Hadirnya PT. Vale Indonesia di Sulawesi Tenggara (Sultra) rupanya tidak memberikan dampak positif bagi negara. Perusahaan tambang tersebut justru merugikan keuangan negara hingga puluhan miliar pada areal Kontrak Karya Blok Pomalaa. Hal tersebut di ungkapkan oleh Ketua Front Rakyat Anti Korupsi – Sulawesi Tenggara (FRAKSI SULTRA), Rahmat Kobenteno.
“Dugaan kerugian negara tersebut meliputi manipulatif PNBP PKH 2022 dan kegiatan PETI (Pertambangan Tanpa Izin) seluas kurang lebih 51 hektar yang hingga sekarang belum direklamasi” ungkapnya.
Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, nomor : 8/LHP/XVII/05/2023, perusahaan tambang tersebut belum menyelesaikan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Penggunaan Kawasan Hutan (PKH) dengan Nomor 238/1/KLHK/2021 seluas ±11.439,36 ha.
“Jika ada klarifikasi dari Manajemen PT. VI bahwa tahun 2022 sudah melunasi kewajiban PNBP PKH senilai Rp21,5M maka itu benar adanya. Tapi hasil pemeriksaan fisik atas ketepatan pembayaran PNBP PKH pada PT VI diketahui terdapat potensi kurang bayar PNBP-PKH yang diakibatkan oleh kegiatan PETI seluas ±51,08 ha dalam hutan produksi” jelas Rahmat.
Sikap PT VI yang abai atas kondisi kehutanan Sulawesi Tenggara sangat jelas melanggar Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, Peraturan Menteri ESDM No 7 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Reklamasi dan Pascatambang pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.84/Menhut-II/2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.56/Menhut-Ii/2008 tentang Tata Cara Penentuan Luas Areal Terganggu dan Areal Reklamasi dan Revegetasi Untuk Perhitungan Penerimaan Negara Bukan Pajak Penggunaan Kawasan Hutan dan Amandemen Kontrak Karya tanggal 17 Oktober 2014 Pasal (3)(1)(c) tentang Komitmen Investasi Sulawesi Tenggara
“Dugaan pelanggaran PT. VI tersebut akibatkan Pemerintah tidak memperoleh manfaat PNBP SDA serta royalti dari operasi produksi PT VI Blok Pomalaa, dan hilangnya fungsi hutan sehingga ini patut diperiksa oleh Gakum (Penegak Hukum)” imbuhnya.
Kerugian negara atas dugaan pelanggaran PT. VI menciderai Undang-Undang nomor 17 tahun 2003, tentang Keuangan Negara Pasal 1 tentang keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang.
“Hal ini dikuatkan dengan UU nomor 1 tahun 2004 tentang perbendaharaan negara pasal 1 ayat 24 terkait kerugian negara. Oleh karena itu kami telah mengagendakan LP di Kajati Sultra, Cq Kejagung RI” tutup Rahmat.