Oleh Ustadz Muhammad Tantowi (Koordinator Ma’had MTsN 1 Jember)
Kabarnusa24.com | Isu keterlibatan seorang politisi dalam pengendalian judi online di Kamboja memicu beragam tanggapan. Ada yang mengiyakan, namun tak sedikit yang meragukan, termasuk pernyataan dari rekan satu partai politisi tersebut yang menyebut, “Apalagi beliau itu sudah haji, mustahil berbisnis judi yang merusak umat.”
Terlepas dari kebenaran isu tersebut, muncul pertanyaan di kalangan netizen: “Apakah status haji menjamin seseorang terhindar dari perbuatan jahat?” Pertanyaan ini menarik untuk dikaji dari perspektif agama.
Haji, sebagai puncak rukun Islam, menandakan kesempurnaan ibadah seorang Muslim. Namun, apakah itu serta-merta menjamin akhlak seseorang? Allah SWT berfirman:
فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَّقَامُ إِبْرَاهِيمَۖ وَمَن دَخَلَهُ كَانَ آمِنًاۗ وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًاۚ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
Artinya, “(Di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, (yaitu bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Siapa yang mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu pun) dari seluruh alam,” (QS. Ali Imran: 97).
Berdasarkan ayat di atas, Imam al-Qurthubi mengutip hadits riwayat Imam Muslim yang menjelaskan, bahwa kewajiban haji hanya sekali seumur hidup. Kewajiban ini dinilai tidak mendesak. Artinya, harus menunggu waktu yang telah ditentukan dan kemampuan memenuhi seluruh kebutuhan ketika melaksanakan ibadah haji serta nafkah untuk keluarga yang ditinggalkan, (Lihat al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, [Beirut: Muassasah al-Risalah, 2006], Jilid V, hal. 215).
Dalam melaksanakan ibadah haji, seorang Muslim tidak pernah lepas dari tujuan untuk mendapatkan keutamaannya. Di antara sekian banyak keutamaan haji adalah balasan surga. Imam al-Bukhari meriwayatkan balasan haji mabrur dari sahabat Abu Hurairah. Nabi bersabda:
العُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا وَالْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ لَيْسَ لَهُ جَزَآءٌ إلَّا الْجَنَّةُ
Artinya: “(Satu) umrah ke umrah (berikutnya) adalah pelebur dosa di antara keduanya. Dan haji mabrur hanya mendapatkan balasan surga,” (Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahihul Bukhari, [Beirut: Dar Ibnu Katsir, 2002], hal. 427).
Jaminan surga tersebut tidak lain karena Allah SWT telah memastikan ampunan bagi mereka yang mabrur dalam hajinya. Seseorang yang telah diampuni dosanya cenderung menjauhi dosa, menunjukkan peningkatan ibadahnya kepada Allah SWT serta menjaga hubungan baik dengan sesama manusia.
Melihat fakta tadi, tampaknya diragukan bagi mereka yang sudah berhaji melakukan perjudian atau kemungkaran lainnya.
Guna meraih kemabruran haji, Imam al-Ghazali menetapkan sekian banyak syarat. Di antara syarat-syarat tersebut adalah harta yang dibelanjakan dalam menjalankan ibadah haji harus halal dan steril dari urusan bisnis. Tujuannya, agar hati dan pikiran fokus pada dzikir, ibadah dan simbol-simbol keagungan Allah SWT.
Imam al-Ghazali menyinggung mereka yang tidak fokus ibadah dan menyembah Allah SWT ketika menjalankan ibadah haji dengan menghadirkan riwayat berikut:
إِذَا كَانَ آخِرُ الزَّمَانِ خَرَجَ النَّاسُ إِلَى الْحَجِّ أَرْبَعَةَ أَصْنَافٍ سَلَاطِيْنُهُمْ لِلنُّزْهَةِ وَأَغْنِيَاؤُهُمْ لِلتِّجَارَةِ وَفُقَرَاؤُهُمْ لِلْمَسْأَلَةِ وَقُرَّاؤُهُمْ لِلسُّمْعَةِ
Artinya: “Ketika masuk pada akhir zaman, maka manusia yang keluar menjalankan ibadah haji terbagi menjadi empat macam. Antara lain: para penguasa di antara mereka (berhaji) untuk sekedar rekreasi, orang-orang kaya di antara mereka (berhaji) untuk berbisnis, orang-orang miskin di antara mereka (berhaji) untuk mencari solusi atas permasalahan mereka dan para ahli baca al-Qur’an di antara mereka (berhaji) untuk mendapatkan popularitas.”
Lebih lanjut, al-Ghazali menegaskan, bahwa pada riwayat tersebut terdapat beberapa tujuan duniawi yang berhubungan dengan haji. Masing-masing tujuan duniawi tersebut akan menghalangi seseorang mendapatkan keutamaan haji.
Tujuan seperti di atas juga mengecualikan seseorang dari level haji khusus. Apalagi ketika tujuannya murni bisnis. Seperti melaksanakan ibadah haji orang lain agar dapat bayaran. Kalau sudah seperti ini, maka yang terjadi adalah mencari dunia berkedok amal akhirat, (Al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, [Jeddah, Daar al-Minhaj Lin Nasyr Wat Tauzi’: 2011], Juz II, halaman 219).
Bagi mereka yang belum mampu memenuhi syarat kemabruran hajinya, maka jaminan surga sebagaimana diungkap pada keutamaan haji juga tidak dapat dipastikan. Karena juga belum ada kepastian pengampunan dosa. Sehingga bukan hal yang mustahil bagi mereka yang sudah berhaji namun cenderung melakukan kemungkaran, tidak menunjukkan peningkatan ibadah dan bahkan cenderung congkak dengan status hajinya.
Melihat fakta ini, tampaknya juga bukan hal yang mustahil bagi mereka yang sudah berhaji, masih berkutat dalam perbuatan maksiat, sebut saja terjebak dalam lingkaran judi atau korupsi.
Muhammad bin Abdullah al-Jurdani menguraikan tingkatan ibadah seorang muslim. Ada yang menjalankan ibadah sekadar memenuhi syarat dan rukun untuk menggugurkan kewajiban. Ada pula yang mampu larut dalam mukasyafah, seolah melihat Allah SWT. Tingkatan lainnya adalah beribadah dengan kesadaran penuh bahwa Allah senantiasa mengawasi (Muhammad bin Abdullah al-Jurdani, al-Jawahirul Lu’luiyah Fi Syarhil Arbain An-Nawawiyah, [Cairo: Darul Fadhilah, 2012], hal. 49).
Dari pemaparan di atas, seorang Muslim yang telah melaksanakan haji, sebenarnya ia berlatih memosisikan diri sebagai obyek yang diawasi oleh Allah SWT yang maha mengetahui segalanya.
Ketika terbiasa diawasi oleh Allah SWT ketika berhaji, maka harapannya merasa diawasi juga ketika di selesai melaksanakan ibadah haji. Pada akhirnya, ibadah haji dapat mengubah seseorang menjadi lebih baik dari hari ke hari.
Poin pentingnya adalah status haji tidak pernah menjamin seseorang menjadi Muslim yang taat atau meninggalkan kemungkaran secara permanen. Semuanya tergantung pada kehalalan bekal, kesempurnaan rangkaian ibadah haji serta keikhlasan hati dalam menerima Allah SWT sebagai pengawas dirinya. Wallahu a’lam.
[Sumber dikutip dari halaman hikmah NU Online]
Editor: Dede Bustomi