Kabarnusa24.com,-
Assalamu’alaikum wr wb. Mohon izin bertanya. Bagaimana hukumnya tidak shalat saat melakukan demonstrasi? (Nailazzulfa)
Jawaban:
Wa’alaikumussalam wr wb. Kami sampaikan terima kasih atas pertanyaannya.
Shalat merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Hukum meningglakan shalat dalam keadaan apapun, termasuk saat melakukan demonstrasi tentu saja tidak diperbolehkan.
Kewajiban shalat tetap harus dilakukan, bahkan saat kondisi genting dan mencekam, seperti shalat saat terjadi kebakaran, kebanjiran, dan kondisi darurat lainnya.
Karena itu, Islam mensyariatkan shalat syiddatul khauf (shalat saat merasa sangat ketakutan), yang mana dalam praktiknya, shalat dapat dilakukan sambil lari untuk menghindari bahaya.
Demonstrasi atau unjuk rasa merupakan bentuk penyampaian pendapat yang dilakukan oleh sekelompok orang di muka umum yang dijamin oleh konstitusi pada pasal 28 UUD 1945, kemudian diatur dalam UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Dalam fiqih siyasah Syekh Wahbah Az-Zuhaili mengatakan, setiap manusia memiliki hak dan kebebasan dalam bernegara. Rakyat berhak menyampaikan pendapatnya selama hal itu disampaikan sesuai dengan batas-batas syariah dan moral.
Mereka juga berhak menyerukan kebaikan dan melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, baik secara individu maupun berkelompok dalam aksi demonstrasi demi melindungi kemaslahatan bersama.
اَلْحُقُوْقُ السِّيَاسِيَّةُ – اَلْمَادَةُ الْخَامِسَةُ أ ـ حُرِّيَّةُ الرَّأْيِ وَالتَّعْبِيْرِ عَنْهُ بِالْوَسَائِلِ الْمَشْرُوْعَةِ مَصُوْنَةٌ وَلِكُلِّ إِنْسَانٍ حَقُّ مُمَارَسَتِهَا فَي حُدُوْدِ مَبَادِئَ الشَّرِيْعَةِ وَقِيَمِ الْأَخْلَاقِ ب ـ لِكُلِّ إِنْسَانٍ الْحَقُّ فِي الدَّعْوَةِ بِالحِكْمَةِ إِلَى الْخَيْرَ وَالْأَمْرِ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيِ عَنِ الْمُنْكَرِ وَلَهُ أَنْ يَشْتَرِكَ مَعَ غَيْرِهِ مِنَ الْأَفْرَادِ وَالْجَمَاعَاتِ فِي مُمَارَسَةِ هَذَا الْحَقِّ وَالدِّفَاعِ عَنْهُ لِصَالِحِ الْمُجْتَمَعِ وَخَيْرِهِ
Artinya, “Hak politik, Pasal Lima:
a. Kebebasan berpendapat dan berekspresi dengan cara yang sah dilindungi, dan setiap orang mempunyai hak untuk melaksanakannya dalam batas-batas prinsip-prinsip Syariah dan nilai-nilai moral.
b. Setiap manusia berhak menyerukan kebaikan dengan hikmah, memerintah kebaikan dan melarang kemungkaran, serta berhak ikut serta bersama individu dan kelompok lain dalam melaksanakan hak tersebut dan membelanya demi kemaslahatan dan kebaikan masyarakat.” (Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu, [Beirut, Darul Fikr; 2002], juz VIII, halaman 548).
Meski demikian, pelaksanaan demonstrasi harus sesuai dengan aturan negara dan agama, agar dapat berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan, serta tidak menimbulkan kemungkaran lainnya, seperti meninggalkan kewajiban shalat.
