Tutup
Daerah

Perpanjangan kekuasaan tidak akan berguna jika tidak membawa perubahan untuk kebaikan.

3
×

Perpanjangan kekuasaan tidak akan berguna jika tidak membawa perubahan untuk kebaikan.

Sebarkan artikel ini
Perpanjangan kekuasaan tidak akan berguna jika tidak membawa perubahan untuk kebaikan.

Perpanjangan kekuasaan tidak akan berguna jika tidak membawa perubahan untuk kebaikan.

Aceh – kabarnusa24.com.

Saat ini beredar isu yang hangat kita dengar saat ini yaitu Sejumlah kepala desa atau kades menginingkan perpanjangan masa jabatan yaitu dengan cara ingin revisi UU No 6/2014 tentang Desa terkait masa jabatan kades agar diubah dari enam tahun menjadi sembilan tahun. Salah satu alasan dilakukan perpanjangan masa jabatan kades jadi sembilan tahun, karena masa jabatan enam tahun membuat kades tak bisa bekerja secara maksimal menjalankan visi dan misi mereka yang tertuang dalam RPJMDes.Argumen lain para Kades itu adalah agar jarak kontestasi Pilkades lebih lama, tidak menguras energi sosial warga desa akibat dampak pembelahan sosial karena pilkades, serta ada jangka waktu lebih untuk kepala desa terpilih dalam merealisasikan janji-janji kampanye mereka.

 

Menurut saya argumentasi tersebut tentunya sangat bias dengan cita-cita demokrasi di Indonesia. Pasalnya, jika indikator efektivitas realisasi program hanya dinilai sempit dari jangka waktu masa jabatan tentunya ini merupakan kerangka berpikir yang salah.

 

Karena justru berpotensi melahirkan problematika yang lain seperti terbentuknya pola politik dinasti di pemerintahan desa, terhambatnya regenerasi kepemimpinan, degradasi praktik demokrasi di desa hingga kecenderungan penyalahgunaan wewenang yang lain.

 

Menurut saya sih itu berbahaya bagi demokrasi di desa karena kan sesungguhnya jabatan kepala desa itu sebenarnya harusnya mengikuti undang-undang maupun aturan yang berlaku yang sudah ditentukan, dalam aturan itu kan masa jabatan 5 tahun, itu dulu sudah diperpanjang jadi 6 tahun,”

 

Menurut Undang-undang,Arya Damanik mengatakan, lamanya masa jabatan kepala desa dapat membuat mereka menjadi “raja kecil” di daerahnya yang dapat memerintah tanpa pengawasan yang ketat. Jika Visi dan Misi belum terselesaikan dengan waktu yang ditentukan, harusnya kepala desa membangun program kerja maupun visi dan misi yang mampu diselesaikan dengan memanfaatkan waktu jabatan yang telah diatur oleh undang-undang, karena saya lihat waktu yang telah ditentukan bukanlah waktu yang cepat.

 

perubahan masa jabatan kades menjadi 9 tahun membuat mereka akan menjabat terlalu lama. Sebab, Undang-Undang Desa mengatur bahwa kepala desa dapat menjabat selama 3 periode. Artinya, kepala desa bisa menjabat hingga 3×9 tahun atau 27 tahun apabila wacana itu terealisasi. Ia mengingatkan, kekuasaan yang terlalu lama dapat menimbulkan sifat koruptif, apalagi kades berwenang mengelola dana desa yang jumlahnya tidak sedikit. “Ini tidak sehat ya, membangun pengelolaan negara secara administratif secara buruk ya di mana kekuasaan hendak dibangun tak terbatas padahal sifat kekuasaan itu kalau sudah terlalu lama dia bisa jadi akan koruptif.

 

Ketentuan tentang masa jabatan pejabat publik sebenarnya telah disebutkan

dalam konstitusi. Pasal 7 UUD NRI 1945 secara tegas menyatakan: “Presiden dan

Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat

dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”.

Meskipun tidak mengatur masa jabatan Kepala Desa, ketentuan ini seharusnya

menjadi dasar filosofis dan yuridis diaturnya ketentuan tentang masa jabatan

Kepala Desa dalam suatu peraturan perundang-undangan di bawah UUD NRI

1945. Prinsip pembatasan kekuasaan harus dipegang teguh oleh para penyusun undang-undang saat menyusun norma tentang berapa lama Kepala Desa bisa

menjabat.

 

 

Pengaturan mengenai masa jabatan Kepala Desa pada dasarnya telah diatur secara

tegas dalam Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Undang-undang tersebut menggariskan bahwa Kepala Desa dapat menjabat

selama 6 tahun dan menjabat paling banyak 3 kali baik secara berturut-turut

maupun tidak secara berturut-turut. Berdasarkan ketentuan ini, seorang Kepala

Desa dapat menjabat maksimal selama 18 tahun. Apabila masa jabatannya

diperpanjang menjadi 9 tahun, maka Kepala Desa di seluruh Indonesia bisa

menjabat paling lama 27 tahun. Dalam kondisi demikian, tentu regenerasi

kepemimpinan di level desa bisa terancam.

 

Periodisasi masa jabatan Kepala Desa sebagaimana diatur dalam Undang-Undang

Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa sebenarnya pernah diajukan dalam uji materi

(judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam putusannya Nomor

42/PUU-XIX/2021, Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa pembatasan

masa jabatan Kepala Desa selama 6 tahun dengan paling banyak 3 kali masa

jabatan merupakan aturan yang konstitusional.

 

 

Munculnya isu perubahan masa jabatan Kepala Desa dari 6 tahun menjadi 9 tahun

antara lain dilatarbelakangi lahirnya konflik pasca Pemilihan Kepala Desa

(Pilkades) di banyak desa. Polarisasi politik mengakibatkan pembangunan desa

terbengkalai. Ketegangan ini akan lebih mudah diredam jika durasi Kepala Desa

menjabat ditambah. Padahal, periodesasi masa jabatan Kepala Desa yang

digariskan melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa telah

mengakomodasi kekhawatiran tentang munculnya polarisasi akibat persaingan

politik. Tak heran apabila pengaturan mengenai masa jabatan Kepala Desa

dibedakan dengan masa jabatan Presiden.

 

Waktu dihembuskannya isu perpanjangan masa jabatan Kepala Desa kurang

tepat. Mengingat, penyampaian aspirasi ini dilakukan pada tahun politik

menjelang Pemilu 2024. Hal ini bisa dikaitkan dengan dukungan terhadap calon

tertentu. Bagaimanapun, Kepala Desa mempunyai massa atau banyak pendukung

di desa, sehingga kedudukannya dapat memengaruhi hasil Pemilu 2024. Bila

aspirasi ini dikabulkan, terdapat kekhawatiran bahwa Kepala Desa akan mudah

dimanfaatkan untuk mengamankan kepentingan politik.

 

Jangan jadikan bahwa, saat politik hanya berbicara tentang konsolidasi kekuasan, konsolidasi massa, serta rapatkan barisan, maka, “itu hanya akan diperalat oleh politik, atau jadi penonton yang siap-siap dikecewakan atau tersingkir dari arena

 

“Saat itulah, politik tidak lagi Ilahi dan suci, semata penjelmaan syahwat kekuasaan. Saat itulah, politik tidak lagi membebaskan dan mencerahkan masyarakat. Ia hanya nama lain dari agenda elite untuk menguasai mayoritas.

 

Saya berharap mudah mudahan Pemerintah bisa membedakan mana kepentingan pribadi kades dan mana kebutuhan masyarakat sebelum menyetujui wacana tersebut. mana kepentingan pribadi kades dan mana kebutuhan masyarakat sebelum menyetujui wacana tersebut.

 

Sumber :  Arya I F Damanik (Ketua Bidang Kajian Ilmiah Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan FKPH Fakultas Hukum Unimal)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *