Tutup
Sekapur Sirih

Narasi Indah dalam Sejarah Kepemimpinan Islam

3
×

Narasi Indah dalam Sejarah Kepemimpinan Islam

Sebarkan artikel ini
Narasi Indah dalam Sejarah Kepemimpinan Islam
ilustrasi gambar sosok Assabiqunal Awwalun

Narasi Indah dalam Sejarah Kepemimpinan Islam

KABARNUSA24.COM,- Bagi kita yang mengenal sejarah Islam pastilah telah memiliki pandangan positif tentang betapa sempurnanya ajaran agama ini hingga sanggup membentuk karakter para pendahulunya menjadi pejuang, bahkan pemimpin yang hebat. Di antara para sahabat Assabiqunal Awwalun yang begitu lekat dalam ingatan kita, yaitu sosok sahabat seperti Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khatthab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abu Thalib ditambah lagi dengan para tabi’in yang pernah menjadi pemimpin di kalangan umat Islam. Bila mengenang kembali aksi-aksi fenomenal mereka di zaman Rasulullah dan di masa-masa kekhalifahan, maka sangat terasa kenangan sejarah itu menumbuhkan sebuah kerinduan akan hadirnya kembali karakter-karakter kepemimpinan seperti mereka. Hampir tidak kita temukan indikator-indikator yang menjadi bukti kegagalan mereka. Yang ada justru adalah kisah-kisah sukses tentang kepemimpinan mereka. Mari kita simak penggalan-penggalan kisah kepemimpinan inspiratif beberapa di antara mereka.

Abu Bakar ash-Shiddiq, Sang Pemimpin Waraa’

Dalam sebuah penggalan pidatonya yang terkenal, Abu Bakar ash-Shiddiq dengan lantangnya mengatakan, “Orang yang kalian nilai kuat, sebenarnya kuanggap lemah. Adapun yang kalian pandang lemah adalah orang yang kuat dalam pandanganku.

Inilah kalimat yang menggambarkan keberanian dan keadilan beliau sebagai pemimpin. Tidak membuka peluang untuk berkongsi terhadap kekuatan-kekuatan besar. Akan tetapi, lebih memilih untuk menjadi penguat bagi mereka yang lemah. Tidak seperti yang terjadi saat ini. Kekuasaan justru hanya menguntungkan orang-orang dekat, pengusaha-pengusaha kakap, pejabat teras dan kalangan elit lainnya. Sedangkan rakyat kecil dimarjinalkan, pedagang kecil digusur, orang bodoh dibodoh-bodohi dan dibohongi, pegawai rendahan dibentak-bentak, dan bila tak berduit jangan mimpi memperoleh pelayanan lebih.

Bahkan beliaupun tak segan mengangkat pedang untuk memerangi mereka yang telah murtad, yang enggan menjalankan perintah Allah dengan menyebarkan kesesatan, dan yang tidak mau mengeluarkan zakat. Penyimpangan iman pasca wafatnya Rasulullah ini telah menggerakkan Abu Bakar untuk membentuk 11 unit pasukan perang untuk memberantas para pelakunya. Begitulah sosok khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq. Apa yang pernah dikatakan dan dilakukan Abu Bakar sebagai pemimpin adalah sebuah komitmen imaniyah antara Allah, dirinya dan umat yang dipimpinnya ketika sudah diangkat sebagai khalifah. Inilah yang melahirkan kegigihan dalam mewujudkan ucapan janji itu.

Yang terjadi pada pemimpin kita saat ini bukan hanya disumpah menyebut nama Allah saat dilantik. Bahkan sebelum terpilihpun telah mengumbar janji-janji manis dan kemudian mengkhianati sumpah dan mengingkari janji-janjinya. Mereka menjanjikan jalan ke ‘surga’ tapi yang ada adalah jalan ke ‘neraka’. Mereka menjanjikan cahaya terang tapi yang ada adalah gelap gulita. Mereka sesumbar tak akan mengambil gaji sepeserpun. Tapi, yang dia kumpulkan adalah tunjangan-tunjangan, gratifikasi, mark-up, komisi perjalanan dinas, dan hadiah-hadiah jatah proyek. Mereka berkomitmen untuk mengemban tugas dalam 5 tahun, tapi belum seumur jagung periode kepemimpinan kembali tergoda untuk meraih jabatan yang lebih tinggi dan menjanjikan kekuasaan dan materi.

