Di Hadapan Para Dai Bekasi, Kiai Cholil Jelaskan Rambu-Rambu Hadapi Pemilu
BEKASI – KABARNUSA24.COM
Ketua Majelis Ulama Indonesia Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH M Cholil Nafis berpandangan bahwa para dai tetap boleh berbicara tentang politik tetapi syarat dan ketentuan berlaku.
Hal ini disampaikan Kiai Cholil dalam acara bertajuk “Urgensi Peran Dai Dan Dewan
Kemakmuran
Masjid Dalam Menjaga Ukhuwwah Di Tahun Politik,” yang diselenggarakan MUI Kota Bekasi, Rabu (15/10/2023).
“Dai kan boleh juga ngajak-ngajak orang untuk milih, tapi jangan sampai dai itu atas nama dai nya, pertama, menjadikan rumah ibadah jadi tempat kampanye, jangan sampai di masjid ada kampanye,” tegasnya.
Kemudian menurut Kiai Cholil justru dai harus yang paling depan dalam mengedukasi masyarakat tentang pentingnya memilih pemimpin yang adil serta sesuai kriteria.
Dai dituntut untuk mencerahkan masyarakat agar memilih pemimpin yang mampu mengakomodir kepentingan dunia dan akhirat.
Soal siapa yang memenuhi kriteria itu, tambah Kiai Cholil, dikembalikan kepada pilihan masing-masing masyarakat.
“Sampaikanlah tentang politik-politik keadaban, (misalnya) kriteria pemimpin yang baik,” ajak Kiai Cholil.
Lebih dari itu, Kiai Cholil juga berpendapat bahwa dai boleh ikut berkampanye tetapi ada beberapa hal yang mesti diperhatikan.
“Boleh dai ikut berkampanye? Silakan, keluar dari masjid jadi jurkam (juru kampanye, boleh. Tapi jangan sampai atas nama ayat Alquran kemudian melarang orang-orang secara hak konstitusi dapat menjadi calon,” paparnya.
“Yang tidak boleh adalah menghantam pihak lain atas nama agama,” tambah Kiai Cholil.
Kiai Cholil juga mengingatkan seorang dai harus tahu tempat dan situasi. Kepekaan sosial dai harus tinggi, walau boleh berkampanye tapi tetap harus mengerti kondisi.
“Bedakan antara jadi jurkam (juru kampanye) dengan dia, umpamanya, diundang untuk tahlilan. Ya orang pada jengkel lah, orang diundang untuk ceramah tahlilan kok malah kampanye,” ujarnya.
Pada akhirnya, terang Kiai Cholil, dai mesti dapat membedakan mana yang pantas dan mana yang tidak pantas.
Seorang dai sudah berbeda level dengan masyarakat awam yang misalnya cukup mengetahui halal dan haram.
Tapi seorang dai, kata Kiai Cholil harus lebih dari level itu, karena urusan halal dan haram bagi para dai itu sudah beres, dai sudah harus di level kesempurnaan akhlak.
“Ini bukan soal halal-haram, boleh dan tidak boleh, tapi ini berkaitan dengan etis dan tidak etis, soal kepantasan,” jelasnya.
Sumber: Majlis Ulama Indonesia (MUI)