bagi pejabat, serta berlaku adil bagi ulama terhadap orang awam, seperti dalam menentukan pembagian waris dan menuntun mereka dalam urusan dunia maupun akhirat. Termasuk dalam amanah ini adalah mencegah pihak non-Muslim untuk merendahkan agama Islam.

وَيَدْخُلُ فِيهِ أَمْرُ الرَّسُولِ عليه الصلاة والسلام بِرَدِّ الْمِفْتَاحِ إِلَى عُثْمَانَ بْنِ طَلْحَةَ، وَيَدْخُلُ فِيهِ أَمَانَةُ الزَّوْجَةِ لِلزَّوْجِ فِي حِفْظِ فَرْجِهَا، وَفِي أَنْ لَا تُلْحِقَ بِالزَّوْجِ وَلَدًا يُولَدُ مِنْ غَيْرِهِ. وَفِي إِخْبَارِهَا عَنِ انْقِضَاءِ عِدَّتِهَا

Artinya, “Termasuk contoh amanah yang berhubungan dengan manusia adalah perkara Rasulullah saw ketika mengembalikan kunci (ka’bah) kepada Utsman bin Thalhah. Begitu juga amanah seorang istri kepada suami untuk menjaga kemaluannya dan tidak hidup bersama suami dengan membawa anak dari laki-laki lain. Dalam hal ini maksudnya adalah sampai dipastikan telah selesai ‘iddahnya.”

Sebagaimana dijelaskan oleh Ar-Razi, contoh nyata tentang amanah ini ditunjukkan oleh Rasulullah SAW dalam peristiwa Fathu Makkah. Ketika Rasulullah meminjam kunci Ka’bah dari Utsman bin Thalhah, yang saat itu menjabat sebagai juru kunci, beliau segera mengembalikannya setelah selesai digunakan untuk membersihkan Ka’bah dari berhala.

3. Amanah yang Berhubungan dengan Diri Sendiri

Selanjutnya, aspek amanah yang terakhir yang disampaikan oleh Ar-Razi adalah yang berkaitan dengan diri sendiri. Amanah ini adalah aspek terpenting yang harus ada pada diri seseorang dan kemungkinan terbesar yang memengaruhi kedua amanah sebelumnya. Karena pada dasarnya, pengaruh diri sendiri adalah kunci terlaksananya aspek ibadah dan mu’amalah. Fakhruddin Ar-Razi menjelaskan:

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ: وَهُوَ ‌أَمَانَةُ ‌الْإِنْسَانِ مَعَ نَفْسِهِ فَهُوَ أَنْ لَا يَخْتَارَ لِنَفْسِهِ إِلَّا مَا هُوَ الْأَنْفَعُ وَالْأَصْلَحُ لَهُ فِي الدِّينِ وَالدُّنْيَا، وَأَنْ لَا يُقْدِمَ بِسَبَبِ الشَّهْوَةِ وَالْغَضَبِ عَلَى مَا يَضُرُّهُ فِي الْآخِرَةِ

Artinya: “Adapun bagian yang ketiga: yakni amanah seorang manusia terhadap dirinya sendiri. Dalam hal ini, seseorang tidak boleh berikhtiar untuk dirinya kecuali kepada sesuatu yang lebih bermanfaat dan lebih membawa kebaikan di dalam urusan agama dan dunia. Seseorang tidak boleh mengedepankan pilihan yang didasari oleh syahwat dan kemurkaan sehingga hal ini mendatangkan mudharat (keburukan) bagi dirinya di akhirat.”

Dalam realitas terkini yang sangat membutuhkan tanggung jawab, pemeliharaan ketiga aspek amanah yang telah disebutkan di atas menjadi hal yang sangat penting. Sebagai seorang Muslim yang baik, sudah sepatutnya kita menjadikan hal ini sebagai bahan refleksi untuk mengukur sejauh mana kita menjalankan tugas sebagai hamba Allah, dengan menjaga keseimbangan antara hablumminallah (hubungan dengan Allah) dan hablumminannas (hubungan dengan sesama manusia). Wallahu a’lam.


Sumber: Dilansir dari Halaman tafsir NU Online

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *