Kabarnusa24.com | Aceh – Mendagri dalam putusan Nomor 300.2.2-2138/2025, 4 pulau yang sebelumnya milik Aceh telah dinyatakan pindah rumah beralihlah status menjadi wilayah Sumatera Utara.
Tito Karnavian dalam Musrenbang dan RKPD 2026, Lombok Raya.
Kita mengketahui, empat pulau tersebut kini menjadi kisruh ricuh karena disebut berada di wilayah Sumut. Padahal keempat pulau tersebut awalnya merupakan bagian dari wilayah Aceh.
Empat pulau yang kini masuk wilayah Sumut. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) ternyata mendukung klaim Bobby Nasution lewat Keputusan Mendagri, yang terbit pada 25 April 2025.
Proses perubahan status keempat pulau tersebut telah berlangsung sebelum 2022, jauh sebelum Gubernur Muzakir Manaf dan Wakil Gubernur Fadhlullah menjabat. Pada 2022, beberapa kali telah difasilitasi rapat koordinasi dan survei lapangan oleh Kementerian Dalam Negeri,” kata Kepala Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah Sekretariat Daerah Aceh.
Pihak Pemprov Aceh kini pun tidak menerima keputusan tersebut. Tinjau ulang keputusan Mendagri tuntut kembalikan milik Aceh. Pihak Pemprov Aceh masih berjuang agar keempat pulau kembali masuk wilayah administratif Aceh.
Hilangnya perhatian pusat terhadap Aceh melalui SK Kemendagri atas peralihan empat pulau di Aceh menjadi milik Sumut melahirkan polemik dan keberatan runtun berbagai elemen rakyat di Aceh.
Tanah ini adalah Pulau Lipan, Pulau Panjang, Mangkir Gedek, Ketek.
Negeri yang diperjuangkan dahulu tak dapat diambil begitu saja ini adalah catatan historis menghargai dan mengakui sejarah Aceh telah hidup dalam kobar api pasca kemerdekaan. Mengalami ribuan tangis, darah untuk memperjuangkan kehidupan rakyatnya.
Kebijakan ini terkesan sepihak Pemerintah Daerah Aceh terkesan tidak peduli atas terampasnya tanah empat pulau Aceh menjadi wilayah Sumut. Apakah
Saat ini Pemimpin kita telah kehilangan taringnya untuk merebut kembali tanah moyang itu.
Menuntut Pemerintah Pusat untuk mengembalikan 4 pulau dalam garis wilayah Aceh, tuntutan balik nya penetapan batas wilayah Provinsi Aceh berdasarkan peta 1 Juli 1956 sebagaimana diatur dalam poin 1.1.4 MoU Helsinki.
Mengenai perbatasan itu, ada di Pasal 1.1.4, bab 1, ayat 1, titik 4, yang berbunyi perbatasan Aceh, tersebutkan pada perbatasan 1 Juli tahun 1956. Jadi, pembicaraan atau kesepakatan Helsinki merujuk pada batas wilayah Aceh sebagaimana telah ada dalam kesepakatan.
Kemudian merujuk pada Undang-undang Nomor 24 Tahun 1956 mengenai pembentukan daerah otonom Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatra Utara yang diteken oleh Presiden RI saat itu, Sukarno.
Kemudian Pemda terkait menawarkan ajakan pengelolaan bersama.
Bukan tentang kerja sama tapi fakta atas letih perjuangan tempo lalu dan katakan bahwa tanah Aceh hidup diatas rakyatnya yang berjuang.
Keserakahan dan kerakusan akhirnya akan tenggelam tak akan bertahan lama.