Tutup
BeritaReligi

Benarkah Orang Mudik di Bulan Ramadhan Boleh Tidak Puasa?

12
×

Benarkah Orang Mudik di Bulan Ramadhan Boleh Tidak Puasa?

Sebarkan artikel ini
Benarkah Orang Mudik di Bulan Ramadhan Boleh Tidak Puasa?

Kabarnusa24.com | JAKARTA — Aktivitas mudik atau pulang kampung menjadi tradisi tahunan masyarakat Indonesia ketika menjelang lebaran. Aktivitas mudik tersebut dilakukan dengan jarak yang dekat maupun yang jauh. Lantas, bolehkah bagi seseorang yang sedang mudik untuk tidak berpuasa Ramadhan? Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI KH Abdul Muiz Ali menjelaskan persoalan ini.

Ulama yang akrab disapa Kiai AMA ini menerangkan, seseorang yang melakukan perjalanan mudik dengan ketentuan jarak tempuhnya, sebagaimana boleh menggabung (jamak) atau meringkas (qashar) shalat, diperbolehkan untuk tidak berpuasa.

Namun, Kiai AMA menekankan, puasa yang ditinggalkan karena bepergian itu wajib diganti setelah bulan Ramadhan.

Dibolehkannya seorang yang bepergian atau dalam Islam disebut musafir ini merujuk ke sejumlah dalil antara lain, dalam Qs Al Baqarah ayat 185.

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Artinya: “Barang siapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain…”

Selain itu,di dalam kitab fiqih, ulama juga menjelaskan soal kebehan bepergian saat puasa.

“Dalam kitab fiqih ulama banyak menjelaskan ketentuan perihal boleh atau tidaknya bagi seseorang yang sedang bepergian untuk tidak puasa,” ujarnya sebagaimana dikutip Media, Kamis (27/3/2025).

Misalnya antara lain disebutkan sebagai berikut.

( وَ ) يُبَاحُ تَرْكُهُ ( لِلْمُسَافِرِ سَفَرًا طَوِيلا مُبَاحًا ) فَإِنْ تَضَرَّرَ بِهِ فَالْفِطْرُ أَفْضَلُ وَإِلا فَالصَّوْمُ أَفْضَلُ كَمَا تَقَدَّمَ فِي بَابِ صَلاةِ الْمُسَافِرِ . ( وَلَوْ أَصْبَحَ ) الْمُقِيمُ ( صَائِمًا فَمَرِضَ أَفْطَرَ ) لِوُجُودِ الْمُبِيحِ لِلإِفْطَارِ . ( وَإِنْ سَافَرَ فَلا ) يُفْطِرُ تَغْلِيبًا لِحُكْمِ الْحَضَرِ وَقِيلَ يُفْطِرُ تَغْلِيبًا لِحُكْمِ السَّفَرِ

Artinya: “Dan dibolehkan meninggalkan berpuasa bagi seorang musafir dengan perjalan yang jauh dan diperbolehkan (mubah). Bila dengan berpuasa seorang musafir mengalami mudharat maka berbuka lebih utama, bila tidak maka berpuasa lebih utama sebagaimana telah lewat penjelasannya pada bab shalatnya musafir. Bila pada pagi hari seorang yang bermukim berpuasa kemudian ia sakit maka ia diperbolehkan berbuka karena adanya alasan yang membolehkannya berbuka. Namun bila orang yang mukim itu melakukan perjalanan maka ia tidak dibolehkan berbuka dengan memenangkan hukum bagi orang yang tidak bepergian. Dikatakan juga ia boleh berbuka dengan memenangkan hukum bagi orang yang bepergian.”
(Jalaludin Al-Mahali, Kanzur Raghibin Syarh Minhajut Thalibin juz 2, hal. 161)

Sementara itu, dijelaskan juga dalam kitab Mughnil Muhtaj, sebagaimana berikut:

وَلَوْ نَوَى وَسَافَرَ لَيْلًا، فَإِنْ جَاوَزَ قَبْلَ الْفَجْرِ مَا اُعْتُبِرَ مُجَاوَزَتُهُ فِي صَلَاةِ الْمُسَافِرِ أَفْطَرَ، وَإِلَّا فَلَا

“Bila seseorang berniat puasa dan melakukan perjalanan pada malam hari, bila sebelum terbitnya fajar ia telah melewati batasan yang ditetapkan dalam bab sholatnya musafir maka ia boleh berbuka, bila tidak maka tidak boleh berbuka.” (Muhammad Khatib As-Syarbini, Mughnil Muhtaj, juz 1, hal. 589).

Kiai AMA menjelaskan, meskipun dalam perjalanan jauh seperti mudik dibolehkan untuk tidak berpuasa, namun, sekiranya dalam perjalanan tersebut kuat berpuasa (tidak letih atau lemas yang dapat mengganggu kesehatannya), maka memilih berpuasa itu lebih utama.

“Maka memilih waktu yang tepat untuk mudik dan menyiapkan bekal selama dalam perjalanan itu penting. Selain hal di atas tentu tidak kalah pentingnya adalah membekali kita dengan ilmu pengetahuan tentang tata cara ibadah dalam selama dalam perjalanan,” kata Kiai Muiz. [MUI]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *