JAKARTA, Kabarnusa24.com – Fenomena diskriminasi penggunaan jilbab makin menjukkan tren yang meningkat belakangan. Sejumlah pihak melakukan pelarangan terhadap penggunaan jilbab. Jelas hal ini bentuk diskriminasi terhadap terhadap hak kebebasan beragama.
Belum usai polemik terkait larangan jilbab Paskibraka beberapa pekan lalu, muncul larangan penggunaan jilbab bagi karyawan di Rumah Sakit Medistra, Jakarta Selatan. Diduga terdapat praktik dalam rumah sakit itu yang membatasi dokter umum dan perawat menggunakan jilbab. Kendati akhirnya institusi yang terakhir ini meminta maaf.
Persoalan tersebut mengemuka dan ramai diperbincangkan di ruang-ruang publik.
Pasalnya, aturan yang melarang penggunaan jilbab di lingkungan kerja terus terulang untuk yang kesekian kali.
Fenomena pelarangan jilbab tersebut membawa konsekuensi yang besar terhadap hak seseorang dalam mengeskpresikan kebebasan. Pasalnya, negara hadir memberikan jaminan konstitusional terhadap kebebasan penggunaan jilbab. Akibatnya, pelbagai kebijakan yang mengancam jaminan hak tersebut merupakan pelanggaran terhadap hak konstitusional warga negara.
Penggunaan jilbab sebagai ekspresi keberagamaan dijamin secara utuh dalam sejumlah undang-undang. Di dalam Pasal 28E ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2) UUD NRI 1945 disebutkan, negara menjamin adanya kebebasan dan kemerdekaan beragama seseorang beserta aktivitas peribadatan dan ekspresi berkeyakinan.
Jaminan senada juga diatur dalam Pasal 22 UU 39/1999 di mana negara harus menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan, termasuk di dalamnya ekspresi tata busana berpakaian sebagai bagian dari ekspresi berkeyakinan.
Jika dibaca dalam pendekatan sistematis (systematic approach), pengaturan kebebasan penggunaan jilbab dalam sejumlah undang-undang dikategorikan sebagai hak asasi manusia atau HAM.
Sebagai suatu jaminan HAM, keberadaannya tidak dapat dikurangi, dihalangi, dan diekspansi. Hak tersebut melekat secara instrinsik dalam internal warga negara sejak ia dilahirkan.
Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 024/PUU-III/2005 dengan tegas memaknai tindakan diskriminatif apabila terdapat pembedaan kebijakan yang didasarkan pada agama, ras etnik, kelompok, golongan, status sosial dan ekonomi, jenis kelamin, dan keyakinan politik.
Dengan demikian, kebijakan yang melarang penggunaan jilbab di dalamnya adalah bentuk tindakan diskriminasi terhadap warga negara.
Sebagai refleksi terhadap fenomena tersebut, penting bagi jajaran yang berwenang untuk melakukan evaluasi terhadap satuan kerja yang secara nyata melakukan pelarangan terhadap penggunaan jilbab. Terrdapat dua hal yang perlu menjadi pertimbangan pokok.
Pertama, rumah sakit merupakan suatu badan yang menjalankan fungsi pelayanan Kesehatan di sektor publik. Tidak sepatutnya menampilkan tindakan diskriminatif terhadap pekerja yang ada di di dalamnya.
Dalam konteks ini, Pasal 5 UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan telah jelas mengatur larangan bagi satuan lembaga kerja melakukan tindakan diskriminasi terhadap para pekerja di dalamnya. Sebab tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa perlakuan diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.
Kedua, pelarangan tersebut tidak jarang dilegalisasi melalui aturan-aturan yang tersedia. Dalam konteks tersebut, terdapat kecenderungan komunal secara kelembagaan dimana tindakan diskriminasi dalam lingkungan kerja diabsahkan secara legal dalam bentuk aturan.
Dengan demikian, pihak berwenang seperti Dinas Tenaga Kerja maupun Dirjen Hak Asasi Manusia harus mampu mengevaluasi secara menyeluruh instansi, birokrasi, dan pimpinan struktural terkait.
Tujuannya agar praktik diskriminasi serupa di lingkungan kerja tidak terulang lagi dan cenderung dilegalisasi. Pelarangan ihwal penggunaan jilbab tidak hanya menyoal peham keberagaman dan toleransi di antara sesama, melainkan juga menyalahi dan melanggar hak kontitusionakl sebagai warga negara.
Sumber: Majlis Ulama Indonesia/MUI