Foto: (Istimewa)
JAKARTA || KABARNUSA24.COM – Isu yang berkembang terkait usulan revisi undang-undang nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia masyarakat diharapkan tetap apresiasi atas kinerna TNI untuk tanah air.
Melansir pemberitaan KOMPAS.ID oleh kabarnusa24.com pada (22/05/2023) dengan judul Moeldoko: Usulan Revisi UU TNI Tak Akan Kembalikan Dwifungsi ABRI.
Dalam keterangan Persnya Moeldoko menyampaikan. Masyarakat dihimbau agar tidak khawatir terkait usulan revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Hal ini terutama karena profesionalitas TNI sudah terbukti. Tindakan kekerasan eksesif seperti yang pernah terjadi di masa lampau, sudah tidak mungkin terjadi lagi karena kontrol publik terhadap institusi TNI kini sangat kuat.
”Enggak usah berlebihanlah atas ketakutan itu karena tentara sekarang berbeda. Tentara sekarang itu betul-betul profesional, yang menginginkan profesional itu justru prajurit. Kalau dulu mungkin definisi profesional itu bias. Sekarang enggak bias, clear ada dalam Undang-undang,” ujar Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko kepada wartawan ketika meluncurkan program Sekolah Staf Presiden Angkatan II di Museum Kebangkitan Nasional Jakarta, Senin (22/5/2023).
Usulan Revisi UU TNI juga dipastikan tidak akan mencederai reformasi. ”Jadi, menurut saya teman-teman enggak perlu banyak khawatir karena lingkup profesionalitas terdefinisikan dengan bagus, dengan pas, dengan baik. Yang kedua, tindakan-tindakan eksesif seperti yang lalu tidak mungkin terjadi karena kontrol publik terhadap institusi itu sangat kuat,” tambah Moeldoko.
Menurut Moeldoko, revisi UU TNI tersebut juga tidak akan memunculkan kembali Dwifungsi ABRI yang telah dihapuskan sejak masa reformasi. ”Oh enggak, enggak, enggak mungkinlah kita kembali kepada dwifungsi lagi seperti yang lalu, enggak, enggak mungkin,” kata Moeldoko.
”Jadi, menurut saya teman-teman nggak perlu banyak khawatir karena lingkup profesionalitas terdefinisikan dengan bagus, dengan pas, dengan baik. Yang kedua, tindakan-tindakan eksesif seperti yang lalu tidak mungkin terjadi karena kontrol publik terhadap institusi itu sangat kuat.
”Maka diproses ini, diajukan kepada korem, diajukan kepada kodam, diajukan kepada mabes. Ada permintaan. Tanpa permintaan, kita tidak bisa naruh anggota kita di mana-mana. Tidak bisa. Harus ada permintaan. Tetapi, memang suatu ketika permintaan ini direkayasa, itu yang salah. Itu yang salah. ”
Dia memisalkan ketika aspirasi masyarakat di suatu kabupaten adalah menginginkan bupatinya seorang militer. ”Maka diproses ini, diajukan kepada korem, diajukan kepada kodam, diajukan kepada mabes. Ada permintaan. Tanpa permintaan, kita tidak bisa naruh anggota kita di mana-mana. Tidak bisa. Harus ada permintaan. Tetapi memang suatu ketika permintaan ini direkayasa, itu yang salah. Itu yang salah,” ujar Agum.
Menurut Agum, hal seperti itu tidak perlu diundang-undangkan. ”Oh jangan, enggak perlu lagi. Sudah jelas. Kalau memang ada permintaan, ya, itu pun berpulang dari TNI-nya. Bisa enggak memenuhi permintaan itu? Kalau tidak ada permintaan, jangan coba-coba beri atau TNI mengirim orang ke sana ke mari. Itu salah itu. Itu yang dicaci maki oleh rakyat waktu itu, seolah-olah itulah dwifungsi. Itu bukan dwifungsi,” katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Agum menuturkan, dwifungsi adalah suatu peran dari TNI dan Polri, ABRI waktu itu, bersama-sama dengan kekuatan sosial politik lainnya untuk bisa membawa bangsa ini menuju ke tujuan nasional. ”Itu dwifungsi, bukan penugaskaryaan. Penugaskaryaan itu permintaan. Tanpa permintaan tidak ada tugas karya. Gitu, ya. Jelas, ya. Jangan dipelintir ini,” ujarnya.
Begitulah kedua tokoh TNI menjabarkan tentang usulan revisi Undang-undang Revisi UU TNI yang dipastikan tidak akan mencederai reformasi.
(***)