Demontrasi juga bukan agenda padat yang memiliki waktu terbatas. Demo dapat dilakukan dalam waktu yang luas dan bebas. Orasi menyampaikan aspirasi juga dapat dilakukan secara bergantian. Karena itu, kegiatan demo tidak dapat dijadikan alasan untuk meninggalkan shalat.
Syekh Zainuddin Al-Malibari menjelaskan, kewajiban shalat itu diperluas. Seseorang dapat memilih untuk melaksanakan shalat di awal waktu, di tengah waktu, maupun di akhir waktu selama masih cukup untuk digunakan melaksanakan shalat.
Beliau juga menjelaskan, haram hukumnya untuk mengeluarkan bagian shalat dari waktu pelaksanaannya meskipun hanya sedikit, namun shalatnya masih tergolong ada’ atau terlaksana dalam waktunya.
Namun meskipun masih termasuk ada’ ketika mendapati satu rakaat di dalam waktunya, orang yang mengeluarkan sebagian shalat dari waktunya tetap berdosa.
وَاعْلَمْ أَنَّ الصَّلاَةَ تَجِبُ بِأَوَّلِ الوَقْتِ وُجُوْباً مُوَسَعاً فَلَهُ التَّأْخِيْرُ عَنْ أَوَّلِهِ إِلىَ وَقْتٍ يَسَعُهاَ بِشَرْطِ أَنْ يَعْزَمَ عَلَى فَعْلِهاَ فِيْهِ وَلَوْ أَدْرَكَ فيِ الوَقْتِ رَكْعَةً لاَ دُوْنَهاَ فاَلكُلُّ أَدَاءً وَإِلاَّ فَقَضَاءً وَيَأْثِمُ بِإِخْرَاجِ بَعْضِهاَ عَنِ الوَقْتِ وَإِنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً
Artinya, “Ketahuilah bahwa shalat itu wajib di awal waktu dengan kewajiban yang diperluas, maka seseorang boleh menundanya dari awal waktu sampai waktu yang masih cukup untuk shalat, dengan syarat dia sudah bertekad untuk menunaikannya pada waktu tersebut.”
“Jika seseorang mendapati satu rakaat, tidak kurang, maka seluruh shalatnya dihukumi ada’, dan jika di bawah satu rakaat, maka dihukumi qadha’, dan dia berdosa dengan mengeluarkan sebagian shalat dari waktunya, meskipun mendapati satu rakaat.” (Fathul Mu’in, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 1998] halaman 25).
Imam An-Nawawi menyatakan, makruh hukumnya melaksanakan shalat dalam kondisi yang membuat hati menjadi sibuk dan menghilangkan kekhusyu’an. Hukum makruh ini berlaku selama waktu masih panjang.
Jika waktu shalat sudah mepet, maka dalam kondisi bagaimanapun, seseorang wajib untuk segera melaksanakan shalat dan tidak boleh lagi menundanya.
فِي هَذِهِ الْأَحَادِيْثِ كَرَاهَةُ الصَّلَاةِ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ الَّذِي يُرِيْدُ أَكْلَهُ لِمَا فِيْهِ مِنِ اشْتِغَالِ الْقَلْبِ بِهِ وَذَهَابِ كَمَالِ الْخُشُوْعِ وَكَرَاهَتُهَا مَعَ مُدَافَعَةِ الْأَخْبَثَيْنِ وَهُمَا الْبَوْلُ وَالْغَائِطُ وَيُلْحَقُ بِهَذَا مَا كَانَ فِي مَعْنًاهُ مِمَّا يُشْغِلُ الْقَلْبَ وَيُذْهِبُ كَمَالَ الْخُشُوْعِ وَهَذِهِ الْكَرَاهَةُ عِنْدَ جُمْهُوْرِ أَصْحَابِنَا وَغَيْرُهُمْ إِذَا صَلَّى كَذَلِكَ وَفِي الْوَقْتِ سَعَةٌ فَإِذَا ضَاقَ بِحَيْثُ لَوْ أَكَلَ أَوْ تَطَهَّرَ خَرَجَ وَقْتُ الصَّلَاةِ صَلَّى عَلَى حَالِهِ مُحَافَظَةً عَلَى حُرْمَةِ الْوَقْتِ وَلَا يَجُوْزُ تَأْخِيْرُهَا
Artinya, “Dalam hadis-hadis tersebut, tidak dianjurkan (makruh) shalat di hadapan makanan yang hendak disantap, karena hati akan menjadi sibuk dengan makanan tersebut dan hilangnya kesempurnaan khusyu’.
Juga tidak dianjurkan (makruh) shalat dengan menahan dua hal kotor, yaitu kencing dan berak. Disamakan juga hal-hal lain yang semakna, yang dapat menyibukkan hati dan menghilangkan kesempurnaan khusyu’.
Menurut mayoritas Ashhab (murid-murid Imam Syafi’i) dan lainnya, hukum makruh ini berlaku ketika ia shalat dengan cara demikian dan waktu shalat masih panjang.
Jika waktu sudah sempit, sehingga jika ia makan atau bersuci maka waktu shalatnya menjadi habis, maka ia shalat apa adanya, dengan menjaga kehormatan waktu, dan tidak boleh menundanya.” (Syarhun Nawawi ‘ala Muslim, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2017] juz III, halaman 39).
Dalam melaksanakan kewajiban shalat, jika dianggap perlu, seperti ketika tidak bisa bebas bergerak karena padatnya massa aksi demo, mereka juga dapat melakukan shalat dengan cara jama’, yaitu dikumpulkan dalam satu waktu antara shalat Dhuhur dengan Ashar, dan antara Maghrib dengan Isya.
Dalam hal ini Abu Ishaq Al-Marwazi berpendapat boleh menjama’ shalat saat tidak bepergian karena ada hajat (kebutuhan).
فَائِدَةٌ : لَنَا قَوْلٌ بِجَوَازِ الْجَمْعِ فِى السَّفَرِ الْقَصِيْرِ اخْتَارَهُ الْبُنْدَنِيْجِى وَظَاهِرُ الْحَدِيْثِ جَوَازُهُ وَلَوْ فِى الْحَضَرِ كَمَا فِى شَرْحِ مُسْلِمٍ وَقَالَ الْخَطَّابِى عَنْ اَبِى اِسْحَقَ جَوَازُهُ فَى الْحَضَرِ لِلْحَاجَةِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ خَوْفٌ وَلَا مَطَرٌ وَلَامَرَضٌ وَبِهِ قَالَ ابْنُ مُنْذِرٍ
Artinya, “Faidah: Mazhab kita Syafi’i punya satu pendapat yang menyatakan boleh menggabungkan shalat dalam perjalanan singka. Pendapat ini dipilih oleh Al-Bundaniji, dan makna lahiriah dari hadis adalah diperbolehkan jama’ bahkan di saat di rumah, seperti yang dikatakan dalam Syarh Muslim.
Al-Khaththabi mengutip pendapat Abu Ishaq bahwa dibolehkan jama’ di rumah karena ada keperluan, meskipun tidak ada rasa takut, hujan, atau sakit, dan ini merupakan pendapat yang disampaikan oleh Ibnu Mundhir.” (Abdurrahman Ba’alawi, Bughyatul Mustarsyidin, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah; 2016], halaman 98).
Demikian penjelasan tentang hukum meninggalkan shalat saat demonstrasi. Singkatnya, meninggalkan shalat saat aksi demo hukumnya tidak diperbolehkan. Pelaku demo harus tetap mempersiapakan diri untuk menjalankan kewajiban shalatnya. Jika memang diperlukan, mereka dapat menjalankan shalatnya dengan cara jama’. Wallahu a’lam.
Oleh: Ustadz Muhammad Zainul Millah (Pengasuh Pesantren Fathul Ulum Wonodadi Blitar)