JAKARTA. Kabarnusa24.com — Pernikahan merupakan ikatan sakral yang menjadi landasan terbentuknya keluarga dalam Islam. Namun, status keimanan seseorang memiliki pengaruh besar terhadap sah atau tidaknya pernikahan tersebut.
Dalam konteks ini, mayoritas ulama menyatakan bahwa pernikahan seorang Muslim yang dilangsungkan saat dia murtad (keluar dari Islam) dianggap tidak sah dan tidak diperbolehkan.
“Menurut mayoritas ulama, pernikahan seorang Muslim yang dilangsungkan pada saat ia Murtad tidak dianggap sah (tidak diperbolehkan), sehingga ia harus melangsungkan akad nikah baru kembali ketika masuk Islam,” tulis anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Dr KH Fatihun Nada Lc MA, melalui kolom Ulama Menjawab MUI Digital dikutip Senin (6/1/2024).
Lebih lanjut, Kiai Fatihun menjelaskan tentang penjelasan sebagian ulama mengenai masalah tersebut.
فَذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ – الْحَنَفِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ عَلَى الصَّحِيحِ وَالْحَنَابِلَةُ وَقَوْلٌ عِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ – إِلَى أَنَّ نِكَاحَ الْكُفَّارِ غَيْرِ الْمُرْتَدِّينَ بَعْضِهِمْ لِبَعْضٍ صَحِيحٌ
Artinya: “Jumhur fuqaha—ulama Hanafiyah, ulama Syafi’iyah menurut pendapat yang sahih, ulama Hanabilah, dan sebuah pendapat dalam kalangan ulama Malikiyah—berpendapat bahwa pernikahan orang-orang kafir sesama mereka selain orang-orang yang murtad adalah sah.” (Kementerian Wakaf dan Islam, Al-Mausû’ah Al-Fiqhiyyah, juz 41, hal 319)
Hal ini menjelaskan bahwa pernikahan seseorang yang dilangsungkan pada saat ia kafir (belum masuk Islam) hukumnya sah, tetapi pernikahan seseorang yang dilangsungkan pada saat ia murtad (keluar dari Islam) hukumnya tidak sah.
وَلَا يَجُوزُ لِلْمُرْتَدِّ أَنْ يَنْكِحَ قَبْلَ الْحَجْرِ وَلَا بَعْدَهُ مُسْلِمَةً لِأَنَّهُ مُشْرِكٌ وَلَا وَثَنِيَّةً لِأَنَّهُ لَا يَحِلُّ لَهُ إلَّا مَا يَحِلُّ لِلْمُسْللِمِينَ وَلَا كِتَابِيَّةً لِأَنَّهُ لَا يُقِرُّ عَلَى دِينِهِ
Artinya: “Dan tidak diperbolehkan bagi orang murtad untuk menikahi seorang wanita Muslimah, baik sebelum atau setelah dia dijatuhi hukuman (hajr) karena dia adalah seorang musyrik. Begitu pula tidak diperbolehkan menikahi wanita penyembah berhala karena tidak halal bagi orang murtad atas penyembah berhala, kecuali apa yang halal bagi orang-orang Muslim. Begitu juga orang murtad tidak boleh menikahi wanita dari Ahli Kitab karena orang murtad tidak tetap pada agamanya” (Al-Imam al-Syafi’i, al-Umm, juz 6, hal. 177)
Hal ini menjelaskan bahwa seseorang yang murtad tidak diperbolehkan menikah dengan seorang Muslim, seorang penyembah behala, dan seorang ahli kitab.
Pandangan mayoritas ulama yang menegaskan ketidaksahan pernikahan seseorang yang dilangsungkan dalam keadaan murtad menunjukkan betapa pentingnya keimanan sebagai dasar utama dalam setiap aspek kehidupan seorang Muslim, termasuk dalam membangun rumah tangga. Keimanan menjadi syarat utama untuk menjaga kesucian dan keberkahan ikatan pernikahan.
Oleh karena itu, jika seorang Muslim kembali kepada Islam setelah murtad, dia diwajibkan melangsungkan akad nikah yang baru untuk melegalkan hubungan pernikahannya sesuai syariat. Hal ini menjadi pengingat agar setiap Muslim senantiasa menjaga keimanannya dalam setiap keadaan.
Sumber: Majlis Ulama Indonesia (MUI)