Tiga Penghalang Hidayah
KABARNUSA24.COM, Hidayah adalah nikmat yang besar dari Allah Ta’ala. Allah Ta’ala perintahkan kita untuk memintanya dalam setiap salat,
ٱهْدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلْمُسْتَقِيمَ
“Tunjukilah kami jalan yang lurus.” (QS. Al-Fatihah: 6)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa memohon hidayah kepada Allah Ta’ala,
اللَّهُمَّ إنِّي أَسْأَلُكَ الهُدَى، وَالتُّقَى، وَالعَفَافَ، وَالغِنَى
“Ya Allah, Aku memohon kepada-Mu hidayah, ketakwaan, kehormatan diri, dan kecukupan.” (HR. Muslim no. 2721 dan At-Tirmidzi no. 3489)
Demikian pentingnya hidayah bagi kehidupan seorang muslim, maka kehilangan hidayah merupakan kerugian yang amat besar. Di antara penghalang hidayah terdapat pada kisah wafatnya paman Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam, Abu Thalib.
Ketika Abu Thalib hendak meninggal dunia, Abu Thalib enggan mengucapkan kalimat laa ilaaha illa Allah yang dituntun oleh Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Dari Sa’id bin Musayyib, dari bapaknya, beliau menceritakan,
لَمَّا حَضَرَتْ أَبَا طَالِبٍ الْوَفَاةُ جَاءَهُ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَوَجَدَ عِنْدَهُ أَبَا جَهْلِ بْنَ هِشَامٍ، وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِي أُمَيَّةَ بْنِ الْمُغِيرَةِ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لأَبِي طَالِبٍ ” يَا عَمِّ، قُلْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ، كَلِمَةً أَشْهَدُ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ ”. فَقَالَ أَبُو جَهْلٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي أُمَيَّةَ يَا أَبَا طَالِبٍ، أَتَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَلَمْ يَزَلْ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَعْرِضُهَا عَلَيْهِ، وَيَعُودَانِ بِتِلْكَ الْمَقَالَةِ، حَتَّى قَالَ أَبُو طَالِبٍ آخِرَ مَا كَلَّمَهُمْ هُوَ عَلَى مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ، وَأَبَى أَنْ يَقُولَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ” أَمَا وَاللَّهِ لأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ، مَا لَمْ أُنْهَ عَنْكَ ”. فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى فِيهِ مَا كَانَ لِلنَّبِي الآيَةَ
“Ketika Abu Thalib mendekati wafatnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendatanginya, dan beliau mendapati Abu Jahl bin Hisyam dan Abdullah bin Abi Umayyah bin Mughirah di dekatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Abu Thalib, ‘Wahai Pamanku, ucapkanlah Laa ilaaha illa Allah, kalimat yang dapat aku persaksikan dirimu di sisi Allah.’
Maka, Abu Jahl dan Abdullah bin Abi Umayyah berkata, ‘Wahai Abu Thalib, apakah engkau membenci agama keturunan Abdul Mutthalib ?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa mengulang-ulang hal tersebut, hingga akhir kalimat Abu Thalib tetap berada di atas agama Abdul Mutthalib dan tetap enggan mengucapkan Laa ilaaha illa Allah. Lalu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda, ‘Dan demi Allah, aku akan memohonkan ampun untukmu kepada Allah selama aku tidak dilarang melakukannya.’ Maka, Allah turunkan kepada Rasulullah ayat” (HR. Bukhari no. 1360)
Ayat yang turun adalah :
” Tidak pantas bagi seorang Nabi dan bagi orang-orang yang beriman, mereka memintakan ampun bagi orang-orang yang musyrik, meskipun mereka memiliki hubungan kekerabatan, setelah jelas bagi mereka, bahwa orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahanam.” (QS. At-Taubah: 113)
Dalam kisah wafat Abu Thalib terdapat 3 penghalang hidayah Islam kepadanya.
Pertama: Bergaul dengan teman yang buruk agamanya
Dengan siapa kita berteman diatur dalam agama Islam. Karena teman dapat menyeret dan menarik seseorang untuk condong dan mengikutinya. Sebagaimana pepatah Arab mengatakan, shohib sahib, sahabat itu menyeret.
Teman yang tidak baik akan mengajak kepada yang tidak baik pula. Sebaliknya, berteman dengan orang saleh akan menularkan kebaikannya kepada kita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi bisa jadi akan memberimu minyak wangi, atau engkau membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak, engkau akan dapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu, dan kalaupun tidak, engkau akan dapatkan bau asap yang tidak sedap.” (HR. Bukhari no. 5534 dan Muslim no. 2628)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
المرءُ على دينِ خليلِه فلينظرْ أحدُكم مَن يُخاللُ
“Agama seseorang sesuai dengan agama teman dekatnya, maka perhatikanlah dengan siapa engkau berteman.” (HR. Abu Daud no. 4833, Ahmad no. 8398, dan Tirmidzi no. 2378, hadis sahih)
Abu Thalib telah mengajarkan kita bagaimana bukti nyata sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut. Abu Thalib menjadi korban atas pertemanannya bersama Abu Jahl dan Abdullah bin Abi Umayyah. Walaupun mereka orang-orang yang terpandang dan tinggi derajatnya di sisi manusia, namun mereka bukan teman yang baik dalam hal agama, sehingga pertemanan tersebut tidak mendatangkan manfaat agama.
Kedua: Taklid pada agama nenek moyang
Agama Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berdasarkan wahyu yang nyata dari Allah Ta’ala. Allah Ta’ala mencela orang yang mengikuti agama nenek moyang secara taklid buta tanpa petunjuk yang benar.
بَلْ قَالُوٓا۟ إِنَّا وَجَدْنَآ ءَابَآءَنَا عَلَىٰٓ أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَىٰٓ ءَاثَٰرِهِم مُّهْتَدُونَ
“Bahkan, mereka berkata, ‘Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka.’” (QS. Az-Zukhruf: 22)
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا۟ إِلَىٰ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ وَإِلَى ٱلرَّسُولِ قَالُوا۟ حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ ءَابَآءَنَآ ۚ أَوَلَوْ كَانَ ءَابَآؤُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ شَيْـًٔا وَلَا يَهْتَدُونَ
“Apabila dikatakan kepada mereka, ‘Mari ikuti apa yang telah diturunkan Allah dan ikuti Rasul.’ Mereka menjawab, ‘Cukup bagi kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya.’ Dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?” (QS. Al-Maidah: 104)
Adapun ketika Abu Thalib diajak untuk mengucapkan kalimat Laa ilaaha illa Allah, ia enggan disebabkan kecintaannya kepada agama Abdul Mutthalib. “Apakah engkau membenci agama Abdul Muttholib?” Demikian kalimat yang diulang Abu Jahl kepada Abu Thalib.
Walaupun Abu Thalib senantiasa menolong dan melindungi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika berdakwah, namun hal tersebut tidak menolongnya dari wafat dalam keadaan kafir. Dan taklid kepada agama nenek moyang merupakan di antara sebab seseorang melakukan dosa kesyirikan yang tidak pernah Allah ajarkan. Mengikuti sesuatu tanpa ilmu dan petunjuk yang sahih.
Ketiga: Takut dicela manusia/gengsi
Dalam riwayat lain, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajak Abu Thalib melafazkan laa ilaaha illa Allah, Abu Thalib berkata,
قالَ: لَوْلا أنْ تُعَيِّرَنِي قُرَيْشٌ، يقولونَ: إنَّما حَمَلَهُ علَى ذلكَ الجَزَعُ لأَقْرَرْتُ بها عَيْنَكَ
“Seandainya bukan karena cemooh orang Quraisy, mereka akan mengatakan ‘Sesungguhnya dia mengucapkan itu karena jiwanya takut.’ Pasti kuucapkan kalimat tersebut agar jiwamu tenang.” (HR. Muslim no. 25)
Abu Thalib memiliki kedudukan yang tinggi di tengah kaumnya. Sebagai keturunan bani Hasyim, ia merasa perlu menjaga wibawa dan marwah sukunya. Ia gengsi dan takut dicela oleh kaumnya yang telah memposisikannya sebagai orang yang tinggi kedudukannya.
Karena kegengsiannya tersebut di hadapan Abu Jahl dan Abdullah bin Abi Umayyah, Abu Thalib harus menelan kenyataan pahit meninggal dalam keadaan kafir di atas agama nenek moyangnya.
Sumber: Materi Dakwah