Oleh: Ustadzah Shofiyatul Ummah (PP. Nurud-Dhalam Sumenep)
Kabarnusa24.com,-
Assalamu’alaikum, Ustadzah. Mohon izin bertanya. Saya mau konsultasi soal masalah hukum talak. Suami saya pernah berkata, “Kalau kamu makan telur, kita cerai.” Kalau saya ternyata makan telur diam-diam, tanpa dia tahu, apakah itu sudah termasuk jatuh talak, Ustadzah? Mohon penjelasannya.
Jawaban
Wa’alaikum salam wr wb. Penanya yang dirahmati Allah, talak merupakan sesuatu yang tidak pernah diinginkan oleh siapapun termasuk oleh syariat. Karenanya talak menjadi salah satu hal yang boleh dilakukan (perkara mubah), namun sangat dibenci oleh Allah.
Tidak Bermain-main dengan Talak
Secara karakter, talak termasuk dari tiga hal yang tidak bisa dipermainkan sebagaimana hadits Nabi saw yang berbunyi:
ثلاث جدهن جد وهزلهن جد النكاح والطلاق والرجعة رواه ابو داود
Artinya, “Ada tiga hal yang sungguhannya sungguhan dan bercandanya sungguhan yakni nikah, talak, dan rujuk.” (HR Abu Dawud).
Karena itu kata ‘talak’ atau ‘cerai’ termasuk ucapan yang tidak boleh sembarang diucapkan dan dipermainkan, termasuk dengan cara menggantungkan talak pada sesuatu.
Talak tidak hanya bisa jatuh dengan diucapkan seketika, tapi juga bisa jatuh dengan cara digantungkan pada suatu hal lain, baik berupa sifat ataupun syarat. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Imam Taqiyuddin Al-Hishni:
ويصح تعليقه بالصفة والشرط) كما يصح تنجيز الطلاق كذالك يصح تعليقه
Artinya, “(Dan sah menggantungkan talak dengan sifat dan syarat) sebagaimana sah menyelesaikan talak, sah juga menggantungkannya”. (Kifayah Al-Akhyar, [Al-Haramain], juz II, halaman 92).
Itu artinya mengucapkan kata ‘talak’ secara langsung atau dengan cara menggantungkannya memiliki konsekwensi hukum yang serupa yakni lepasnya ikatan pernikahan.
Talak yang Dianggap Jatuh
Dalam hal talak yang digantungkan, talak tersebut akan benar-benar terjadi jika syarat, atau sifat yang dikaitkan dengan talak tersebut telah terpenuhi.
يعلم أن الطلاق إذا علق على شرط لم يجز الرُّجُوع فِي التَّعْلِيق وَسَوَاء علقه بِشَرْطَ مَعْلُومِ الْحُصُول أو محتمله لا يقع الطلاق إِلَّا بِوُجُود الشَّرْطَ وَلَا يحرم الْوَطْء قبل وجود الشرط
Artinya, “Diketahui bahwa sebuah talak jika digantungkan pada suatu syarat maka tidak boleh untuk meralat kembali syarat tersebut, baik ia gantugkan dengan syarat yang diketahui terjadinya, atau syarat yang hanya mungkin diketahui. Status talak tidak terjadi kecuali dengan terpenuhinya syarat dan hukum bersetubuh belum haram selama syaratnya belum terwujud”. (Al-Hishni,II/396).
Ada tiga hal penting yang perlu digarisbawahi dari argumen di atas:
- Suami yang telah menggantungkan talak tidak bisa menarik kembali ucapannya sebelum syarat yang diberikan terpenuhi.
- Istri yang telah memenuhi syarat talak sebagaimana yang telah diucapkan suami maka hukum talaknya dianggap jatuh.
- Saat talak jatuh maka hubungan suami istri dianggap selesai dan haram melakukan hubungan badan.
Hal ini senada dengan penjelasan Syekh Izzuddin bin Abdissalam:
إذا قال : إن أكلت رمانة فأنتِ طالق، وإن أكلت نصف رمانة فأنت طالق، فأكلت رمانة، طلقت طلقتين
Artinya, “Jika seorang pria berkata: ‘Jika kamu makan satu delima maka kamu tertalak, dan jika kamu makan separuhnya maka kamu juga wanita yang tertalak, kemudian wanita itu makan satu buah delima, maka wanita tersebut tertalak sebanyak dua kali”. (Al-Ghayah fi Ikhtisharin Nihayah, [Darul Fikr], juz V, halaman 463).
Itu artinya jatuhnya talak akan menyesuaikan terhadap syarat yang diberikan atas talak itu sendiri.
Lupa Melakukan Syarat Talak
Berkaitan dengan orang yang lupa saat melakukan syarat talak atau sesuatu yang dijadikan syarat dalam talak, ulama membaginya dalam dua hukum:
- Talak tetap jatuh jika istri yang digantungkan talaknya tidak merasa atas syarat yang ditetapkan dan suami tidak ada niatan untuk memberi tahunya.
- Saat isri tahu tentang syarat talak yang digantungkan untuknya, ia termasuk orang yang perduli atas syarat tersebut, dan orang yang menggantungkan talak bertujuan mencegahnya dari melakukan hal tersebut, lalu ia lupa atau terpaksa melakukan syarat talak yang diberikan suami, dalam kasus ini ulama memiliki dua pandangan: pertama, talaknya tetap jatuh karena syaratnya terpenuhi, dan kedua, talaknya tidak jatuh karena ia melakukan syaratnya dalam kondisi lupa atau terpaksa. (An-Nawawi, Raudatut Thalibin, [Darul Fikr], juz IV, halaman 231).
Berdasarkan kerangka berpikir di atas, kasus penggantungan talak sebagaimana yang ditanyakan oleh penanya sudah dianggap terjadi karena syarat yang diberikan oleh suami telah terpenuhi, terlebih sang istri melakukannya dengan penuh kesadaran.
Menggantungkan Talak dalam KHI
Dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) sebagai salah satu rujukan hukum keluarga Islam Indonesia, taklik talak (t’aliq thalaq) biasanya dilakukan dalam perjanjian pernikahan yang disepakati oleh kedua pasangan, yaitu untuk menstatuskan jatuh atau tidaknya talak bukan hanya dengan terpenuhinya syarat talak, namun talak akan dianggap benar-benar jatuh dengan ketentuan istri mengajukan persoalannya ke pengadilan agama. (Kompilasi Hukum Islam, Pasal 45 ayat 2).
Itu artinya dalam hukum negara talak bisa jatuh dzahiran wa bathinan (secara defacto dan dejure), jika syarat talak telah terpenuhi, sekaligus istri telah mengajukan perkaranya pada pengadilan agama. Wallahu a’lam bis shawab.
Sumber: Halaman Artikel Syariah NU Online