Kabarnusa24.com, | Allah memerintahkan umat Islam untuk bersikap pemaaf terhadap kesalahan orang lain. Sikap memaafkan bukan hanya menunjukkan kebesaran hati, tetapi juga dapat meredam permusuhan dan mempererat hubungan antar sesama.
Simak firman Allah dalam surat Al-A’raf ayat 199 berikut;
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَاَعْرِضْ عَنِ الْجٰهِلِيْنَ ١٩٩
khudzil-‘afwa wa’mur bil-‘urfi wa a‘ridl ‘anil-jâhilîn
Artinya; “Jadilah pemaaf, perintahlah (orang-orang) pada yang makruf, dan berpalinglah dari orang-orang bodoh.”
Profesor Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menjelaskan ayat ini mengandung perintah untuk memberi maaf pada orang yang pernah berbuat kesalahan. Sudah sepatutnya, seorang Muslim memilih sikap pemaaf dan menghias diri dengannya, bukan sebaliknya.
Pandangan ini juga diungkapkan Thahir Ibnu ‘Asyur, sebagaimana dikutip Prof. Quraish, memberi maaf bukan hanya sekadar tindakan sesekali, tetapi harus menjadi bagian dari karakter seseorang dalam berinteraksi dengan sesama. Untuk itu, seseorang hendaknya lebih mengutamakan sikap pemaafan dibandingkan dendam atau permusuhan.
Sementara itu, Al-Biqa‘i, kata Quraish Shihab, mengatakan perintah khudzil ‘afwa dalam ayat di atas dapat dimaknai sebagai mengambil apa yang mudah dari manusia dan tidak membebani mereka dengan tuntutan yang berat. Sikap ini mencerminkan kebaikan hati dan kelembutan dalam berinteraksi, sehingga orang-orang tidak merasa tertekan atau menjauh.
Sejatinya, dengan menerima kekurangan orang lain dan tidak menuntut kesempurnaan, hubungan sosial akan lebih harmonis dan penuh dengan kasih sayang. Ini juga sejalan dengan ajaran Islam yang menekankan pentingnya membangun hubungan yang damai dan menghindari perselisihan yang tidak perlu.
Sebagian ulama juga menafsirkan kata ‘afwu sebagai moderasi atau sikap pertengahan dalam segala hal, yang dianggap sebagai bentuk kebaikan terbaik. Dalam hal ini, memberi maaf bukan hanya sekadar tindakan spontan, tetapi juga bagian dari prinsip keseimbangan dalam hidup. Berbeda dengan sikap berpaling yang hanya mengabaikan kesalahan tanpa menghilangkan kemarahan, memaafkan justru menyembuhkan hati dari luka dan menghapus kebencian.
Sementara itu, Syekh Syihabuddin Al-Alusi dalam kitab Ruhul Ma’ani menafsirkan perintah “Khudzil ‘Afwa” sebagai anjuran untuk bersikap pemaaf, yaitu menerima dan memudahkan apa yang ringan serta mudah dari akhlak manusia. Sikap ini dianjurkan agar seseorang tidak menuntut kesempurnaan atau membebani orang lain dengan sesuatu yang sulit mereka lakukan.
Pendapat ini didukung oleh para ulama seperti Ibnu Umar, Ibnu Zubair, Aisyah, dan Mujahid radhiyallahu ‘anhum. Bahkan, riwayat dari Ibnu Abi Dunya yang disandarkan kepada Rasulullah SAW menunjukkan bahwa sifat pemaaf merupakan akhlak yang utama dalam menjaga hubungan sosial dan mencegah perpecahan.
خُذِ الْعَفْوَ أي ما عفا وسهل وتيسر من أخلاق الناس، وإلى هذا ذهب ابن عمر وابن الزبير وعائشة ومجاهد رضي الله تعالى عنهم وغيرهم، وأخرجه ابن أبي الدنيا عن إبراهيم بن آدم مرفوعا إلى رسول الله صلّى الله عليه وسلّم
Artinya; “Ambillah sikap memaafkan,” yaitu menerima apa yang mudah dan lapang dari akhlak manusia. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibn Umar, Ibn Zubair, Aisyah, Mujahid radhiyallahu ‘anhum, dan lainnya. Ibnu Abi Dunya meriwayatkannya dari Ibrahim bin Adham dengan sanad yang sampai kepada Rasulullah (Syihabuddin Al-Alusi, Ruhul Ma’ani, [Beirut: Darul Kutub Ilmiyah, 1994], Jilid V, hlm, 137).
Sementara itu, Tafsir al-Khawatir, Imam Sya’rawi mengatakan bahwa Surah Al-A’raf ayat 199 berisi perintah Allah kepada Rasulullah untuk bersikap pemaaf. Meski demikian, sikap ini tidak hanya berlaku bagi Nabi tetapi juga bagi setiap Muslim yang mengikutinya.
مَا هٰذاَ يَا جِبْرِيْلُ؟ قَالَ إِنَّ اللّٰهَ أَمَرَكَ أَنْ تَعْفُوَ عَمَّنْ ظَلَمَكَ وَتُعْطِيَ مَنْ حَرَمَكَ وَتَصِلَ مَنْ قَطَعَكَ (رواه ابن جرير وابن أبي حاتم عن ابن أبي عن أبيه
Artinya; “Apakah ini ya Jibril? Jawab Jibril, “Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kamu agar memaafkan orang yang berbuat aniaya terhadapmu, memberi kepada orang yang tidak mau memberi kepadamu dan menyambung hubungan kepada orang yang memutuskannya.” (Riwayat Ibn Jarīr dan Ibn Abi Ḥatim, dari Ibn Ubay dari bapaknya).
Dalam bahasa Arab, kata ‘afwu’ tidak hanya berarti memaafkan kesalahan orang lain, tetapi juga memiliki makna lebih luas, yakni memberi kelapangan tanpa beban dan tanpa pamrih. Oleh karena itu, memaafkan bukan sekadar tindakan lahiriah, tetapi juga sebuah sikap hati yang mendatangkan ketenangan dan kemudahan dalam kehidupan.
Lebih jauh lagi, kata Imam Sya’rawi, memaafkan memiliki efek yang luar biasa dalam memperbaiki hubungan dan mencegah perselisihan. Perintah ini menunjukkan bahwa memaafkan bukan sekadar tindakan pasif, tetapi sebuah langkah aktif yang membawa manfaat besar bagi individu dan masyarakat. Rasulullah sendiri merupakan teladan dalam hal ini– Nabi selalu membalas keburukan dengan kebaikan, bahkan kepada orang-orang yang pernah menyakitinya.
Sikap memaafkan juga mencerminkan kelapangan hati dan kedewasaan spiritual seseorang. Dalam kehidupan sehari-hari, tidak jarang kita merasa sulit untuk memaafkan, terutama ketika kesalahan yang dilakukan orang lain terasa menyakitkan. Namun, Islam menegaskan bahwa memaafkan justru mendatangkan keuntungan bagi diri sendiri.
Imam Hasan Al-Bashri, seorang ulama besar, pernah menghadiahkan kurma kepada seseorang yang menggunjingnya, dengan alasan bahwa orang tersebut telah memberikan pahala kepadanya melalui gunjingannya. Kisah ini mengajarkan bahwa memaafkan tidak hanya menghindarkan kita dari dendam, tetapi juga membuka pintu keberkahan dan kasih sayang Allah SWT.
Simak penjelasan Imam Sya’rawi berikut;
وهذه آية جمع فيها المولى سبحانه وتعالى مكارم الأخلاق. وبعد أن أبلغ الحق تبارك وتعالى رسوله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بأن يدعو المشركين لأن يكيدوا له مع شياطينهم وأصنامهم ولن يستطيعوا. وبعد ذلك يوضح له: أنا أحب أن تأخذ بالعفو، وفي هذا تعليم لرسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ولمن يتبعه، وكلمة «العفو» ترد على ألسنتنا، ونحن لا ندري أن لها معنى أصيلاً في اللغة. وقد يسألك سائل: من أي أتيت بهذا الشيء؟ فتقول له: جاءني عفواً، أي بدون جهد، وبدون مشقة، وبدون سعي إليه ولا احتيال لاقتنائه.
وللأمر بأخذ «العفو» معنى آخر وهو أن تعفو عمن ظلمك؛ لأن ذلك ييسر الأمور. والعفو أيضاً له معنى ثالث، هو الأمر الزائد، مثل قوله الحق تبارك وتعالى من قبل أن تفرض الزكاة: {وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنفِقُونَ قُلِ العفو … } [البقرة: ٢١٩] .
Artinya; “Dan ini adalah ayat yang di dalamnya Allah SWT mengumpulkan kemuliaan akhlak.
Setelah Allah Yang Maha Benar, Maha Suci, dan Maha Tinggi memberitahukan kepada Rasulullah agar menyeru kaum musyrik untuk bersekongkol melawannya bersama setan-setan dan berhala-berhala mereka, namun mereka tidak akan mampu melakukannya. Setelah itu, Allah menjelaskan kepadanya: ‘Aku ingin engkau mengambil sikap pemaaf.’ Dalam hal ini terdapat pelajaran bagi Rasulullah dan bagi siapa pun yang mengikutinya.
Kata ‘afwu’ (pemaafan) sering kita ucapkan, tetapi kita tidak mengetahui bahwa kata ini memiliki makna yang mendalam dalam bahasa Arab. Seseorang mungkin bertanya kepadamu: ‘Dari mana engkau mendapatkan sesuatu ini?’ Maka engkau bisa menjawab: ‘Itu datang kepadaku secara ‘afwan’, yaitu tanpa usaha, tanpa kesulitan, tanpa mencarinya, dan tanpa tipu daya untuk mendapatkannya.’
Perintah untuk mengambil sikap ‘afwu’ juga memiliki makna lain, yaitu memaafkan orang yang menzalimi kita, karena hal itu dapat mempermudah segala urusan.
Selain itu, ‘afwu’ memiliki makna ketiga, yaitu sesuatu yang berlebih. Sebagaimana firman Allah sebelum diwajibkannya zakat: “Dan mereka bertanya kepadamu, ‘Apa yang harus mereka infakkan?’ Katakanlah, ‘Yang lebih dari kebutuhan (al-‘afwu)’…” (QS. Al-Baqarah: 219).
Sementara itu, dalam kitab Jami’ul Bayan, Imam Thabari menyebutkan dua penafsiran mengenai ayat ini. Pertama, sebagian ulama menafsirkan bahwa frasa “Khudzil ‘afwa” berarti mengambil sikap pemaaf dari akhlak manusia, yaitu bersikap murah hati dan tidak membebani mereka dengan sesuatu yang sulit. Sikap ini menunjukkan pentingnya berinteraksi dengan orang lain secara bijaksana dan tidak menuntut sesuatu yang sulit mereka lakukan.
فقال بعضهم: تأويله: (خذ العفو) من أخلاق الناس، وهو الفضل وما لا يجهدهم
Artinya; Maka sebagian dari mereka berkata: Tafsir ayat “Khudzil ‘afwa” adalah mengambil sifat pemaaf dari akhlak manusia, yaitu kemurahan hati dan sesuatu yang tidak memberatkan mereka (Imam Thabari, Jamiul Bayan, [Makkah: Darul Tarbiyah wa Turats, tt] Jilid XIII, hlm, 328).
Pendapat kedua menyebutkan bahwa ayat ini adalah perintah Allah kepada Nabi Muhammad untuk memaafkan kaum musyrik dan tidak bersikap kasar kepada mereka sebelum ada perintah untuk berperang. Ini menunjukkan bahwa Islam pada awalnya mengedepankan dakwah dengan kelembutan, bukan dengan kekerasan.
Dari kedua penafsiran ini, kita dapat memahami bahwa ajaran Islam menekankan pentingnya sikap pemaaf, kelembutan, dan kebijaksanaan dalam berinteraksi dengan sesama manusia, baik terhadap sesama Muslim maupun kepada mereka yang berbeda keyakinan. Simak penjelasan Imam Thabari berikut;
وقال آخرون: بل ذلك أمرٌ من الله نبيَّه صلى الله عليه وسلم بالعفو عن المشركين، وترك الغلظة عليهم قبل أن يفرض قتالهم عليه
Artinya; “Dan sebagian lainnya berkata: Sebenarnya itu adalah perintah dari Allah kepada Nabi-Nya untuk memaafkan kaum musyrik dan tidak berlaku keras terhadap mereka sebelum diwajibkan bagi beliau untuk memerangi mereka” (Jamiul Bayan, Jilid XIII, hlm. 328)
Oleh karena itu, seorang Muslim hendaknya menjadikan sikap memaafkan sebagai bagian dari akhlaknya, karena dengan memaafkan, kita tidak hanya menenangkan hati sendiri, tetapi juga mendekatkan diri kepada ridha Allah SWT. Wallahu a’lam.
Sumber: Kajian Tafsir Surat Al-A’raf ayat 199 Oleh Ustadz Zainuddin Lubis, Pegiat Kajian Islam Tinggal di Ciputat [NU Online]