Kabarnusa24.com | Lhokseumawe – Upaya penegakan hukum terhadap kerusakan lingkungan hidup di Indonesia kini menemukan momentum penting melalui mekanisme gugatan class action atau gugatan perwakilan kelompok. Mekanisme ini menjadi salah satu sorotan utama dalam penelitian kelompok mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh yang menelaah secara mendalam penerapan class action dalam perkara lingkungan hidup.
Dalam makalah berjudul “Penerapan Gugatan Class Action dalam Perkara Lingkungan Hidup” dalam mata kuliah hukum lingkungan dengan dosen pengampu Bapak Hasan Basri S.H.,M.H, para mahasiswa menegaskan bahwa class action merupakan solusi hukum kolektif yang efektif bagi masyarakat yang terdampak oleh pencemaran atau perusakan lingkungan.
“Class action memungkinkan masyarakat yang mengalami kerugian secara massal untuk bersatu dalam satu gugatan, tanpa harus mengajukan perkara secara individual. Ini bukan hanya soal efisiensi, tapi juga soal keadilan,” ujar Okka Aditya, salah satu anggota tim penulis.
Dalam kajian tersebut, para penulis menyebutkan sejumlah kasus penting yang menunjukkan urgensi mekanisme ini, seperti pencemaran Sungai Citarum dan tragedi Lumpur Lapindo di Sidoarjo. Di kedua kasus itu, ribuan masyarakat terdampak mengalami kesulitan untuk mendapatkan keadilan karena keterbatasan akses hukum dan pembuktian yang kompleks.
“Kami menemukan bahwa, meskipun Indonesia telah memiliki dasar hukum yang cukup kuat melalui UU Nomor 32 Tahun 2009 dan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2002, praktik di lapangan masih belum ideal,” tambah Zulfi Arianda, rekan satu tim.
Menurut penelitian tersebut, kendala utama dalam penerapan class action antara lain adalah kesulitan dalam pembuktian ilmiah yang memerlukan data teknis seperti uji laboratorium, citra satelit, atau data kualitas air dan udara. Tak hanya itu, masyarakat juga masih banyak yang belum memahami hak-haknya untuk melakukan gugatan kelompok, terutama di wilayah-wilayah terpencil.
“Persoalan dana juga menjadi hambatan. Biaya litigasi tinggi, dan tidak semua masyarakat mampu menanggungnya. Belum lagi adanya ancaman atau tekanan dari pelaku pencemaran terhadap warga atau aktivis yang ingin menggugat,” ujar Rahmat Nanda Pratama, yang turut menjadi penyusun makalah.
Sebagai solusi, tim peneliti menyarankan adanya dukungan konkret dari pemerintah dalam bentuk bantuan hukum gratis, pembentukan dana litigasi publik, serta pelatihan hukum lingkungan bagi masyarakat. Peran LSM seperti WALHI dan lembaga bantuan hukum juga dinilai krusial dalam mendampingi masyarakat dalam proses hukum yang panjang dan kompleks.
Selain itu, para akademisi dan institusi pendidikan diharapkan dapat menyediakan dukungan ilmiah dalam proses pembuktian, seperti menyediakan data lingkungan dan menghadirkan saksi ahli dari kalangan ilmuwan. “Kolaborasi lintas sektor adalah kunci,” tegas Safira, salah satu penulis lainnya.
Mereka juga mengusulkan agar PERMA No. 1 Tahun 2002 dievaluasi kembali agar lebih responsif terhadap kondisi sosial dan ekologis saat ini, mengingat tantangan lingkungan yang semakin kompleks dari waktu ke waktu.
Penelitian ini diharapkan mampu menjadi dorongan bagi para pembuat kebijakan, penegak hukum, dan masyarakat luas untuk lebih aktif dalam memperjuangkan keadilan ekologis. Sebab, sebagaimana termaktub dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, setiap warga negara berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Artikel ini menjadi salah satu bentuk kontribusi akademik mahasiswa hukum Universitas Malikussaleh dalam mendorong perlindungan lingkungan hidup melalui jalur hukum yang inklusif dan berkeadilan. Dengan semakin kuatnya kesadaran hukum di kalangan masyarakat, mekanisme class action diharapkan tidak hanya menjadi wacana hukum, tetapi benar-benar menjadi alat perjuangan masyarakat untuk lingkungan yang lebih baik.