Ingatlah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُوْلاً

“Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungjawabannya.” (Qs. al-Isra`: 34)

Umar bin Khatthab, Khalifah Pemberani yang gemar Turun ke Lapangan

Efek keberaniannya menyebabkan setan-setan menjauh dari jalan yang akan dilalui olehnya. Namun, sang khalifah begitu mudah meneteskan air mata jika ada rakyatnya yang kelaparan. Dia tak akan nyenyak tidur sampai memastikan perut-perut rakyatnya telah terisi makanan. Suatu ketika, Khalifah Umar menemukan seorang ibu yang memasak batu hanya untuk menghibur anak-anaknya yang menangis kelaparan karena tak lagi memiliki makanan. Pada saat itu juga, Umar sendirilah yang memikul sekarung gandum yang diambil dari gudang Negara.

Bila Umar tak ingin diketahui oleh orang saat melakukan blusukan dan dilakukan di saat larut malam, maka pemimpin yang saat ini melakukannya di tengah gegap gempita liputan media. Dia tak akan turun dari mobil jika kamera wartawan belum siap menyorotnya. Kegiatan itu dilakukan semata-mata untuk melambungkan popularitas sang pemimpin. Inilah model pemimpin yang gemar membohongi rakyatnya dengan tampilan luar belaka. Keasliannya ternyata tak seperti apa yang nampak. Kebohongan menjadi bahasa yang enteng diucapkannya.

Masih begitu banyak pemimpin di kalangan Islam yang memiliki rekam jejak dengan segala aksi fenomenal mereka. Di antara mereka adalah, Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang pernah dikisahkan bahwa beliau mematikan lilin istana ketika berbincang dengan putranya karena tidak pantas bagi seorang Khalifah menikmati cahaya lilin yang dibeli dari uang rakyat ketika membicarakan masalah keluarganya. Dia juga pernah diberikan kuda tunggangan peliharaan terbaik untuk kendaraan dinasnya, tapi dia menolaknya dan memerintahkan untuk menjual kembali kuda itu dan uangnya disimpan di Baitul Maal. Di masa kekuasaannyalah tidak lagi ditemukan penerima zakat. Penurunan angka kemiskinan yang cukup fantastis menjadi indikator kesuksesannya yang paling fenomenal di bidang ekonomi.

Bandingkan dengan pemimpin saat ini. Kita akan temukan rumah-rumah dinas para penguasa yang berjejal di halamannya mobil-mobil mewah. Tidak jarang fasilitas negara justru digunakan untuk kepentingan pribadi dan keluarga mereka. Di akhir masa jabatannya, rakyat miskin malah bertambah, hutang negara membengkak, kurs mata uang semakin merosot, tapi ironisnya harta kekayaannya dalam LHKPN terakhir justru membuncit.

Gubernur Said bin Amir al-Jumahi yang pernah memimpin Syam atau Hims di zaman kekhalifahan Umar bin Khatthab juga memiliki sebuah kisah yang fenomenal. Saat diminta oleh sang Khalifah untuk menjadi Gubernur di Syam, apa jawaban Said? Bukan ungkapan kegirangan atau ucapan terima kasih. Namun seperti orang yang tertimpa musibah dia menolak amanah itu dan berkata, “Demi Allah, jangan kau timpakan fitnah kepadaku dan jangan kau kalungkan amanah ini di leherku, jangan wahai Umar!”

Dengan tertegun, Khalifah Umar kemudian menjawab, “Kalian limpahkan seluruh urusan kalian ke pundakku. Apakah kalian akan biarkan aku sendirian menanggung beban ini?” Lantaran jawaban Umar itulah akhirnya dengan terpaksa Said pergi ke Hims untuk menjadi Gubernur. Di kemudian hari, justru namanyalah yang tertera sebagai salah satu penduduk termiskin di negeri yang dipimpinnya sendiri.

Bandingkan kembali dengan kondisi saat ini. Demi sebuah kekuasaan para pemimpin saling sikut dan saling menjatuhkan. Keserakahan menjadi kasat mata nampak di hadapan kita. Kekuasaan telah menjadi sebuah gaya hidup. Pestapora kemenangan dirayakan sebagai simbol kebanggaan, padahal beban amanah yang begitu berat terkalung di leher-leher mereka.

Sosok berikutnya yang patut untuk dikenang adalah panglima kaum muslimin,
Shalahuddin al-Ayyubi.
Separuh hidupnya didedikasikan untuk membebaskan negeri-negeri muslim dari cengkeraman bangsa-bangsa penindas. Sang Panglima pantang menyerah tatkala berada di medan jihad hingga begitu disegani oleh pemimpin-pemimpin dunia pada saat itu. Baginya, tak sejengkalpun tanah kaum muslimin layak dihinakan oleh siapapun. Baitul Maqdis di al-Quds, Mesir, Suriah, dan dua kota umat Islam Mekah dan Madinah terjaga kehormatannya di tangan Jenderal, Panglima sekaligus Khalifah kaum muslimin ini.

Malu rasanya untuk membandingkan beliau dengan para pemimpin saat ini. Saat Palestina terjajah, Mesir dihinakan, Muslim Rohingya dibantai, Muslim Afrika Tengah di bakar hidup-hidup karena keimanan mereka, semuanya diam. Hanya kecaman dalam pidato kenegaraan yang mereka andalkan untuk menutupi kelemahan mereka. Para pemimpin muslim terjebak pada alasan klasik konsep negara-bangsa yang membatasi persaudaraan hanya sampai pada batas-batas negara. Sungguh tak berperikemanusiaan. Saksikan putra terbaik Islam! Shalahuddin al-Ayyubi tanpa mengandalkan pidato kenegaraan, beliau terjun ke medan tempur demi kehormatan tanah dan darah kaum muslimin.

Allah menghadirkan begitu banyak kisah-kisah kepemimpinan baik yang buruk maupun yang diwarnai kesuksesan tidak lain adalah untuk menjadi peta bagi arah berperilaku bagi pemimpin di era kini dan di masa mendatang. Allah ceritakan kisah Fir’aun dan Namrudz di dalam al-Quran tidak untuk diikuti, tapi untuk diambil pelajarannya. Sejarah menghadirkan kisah kepemimpinan para suksesor agama Allah agar para pemimpin memiliki banyak pilihan sebagai patron bagi arah dan perilaku kepemimpinan mereka.

Para pemimpin sukses di zaman dahulu itu lahir ketika belum terdapat media sebagai alat propaganda dan ketika belum berkembangnya sistem politik. Saat ini, peran-peran politik rakyat dilibatkan secara langsung dalam suksesi kepemimpinan sebagai imbas diterapkannya sistem demokrasi modern. Umat Islam yang menjadi komponen terbesar di negara yang besar ini harus dapat memanfaatkan potensi besar itu untuk kepentingan bangsa dan Negara yang berkeadilan (adil bagi semua anak bangsa) dan berdaulat secara ekonomi dan politik (tanpa adanya tekanan-tekanan dan kendali dari pihak asing).

Untuk para calon pemimpin dan para pemimpin di level manapun, hendaknya menyempatkan diri menyelami kembali sejarah para pemimpin Islam sebagai sumber inspirasi dan sebagai bentuk ikhtiar positif dalam memberi arah dan warna bagi karakter kepemimpinannya.

Para pemimpin muslim selayaknya dapat memberi ruang bagi terciptanya aksi-aksi populis tanpa rekayasa. Kisah-kisah kepemimpinan di masa kejayaan Islam telah menguak begitu banyak narasi yang kaya akan hikmah kepemimpinan yang sesungguhnya hingga menjadi layak untuk diteladani. Para pemimpin seharusnya sadar dengan sepenuhnya bahwa kepemimpinan itu ada untuk melayani, bukan untuk selalu dilayani. Kepemimpinan hadir sebagai bentuk pengorbanan, bukan malah mengorbankan orang lain. Kepemimpinan eksis bukan untuk mengejar materi, tetapi untuk menebar lebih banyak manfaat. Kepemimpinan bukan untuk menambah tinggi kebanggaan tetapi sebagai peluang untuk menguji ketawadhu’an. Kepemimpinan juga seharusnya menjadi sarana efektif menerapkan konsep Rahmatan Lil ‘Alamin, bukan malah menjadi Musibah Lil ‘Alamin.

Dalam setiap diri manusia, terbebani amanah kepemimpinan yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Rasulullah bersabda:

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا وَالْخَادِمُ رَاعٍ فِي مَالِ سَيِّدِهِ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ قَالَ وَحَسِبْتُ أَنْ قَدْ قَالَ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي مَالِ أَبِيهِ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya. Imam adalah pemimpin yang akan diminta pertanggung jawaban atas rakyatnya. Seorang suami adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban atas keluarganya. Seorang istri adalah pemimpin di dalam urusan rumah tangga suaminya, dan akan dimintai pertanggung jawaban atas urusan rumah tangga tersebut. Seorang pembantu adalah pemimpin dalam urusan harta tuannya, dan akan dimintai pertanggung jawaban atas urusan tanggung jawabnya tersebut.”

Ketahuilah, semakin besar kapasitas kepemimpinan seseorang, maka semakin besar pula kadar pertanggungjawabannya di hadapan Allah.

 

Sumber: Kutipan Ulasan Dakwah materi Khutbah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *