Tutup
Religi

Hukum Mencium Kaki Guru: antara Adab, Kultus, dan Eksploitasi Agama di Serial Bidaah

6688
×

Hukum Mencium Kaki Guru: antara Adab, Kultus, dan Eksploitasi Agama di Serial Bidaah

Sebarkan artikel ini
Hukum Mencium Kaki Guru: antara Adab, Kultus, dan Eksploitasi Agama di Serial Bidaah
Ilustrasi. Foto Gogel

Oleh : Ustadz Sunnatullah (Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur, dan Awardee Beasiswa non-Degree Kemenag-LPDP Program Karya Turots Ilmiah di Maroko).

Kabarnusa24.com | Akhir-akhir ini, media sosial dan berbagai platform digital tengah diramaikan dengan perbincangan soal salah satu serial film asal Malaysia berjudul Bidaah. Serial ini mengangkat kisah kontroversial tentang sebuah sekte sesat fiktif bernama Jihad Ummah, yang dipimpin oleh tokoh karismatik bernama Walid Muhammad (Faizal Hussein).

Jalan ceritanya menyoroti praktik-praktik keagamaan menyimpang yang dibalut dengan pengaruh spiritual berlebihan, sehingga memunculkan kritik dan kekhawatiran dari banyak pihak.

Jihad Ummah sendiri dalam serial tersebut digambarkan sebagai sebuah sekte fiktif yang mencerminkan realitas kelompok-kelompok keagamaan ekstrem yang sering kali mengaburkan batas antara ketaatan dan kesesatan.

Melalui figur Walid sebagai pemimpin spiritual, film ini menunjukkan bagaimana manipulasi doktrin agama dilakukan secara halus tapi sistematis, hingga pengikutnya rela melakukan hal-hal yang secara nalar umum terasa berlebihan, bahkan bertentangan dengan nilai-nilai moral dasar.

Salah satu adegan dalam serial tersebut yang menuai sorotan tajam adalah ketika para pengikut mencium kaki Walid sebagai bentuk penghormatan. Mereka meyakini bahwa air bekas rendaman kaki sang pemimpin dapat membawa keberkahan, karena dianggap berasal dari guru spiritual mereka.

Namun yang menjadi catatan adalah bagaimana film ini secara halus memperlihatkan bahwa tindakan mencium kaki tersebut tampak seperti dorongan atau restu dari sang guru sendiri (Walid). Walaupun adegan itu dibingkai dalam konteks spiritualitas dan penghormatan, bagi sebagian besar penonton, tindakan semacam itu justru menimbulkan rasa tidak nyaman.

Lantas, bagaimana sebenarnya hukum mencium kaki guru? Apakah ia termasuk perbuatan yang dibenarkan dalam syariat, atau justru menyerempet pada sikap berlebihan yang perlu dihindari? Mari kita bahas satu persatu.

Ada baiknya jika penulis mengajak pembaca untuk terlebih dahulu memahami bagaimana hukum mencium kaki guru secara umum dalam pandangan Islam. Setelah gambaran dasarnya jelas, barulah kita telusuri lebih dalam bagaimana praktik tersebut ditampilkan dalam film yang tengah menjadi perbincangan hangat tersebut.

Hukum Asal Cium Kaki Guru

Imam Ibnu Hajar Al-Haitami (wafat 974 H) pernah ditanya perihal hukum berbagai bentuk penghormatan yang lazim dilakukan dalam interaksi sosial, seperti berjabat tangan, mencium tangan, kaki, atau kepala, serta membungkukkan badan dan berdiri untuk menghormati seseorang.

Kemudian beliau menjawab bahwa berjabat tangan dengan orang yang baru datang hukumnya sunnah. Begitu juga mencium tangan, kaki, atau kepala juga diperbolehkan, bahkan hukumnya juga sunnah kepada orang yang memiliki keutamaan seperti orang alim, orang saleh, atau seseorang yang memiliki kemuliaan nasab.

Sedangkan membungkukkan badan dengan merendahkan punggung hukumnya makruh. Adapun berdiri untuk menyambut atau menghormati orang yang mulia seperti yang telah disebutkan, hukumnya sunnah. Pendapat ini sebagaimana beliau catat dalam kitab kumpulan fatwanya:

وَسُئِلَ: ما حُكْمُ الْمُصَافَحَةِ وَتَقْبِيلِ الْيَدِ وَالرِّجْلِ وَالرَّأْسِ وَالِانْحِنَاءِ بِالظَّهْرِ وَالْقِيَامِ؟ اُبْسُطُوا الْجَوَابَ. فَأَجَابَ بِقَوْلِهِ: الْمُصَافَحَةُ لِلْقَادِمِ سُنَّةٌ وَكَذَا تَقْبِيلُ ما ذُكِرَ من نَحْوِ عَالِمٍ وَصَالِحٍ وَشَرِيفِ نَسَبٍ وَالِانْحِنَاءُ بِالظَّهْرِ مَكْرُوهٌ وَالْقِيَامُ لِمَنْ ذُكِرَ سُنَّةٌ هذا مَذْهَبُنَا

Artinya, “(Ibnu Hajar Al-Haitami) pernah ditanya: ‘Apa hukum berjabat tangan, mencium tangan, kaki, kepala, membungkukkan badan, dan berdiri (untuk menghormati seseorang)? Mohon jelaskan jawabannya secara terperinci.

Kemudian ia menjawab: ‘Berjabat tangan dengan orang yang datang hukumnya sunnah. Demikian pula mencium tangan, kaki, atau kepala, apabila itu ditujukan kepada seorang alim, orang saleh, atau seseorang yang memiliki kemuliaan nasab.

Adapun membungkukkan badan dengan merendahkan punggung, hukumnya makruh. Sedangkan berdiri untuk menghormati orang-orang yang disebutkan tadi, hukumnya sunnah. Inilah pendapat dalam mazhab kami (mazhab Syafi’i).” (Fatawal Fiqhiyyah Al-Kubra, [Beirut, Darul Fikr: t.t], jilid IV, halaman 247).

Menurut Ibnu Hajar, itulah pendapat yang dianut dalam mazhab Syafi’i perihal bentuk-bentuk penghormatan lahiriah, seperti berjabat tangan, mencium tangan, kaki, atau kepala orang alim, saleh, dan yang memiliki kemuliaan nasab, serta berdiri untuk menghormati mereka. Semua praktik tersebut berhukum sunnah apabila dilakukan dalam konteks yang pantas dan benar perspektif syariat Islam.

Pendapat yang hampir sama juga disampaikan oleh Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali. Ia menjelaskan bahwa mencium tangan dan membungkuk dalam pelayanan (khidmah) pada dasarnya termasuk perbuatan yang tidak dibenarkan, bahkan tergolong maksiat, kecuali dilakukan dalam kondisi tertentu, seperti karena rasa takut, atau ditujukan kepada pemimpin yang adil, seorang alim, atau orang yang memang pantas dihormati karena urusan agama. Dalam kitabnya ia mengatakan:

فَأَمَّا تَقْبِيْلُ الْيَدِ وَ الْاِنْحِنَاءِ فِي الْخِدْمَةِ فَهُوَ مَعْصِيَةٌ إِلاَّ عِنْدَ الْخَوْفِ أَوْ لِإِمَامٍ عَادِلٍ أَوْ لِعَالِمٍ أَوْ لِمَنْ يَسْتَحِقُّ ذَلِكَ بِأَمْرٍ دِيْنِيٍّ

Artinya, “Adapun mencium tangan dan membungkuk dalam bentuk pelayanan, maka termasuk perbuatan maksiat, kecuali karena rasa takut, atau kepada seorang pemimpin yang adil, atau kepada seorang alim, atau kepada orang yang memang pantas menerima penghormatan tersebut karena urusan agama.” (Ihya Ulumiddin, [Beirut, Darul Ma’rifah: t.t], jilid II, halaman 143).

Lantas, siapa saja orang-orang yang berhak untuk mendapatkan penghormatan dan perlakuan seperti itu, seperti dicium tangannya, kaki, berdiri ketika ia datang dan lainnya (man yastahiqqu dzalik), selain para ulama dan orang-orang saleh sebagaimana disebutkan oleh Al-Ghazali di atas?

Sayyid Murtadha Az-Zabidi mengatakan:

أَوْ مَنْ يَسْتَحِقُّ ذَلِكَ بِأَمْرٍ دِيْنِيٍّ: كَشَيْخٍ مُسِنٍّ صَالِحٍ، شَابٍ فِي الْإِسْلاَمٍ، أَوْ شَيْخِهِ فِي الْعِلْمِ وَلَوْ كَانَ شَابًّا، أَوْ وَالِدِهِ، أَوْ وَالِدَتِهِ، وَالْعَمِّ بِمَنْزِلَةِ الْأَبِ

Artinya, “Atau orang yang berhak atas hal itu karena urusan agama”, yaitu seperti seorang syekh (orang tua) yang sudah lanjut usia dan saleh, seorang pemuda dalam Islam, gurunya dalam ilmu walaupun masih muda, atau ayahnya, atau ibunya, dan paman (dari jalur ayah) yang kedudukannya seperti ayah.” (Ithafus Sadatil Muttaqin, [Beirut, Muassasah Tarikh Al-‘Arabi: 1994], jilid VI, halaman 131).

Selain itu, dalam konteks yang lain dijelaskan bahwa setiap orang tidak diperbolehkan bersujud kepada manusia. Termasuk dalam hal ini adalah mencium kaki suami yang konotasinya juga sama dengan bersujud. Islam sangat melarangnya, bahkan seorang istri yang memiliki kewajiban penuh untuk taat kepada suami tidak diperkenankan melakukan perbuatan tersebut.

Namun demikian, jika dilakukan atas dasar untuk menghormati, hal itu diperbolehkan. Az-Zabidi mengutip pendapat Ibnu Arabi:

وَقَالَ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَوْ أَمَرْتُ أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِاَحَدٍ لَاَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا. قَالَ ابْنُ الْعَرَبِى فِيْهِ تَعْلِيْقُ الشَّرْطِ بِالْمُحَالِ لِاَنَّ السُّجُوْدَ قِسْمَانِ سُجُوْدُ عِبَادَةٍ وَلَيْسَ اِلاَّ لَهُ وَحْدَهُ وَلاَ يَجُوْزُ لِغَيْرِهِ أَبَدًا، وَسُجُوْدُ تَعْظِيْمٍ وَذَلِكَ جَائِزٌ

Artinya, “Rasulullah bersabda: “Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain, pasti aku akan perintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya.’

Ibnu al-‘Arabi berkata: ‘Dalam hadis ini terdapat pengaitan syarat dengan sesuatu yang mustahil, karena sujud itu ada dua macam: sujud ibadah, dan itu hanya boleh untuk Allah semata, tidak boleh dilakukan kepada selain-Nya selamanya. Dan sujud penghormatan, dan itu dibolehkan.’” (Az-Zabidi, V/404).

Dengan demikian dapat dipahami, hukum asal mencium tangan guru, mencium kakinya, termasuk juga orang berilmu lainnya, orang tua, dan orang saleh sebagaimana telah dijelaskan di atas, adalah boleh bahkan dianjurkan, selama dilakukan dalam koridor penghormatan yang bersumber dari nilai-nilai agama dan adab, sebagai bentuk penghormatan kepada pemilik ilmu, kebaikan, dan kemuliaan.

Eksploitasi Agama

Namun sayangnya, dalam kenyataan saat ini, makna luhur dari praktik penghormatan ini sering kali bergeser. Tidak sedikit yang menjadikannya sebagai alat eksploitasi simbolik atas nama agama.

Terkadang seorang tokoh merasa bangga diperlakukan berlebihan hingga seolah mengharuskan murid-murid atau pengikutnya mencium kakinya sebagai bentuk pembaktian mutlak. Bahkan ada yang menjadikannya sebagai tolok ukur loyalitas, hingga terjebak dalam semangat kultus individu yang justru bertentangan dengan prinsip tawadhu dan kesederhanaan yang diajarkan Islam.

Berkaitan dengan hal ini, Jamal Sanad As-Suwaidi, salah satu pemikir kontemporer berpaham Ahlussunnah wal Jamaah asal UEA, dalam salah satu bukunya mengutip quote populer perihal eksploitasi atas nama agama:

إِذَا أَرَدْتَ أَنْ تَتَحَكَّمَ فِي جَاهِلٍ فَعَلَيْكَ أَنْ تُغَلِّفَ كُلَّ بَاطِلٍ بِغِلاَفٍ دِيْنِيٍّ

Artinya, “Jika engkau ingin menguasai orang bodoh, bungkuslah setiap kebatilan dengan bungkus agama.” (As-Sarab, [UEA, Maktab al-Kitab, cetakan pertama: 2015], halaman 20).

As-Suwaidi mengkritik cara sebagian orang atau kelompok memanipulasi simbol-simbol agama demi meraih kekuasaan, memperkuat dominasi, atau bahkan menipu masyarakat awam. Ia menyebut, bila seseorang ingin mengendalikan orang bodoh, maka yang paling efektif adalah membungkus kebatilan dengan balutan yang tampak suci, yaitu agama.

Salah satu contoh paling tragis dari penyalahgunaan simbol agama ini dapat kita saksikan dalam film Bidaah yang baru-baru ini tayang di Malaysia.

Dalam film, seorang tokoh yang dipanggil Walid menggunakan kedok keulamaan dan simbol-simbol agama untuk menundukkan pengikutnya. Ia tidak hanya menjadikan cium kaki sebagai simbol kepatuhan mutlak, tetapi juga menciptakan istilah “nikah batin” sebagai dalih untuk melakukan perbuatan amoral yang dibungkus janji spiritual, bahkan mengklaim bahwa Rasulullah akan datang dalam prosesi tersebut. Semua ini dilakukan atas nama agama, kepada pengikut yang awam dan patuh.

Ini menunjukkan betapa bahayanya ketika kebatilan dibungkus dalam pakaian suci bernama agama. Ketika simbol-simbol keimanan dijadikan selubung untuk menutupi kesesatan, maka agama tidak lagi berfungsi sebagai petunjuk yang membimbing manusia menuju kebenaran, melainkan menjelma sebagai alat kendali yang memperdaya dan menyesatkan.

Akibatnya, manusia tidak hanya terjebak dalam kepatuhan palsu, tetapi juga menjauh dari hakikat ajaran Islam yang sesungguhnya. Agama menjadi panggung sandiwara, di mana suara kebenaran ditenggelamkan oleh kepentingan segelintir orang yang ingin memuaskan nafsunya, dan umat pun dibiarkan hidup dalam ilusi kesalehan yang penuh rekayasa.

Kejahatan Besar Memanfaatkan Agama

Memanfaatkan agama untuk kepentingan pribadi, khususnya dalam hal kebutuhan biologis seperti syahwat, adalah bentuk pengkhianatan terhadap nilai-nilai suci yang dibawa agama. Ketika seseorang menjadikan simbol keagamaan sebagai alat legitimasi untuk menutupi syahwat pribadinya, maka ia tidak hanya mencederai kesucian agama, tapi juga merusak kepercayaan umat yang polos dan tulus dalam beragama.

Agama yang seharusnya menjadi petunjuk jalan menuju kemuliaan dan akhlak mulia, justru dijadikan kendaraan untuk menjustifikasi hasrat yang rendah. Ini adalah bentuk manipulasi spiritual yang paling keji, karena mempermainkan rasa hormat dan iman orang lain untuk kepuasan diri sendiri. Perilaku semacam ini tergolong kejahatan besar, tidak hanya secara moral, tetapi juga secara sosial dan teologis.

Berkaitan hal ini, Imam Al-Ghazali sudah mewanti-wanti adanya orang-orang yang berpenampilan seolah-olah religius, mengenakan pakaian ala sufi, menunjukkan sikap tawadhu dan wajah penuh khusyuk, serta melontarkan kata-kata hikmah dan nasihat yang terdengar menyentuh.

Namun sayangnya, semua itu tidak mencerminkan isi hati yang bersih, melainkan tipu daya yang tujuan utama mereka hanyalah agar disenangi oleh wanita, untuk kemudian melakukan kemaksiatan bersama mereka. Imam Al-Ghazali mengatakan:

وَقَدْ يَظْهَرُ بَعْضُهُمْ زِيَّ التَّصَوُّفِ وَهَيْئَةَ الْخُشُوْعِ وَكَلَامَ الْحِكْمَةِ عَلىَ سَبِيْلِ الْوَعْظِ وَالتَّذْكِيْرِ، وَإِنَّمَا قَصْدُهُ التَّحَبُّبُ إِلىَ امْرَأَةٍ أَوْ غُلاَمٍ لِأَجْلِ الْفُجُوْرِ. وَقَدْ يَحْظُرُوْنَ مَجَالِسَ الْعِلْمِ وَالتَّذْكِيْرِ وَحَلَقَ الْقُرْآنِ يُظْهِرُوْنَ الرُّغْبَةَ فِي سِمَاعِ الْعِلْمِ وَالْقُرْآنِ وَغَرْضُهُمْ مُلَاحَظَةُ النِّسَاءِ

Artinya, “Terkadang sebagian orang menampakkan diri dengan mengenakan pakaian tasawuf dan bersikap seolah khusyuk. Mereka mengucapkan kata-kata hikmah dengan gaya memberi nasihat dan mengingatkan, namun maksud sebenarnya hanyalah untuk menarik hati seorang wanita atau seorang pemuda demi melakukan perbuatan maksiat.

Mereka bahkan hadir di majelis-majelis ilmu, pengajian, dan halaqah Al-Qur’an, menampakkan keinginan untuk mendengar ilmu dan bacaan Al-Qur’an, padahal tujuan mereka hanyalah untuk memperhatikan para wanita.” (Al-Ghazali, III/304).

Sebab itu, perempuan perlu memiliki kewaspadaan ekstra dalam menjalin interaksi, termasuk dengan sosok yang secara lahiriah tampak agamis. Sebab, tidak semua yang berpenampilan saleh memiliki hati yang benar-benar bersih dari niat jelek.

Ada sebagian orang yang menyembunyikan kehendak biologis yang menyimpang di balik simbol-simbol keagamaan. Menggunakan wibawa dan citra religius untuk mendapatkan kepercayaan, lalu menyalahgunakannya demi hasrat pribadi, salah satunya sebagaimana viral dalam film serial Bidaah itu.

Semua ini tidak hanya sekadar persoalan akhlak, tetapi juga kejahatan yang merusak citra agama dan melukai korban secara lahir dan batin. Perempuan harus berani mengedepankan akal sehat, menjaga batas interaksi, dan tidak mudah silau pada tampilan luar tanpa mengenali siapa sosok tersebut secara utuh.

Walhasil, mencium kaki guru, orang berilmu, atau orang saleh pada dasarnya diperbolehkan dalam Islam, bahkan hukumnya sunnah bila dimaksudkan sebagai bentuk penghormatan. Namun sayangnya, hukum ini kerap disalahgunakan oleh sebagian pihak sebagai alat untuk menciptakan citra suci yang tak tersentuh, guna mengontrol dan mengelabui masyarakat awam, meraih kekuasaan, dan pemuasan nafsu semata. Wallahu a’lam bisshawab.

[Sumber: Dikutip dari Halaman Syariah NU Online]

Editor: Dede Bustomi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *