JAKARTA, Kabarnusa24.com – Pemerintah terus menggencarkan tagline Wajib Halal Oktober (WHO) 2024. Bukan tanpa sebab, hal ini karena jumlah produk belum terertifikasi halal masih cukup banyak untuk, sementara tenggang waktu kian dekat. Sektor perhotelan termasuk salah satu yang harus memenuhi aturan tersebut.
Sayangnya, baru 1,2 persen resto di hotel Indonesia bersertifikat halal. Mampukah industri perhotelan memenuhi regulasi yang ada?
Masa tenggang wajib sertifikasi halal jatuh tempo pada 17 Oktober 2024. Hal ini berlaku untuk empat jenis produk, di antaranya makanan minuman sebagai end product, bahan baku, bahan tambahan, dan bahan penolong untuk makanan minuman, jasa dan produk sembelihan, serta seluruh jasa yang berkaitan dengan proses makanan minuman sampai ke konsumen (maklon, logistik, retailer). Resto yang berada di sebuah hotel termasuk ke dalam kategori produk tersebut.
Merespons ini, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Maulana Yusran, menyebutkan bahwa kewajiban sertifikasi halal untuk resto hotel menjadi tantangan yang sangat berat bagi industri perhotelan.
Hal tersebut disampaikan dalam seminar bertema “The Future of Hospitality: Integrating Halal and Hygiene in Hotel and Restaurant” yang diselenggarakan oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM) pada Senin (12/8/2024 )di auditorium Sukarman, Perpusnas Republik Indonesia.
Tantangan yang dimaksud dilihat dari jumlah usaha perhotelan yang sangat banyak dibandingkan dengan ketersedian Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) di Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa pada awal 2024, hotel di Indonesia berjumlah 4.125 hotel.
Sementara itu, data Sihalal Badan Penyelenggara Jamian Produk Halal (BPJPH) mencatat baru 49 hotel atau 1,2 persen bersertifikat halal. Sebanyak 48 hotel di antaranya melakukan pemeriksaan kehalalan melalui LPH LPPOM sebagai LPH yang dapat melakukan pemeriksaan dengan cepat, terjangkau dan mudah.
“Kalau bicara halal itu berkaitan dengan pemisahan halal dan haram serta hygiene. Awalnya, ini adalah extended services bagi perhotelan. Jumlah LPH yang ada, khususnya di wilayah luar, belum cukup untuk mengakomodir hotel-hotel di daerah. Dampaknya, biaya sertifikasi halal menjadi mahal karena auditor didatangkan dari Pulau Jawa,” ungkap Maulana.
Baru LPPOM, lanjutnya, yang memiliki kantor perwakilan yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Sebabnya, Maulana menekankan bahwa perlu adanya sinergi antara Kementerian Agama, dalam hal ini BPJPH, dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk mendorong kemudahan sertifikasi halal usaha sektor perhotelan.
Hal lain yang juga menjadi tantangan adalah surveillance dan kebutuhan industri hotel untuk mengikuti tren yang ada. Menurut Maulana, di resto hotel ada kebutuhan mengubah menu dan nama sesuai dengan tren, sekalipun tanpa mengubah ingredient.
Hal ini dirasa berat, karena setiap perubahan perlu pengajuan pengembangan produk yang pada akhirnya akan menambah biaya.
“Adanya regulasi Jaminan Produk Halal ini menyisakan banyak masalah, karena biaya itu terus meningkat. Kita sedang mengusulkan revisi regulasi yang ada. Harus bisa dilihat, bagaimana melakukan sertifikasi halal dalam jumlah yang cukup besar, namun jangan sampai regulasi membuat dispute usaha itu sendiri,” tegasnya.
Sumber: Majlis Ulama Indonesia/ MUI