Kabarnusa24.com | JAKARTA — Masyarakat modern cenderung menyukai hal-hal yang bersifat praktis dan efisien, termasuk dalam menunaikan zakat fitrah. Dalam menunaikan zakat fitrah, masyarakat yang mulanya menggunakan makanan pokok (qutul balad) mulai bertransisi ke pembayaran berbentuk uang.
Ustadz Ahmad Ali MD dalam tulisannya yang berjudul Mengurai Kontroversi Zakat Fitrah dengan Uang, menyebutkan bahwa terdapat perbedaan ulama mengenai hukum menunaikan zakat fitrah menggunakan uang. Pertama, tidak diperbolehkan. Kedua, diperbolehkan dan sah.
“Syafi’iyah dan jumhur (mayoritas ulama) tidak membolehkan dan tidak mengesahkan, sementara Hanafiyah membolehkan dan mengesahkan.” Demikian yang dikutip Media pada Senin (24/3/2025).
Dalam mazhab Syafi’iyah dan mayoritas ulama, tidak boleh (tidak sah) zakat fitrah menggunakan uang (qîmah). Hal ini berpegang secara konsisten pada mazhab Syafi’iyah, yang mewajibkan zakat fitrah dengan makanan pokok, seperti beras bagi orang Indonesia, dengan kadar 1 sha’ beras sebesar 2,75 kg atau 2,5 kg atau 3,5 liter. Pendapat pertama ini masih sangat banyak diikuti oleh masyarakat umum.
Sementara dalam mazhab Hanafiyah dan Syekh Ibn Qasim (ulama Malikiyah), memperbolehkan zakat fitrah menggunakan uang, dengan menyesuaikan nominal harga beras sesuai kualitas layak konsumsi masyarakat sebesar 2,75 kg atau 3,5 liter beras atau versi lain 2,5 kg.
“Tentang besaran zakatnya tersebut mengikuti mazhab Syafiiyah, tidak mengikuti pendapat Hanafiyah, yang bila dibandingkan nominalnya justru lebih besar/berat daripada ukuran Syafiiyah, terlebih menggunakan nominal selain beras (apalagi kurma). Pendapat ini merupakan hasil bahtsul masail LBM PBNU tentang Pembayaran Zakat Fitrah dengan Uang, tertanggal 18 Mei 2020, dengan menggunakan model intiqâl al-mazhab fî ba‘dh al-masâ’il (berpindah mazhab dalam sebagian masalah/tidak secara utuh),” kata Ahmad Ali MD dalam tulisannya.
Masyarakat Indonesia-mayoritas pengikut mazhab Syafi’i-diperkenankan untuk melakukan beralih mazhab. Hal ini dilandaskan pada pendapat Syekh Nawawi Banten dalam kitab al-Tsimar al-Yani’ah, yang mengatakan bahwa berpindah mazhab dari satu mazhab ke mazhab lain, meski tidak secara keseluruhan terdapat hukum yang memperbolehkan.
“Soal perpindahan dari satu ke lain mazhab-meski tidak secara keseluruhan satu rangkaian ibadah-, ulama memiliki tiga pendapat mengenai hukumnya. Sebagian ulama melarang secara mutlak. Sebagian ulama lagi membolehkan secara mutlak. Sebagian ulama lain lagi membolehkannya selama tidak menghasilkan formulasi hukum yang bertentangan dengan ijmak. Apabila bertentangan dengan ijmak, maka perpaduan mazhab dilarang seperti perkawinan tanpa mas kawin, tanpa wali, dan tanpa saksi. Sungguh perpaduan semacam itu tidak diperbolehkan oleh seorang pun dari kalangan ulama.” Dikutip dari Youtube NU Online.
Rumusan hukum yang dihasilkan dari konsep beralih mazhab berujung pada kebolehan pembayaran zakat fitrah dengan uang karena mengikuti pendapat mazhab Hanafi. Menurut mazhab Hanafi, kadar uang yang dibayarkan harus sesuai dengan harga bahan-bahan makanan yang manshush (disebut dalam teks hadits) sebagai zakat fitrah, yaitu 1 sha’ kurma kering, 1 sha’ sya’ir (gandum/jelai–hordeum vulgare), 0,5 sha’ anggur kering, dan 0,5 sha’ hinthah (gandum-triticum spelta) atau seharga 2,5 kg/2,7 kg beras beras dalam mazhab Syafi’i.
Dalam hal zakat fitrah, LBM PBNU lantas mengeluarkan rekomendasi sebagai berikut:
- Menunaikan zakat fitrah yang terbaik adalah pembayaran dengan beras. Adapun satu sha’ versi Imam Nawawi adalah bobot seberat 2,7 kg atau 3,5 liter. Sedangkan ulama lain mengatakan, satu sha’ seberat 2,5 kg.
- Masyarakat juga diperbolehkan membayar zakat fitrah dengan menggunakan uang sesuai harga beras 2,7 kg atau 3,5 liter atau 2,5 kg sesuai kualitas beras layak konsumsi oleh masyarakat setempat.
- Segenap panitia zakat yang ada di masyarakat baik di mushalla maupun di masjid dianjurkan untuk berkoordinasi dengan LAZISNU terdekat.
Sumber: NU Online