Sekapur Sirih

Bagaimana Cara Bertobat dari Mencuri Barang Milik Orang Lain

11
×

Bagaimana Cara Bertobat dari Mencuri Barang Milik Orang Lain

Sebarkan artikel ini
Bagaimana Cara Bertobat dari Mencuri Barang Milik Orang Lain
Ilustrasi

Kabarnusa24.Com,- Dibawah ini penjelasan tanya jawab mengenai cara bertaubat dari mencuri dilansir dari Bahtsul masail NU Online yang bertema “Cukupkan Bersedekah untuk Mengganti Barang yang Dighasab” dijawab Oleh Ustadz Muhamad Hanif (Rahman Khadim Ma’had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo)

Pertanyaan: Assalamualaikum Wr Wb. Pak Ustadz, bagaimana cara bertobat dari mencuri?, misalnya seseorang mencuri permen 3 biji di warung, lalu ia menyesali perbuatannya, pertanyaannya bagaimana cara ia mengembalikan hak orang yang dicuri itu, sedangkan ia malu mengembalikannya, bolehkah hanya dengan bersedekah dan diniatkan sedekah tersebut untuk orang yang telah dicuri permennya?

Jawaban: Waalaikumus salam Wr Wb. Penanya dan pembaca setia yang budiman. Semoga kita semua diberi kesehatan dan dilancarkan dalam segala aktivitasnya. Islam memerintahkan untuk segera bertobat kepada Allah setelah melakukan segala maksiat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَتُوْبُوْٓا اِلَى اللّٰهِ جَمِيْعًا اَيُّهَ الْمُؤْمِنُوْنَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

Artinya, “Bertobatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung.” (An-Nūr:31)

Termasuk dalam perbuatan maksiat yang harus segera dimintakan ampunan adalah mengambil barang milik orang lain dengan cara yang tidak dibenarkan oleh syariat, meskipun nilainya tampak kecil, seperti tiga butir permen.

Syekh Zainuddin al-Malibari menjelaskan dalam Fathul Mu’in (Beirut, Dar Ibn Hazm, tanpa tahun: 653), bahwa tobat memiliki tiga syarat, serta tambahan satu syarat jika terkait dengan hak-hak sesama manusia (haqqul adami), yaitu:

1. Penyesalan (نَدم): Penyesalan atas dosa harus didasari oleh kesadaran bahwa perbuatan tersebut merupakan dosa, bukan karena alasan duniawi seperti takut dihukum atau kehilangan harta benda.

2. Berhenti dari dosa (إقلاع): Jika seseorang sedang melakukan dosa, ia harus segera berhenti pada saat itu juga. Jika ia masih berniat untuk mengulang dosa tersebut di masa depan, maka tobatnya tidak sah.

3. Tekad untuk tidak mengulangi (عزم أَن لَا يعود): Orang yang bertobat harus memiliki tekad kuat untuk tidak mengulangi dosa tersebut sepanjang hidupnya. Jika ia tidak lagi mungkin melakukannya, misalnya seseorang yang telah dikebiri setelah melakukan zina, maka tidak diperlukan lagi niat untuk tidak mengulangi dosa, karena hal tersebut sudah tidak mungkin terjadi.

4. Jika maksiat tersebut melibatkan hak-hak orang lain, baik berupa harta, kehormatan, atau lainnya, pelaku harus berusaha mengembalikan hak-hak tersebut dengan cara apa pun yang ia mampu. Syarat keempat ini ditambahkan oleh ulama berdasarkan hadits shahih sebagai berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ:”مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ مَظْلِمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضٍ أَوْ شَيْءٍ، فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ، قَبْلَ أَنْ لَا يَكُونَ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ، إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلِمَتِهِ، وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ، أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَتْ عَلَيْه

Artinya, “Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda,’Barang siapa yang memiliki kezaliman terhadap saudaranya, baik berkaitan dengan kehormatan atau harta, maka hendaklah ia meminta penghalalan darinya di dunia, sebelum datang hari di mana tidak ada dinar dan dirham (hari kiamat). Jika ia memiliki amal saleh, maka akan diambil darinya sesuai dengan kezaliman yang dilakukannya. Namun, jika ia tidak memiliki amal kebaikan, maka diambil dari dosa-dosa orang yang dizaliminya dan ditimpakan kepadanya.” (HR. Al-Bukhari, no. 2449).

Dari hadits di atas, kita dapat memahami bahwa maksiat atau dosa yang berkaitan dengan hak-hak orang lain harus diselesaikan di dunia, baik dengan cara mengembalikan barang tersebut atau meminta penghalalan dari pihak yang bersangkutan. Jika tidak, hal ini akan tetap menjadi beban hingga hari kiamat.

Secara fiqih, mengambil tiga butir permen di warung dapat dikategorikan sebagai ghasab, yaitu penguasaan harta orang lain secara zalim. Dalam kasus ghasab, pelaku wajib mengembalikan barang yang diambil, meskipun barang tersebut tidak bernilai dan pemiliknya tidak mencarinya. Hal ini dijelaskan oleh Syekh Nawawi al-Bantani dalam Nihayatuz Zain (Beirut, Darul Fikr, tanpa tahun: 264):

(وعَلى الْغَاصِب رد) فَوْرًا عِنْد التَّمَكُّن للمنقول بِنَفسِهِ أَو فعل أَجْنَبِي وَإِن عظمت الْمُؤْنَة فِي رده وَلَو لم يكن متمولا كحبة بر وكلب مُحْتَرم يقتنى وَإِن لم يَطْلُبهُ الْمَالِك

Artinya, “Wajib bagi orang yang merampas (barang) atau ghasab untuk segera mengembalikannya saat ia mampu, baik barang tersebut dapat dipindahkan secara langsung oleh dirinya sendiri atau melalui tindakan orang lain, meskipun biaya untuk mengembalikannya besar, dan meskipun barang tersebut tidak memiliki nilai harta, seperti sebutir biji atau anjing yang dihormati dan dipelihara, sekalipun pemiliknya tidak memintanya.”

Dalam hal pengembalian barang yang dighasab, pada prinsipnya yang harus dikembalikan adalah barang itu sendiri. Jika barang tersebut sudah rusak, maka pelaku ghasab harus menggantinya dengan barang serupa jika padanannya (mitsil) masih bisa ditemukan. Namun, jika tidak ditemukan padanannya (qimy), maka barang tersebut harus diganti dengan nilai setara.

Perlu diperhatikan bahwa pengembalian barang ghasab harus dilakukan dengan sepengetahuan pemiliknya. Keterangan ini sebagaimana dipaparkan oleh Taqiyuddin al-Hishni dalam Kifayatul Akhyar (hlm. 282):

وَلَو رد الدَّابَّة إِلَى الإسطبل أَو الدَّار فِي حق أهل الْقرى وَنَحْوهم إِن علم الْمَالِك بذلك إِمَّا بِأَن رَآهَا أَو أخبرهُ ثِقَة برِئ وَإِن لم يعلم حَتَّى شَردت لم يبرأ كَذَا نَقله الرَّافِعِيّ عَن الْمُتَوَلِي فِي آخر الْبَاب

Artinya, “Apabila (orang yang meng-ghasab) mengembalikan hewan itu ke kandang atau rumah pemiliknya — ini berlaku bagi penduduk desa dan sejenisnya — maka jika pemilik mengetahui hal tersebut, baik dengan melihat sendiri atau diberitahu orang yang terpercaya, maka pelaku ghasab sudah dianggap terbebas (dari tanggung jawab). Namun, jika pemilik tidak mengetahuinya hingga hewan tersebut lari lagi, maka ia tidak dianggap telah terbebas. Demikian ini dinukil oleh ar-Rafi’i dari al-Mutawalli di akhir bab.”

Lalu terkait dengan pertanyaan apakah diperbolehkan bersedekah diniatkan mengembalikan barang yang dighasab dengan alasan malu?

Menurut ulama fiqih, termasuk Syekh Zainuddin al-Malibari dalam Fathul Mu’in (hlm. 653), sedekah dengan niat mengganti barang yang dighasab karena merasa malu, sementara pemiliknya masih ada dan diketahui, tidak dianggap mencukupi. Bersedekah untuk kepentingan umum hanya diperbolehkan jika pemilik barang tersebut tidak diketahui keberadaannya. Berikut penjelasan lengkapnya:

فإذا تعذر رد الظلامة على المالك أو وارثه سلمها لقاض ثقة فإن تعذر صرفها فيما شاء من المصالح عند انقطاع خبره بنية الغرم له إذا وجده فإن أعسر عزم على الأداء إذا أيسر فإن مات قبله انقطع الطلب عنه في الآخرة إن لم يعص بالتزامه فالمرجو من فضل الله الواسع تعويض المستحق.

Artinya, “Apabila mengembalikan barang yang diambil secara zalim kepada pemiliknya atau ahli warisnya tidak memungkinkan, maka harta tersebut harus diserahkan kepada hakim yang terpercaya. Jika hal ini juga tidak memungkinkan, maka harta tersebut bisa digunakan untuk kepentingan umum yang maslahat, jika kabar pemiliknya sudah tidak diketahui lagi. Niatnya untuk mengganti kepada pemiliknya, jika suatu saat pemiliknya ditemukan. Jika seseorang dalam keadaan tidak mampu untuk mengembalikannya, ia harus bertekad untuk mengembalikannya saat ia sudah mampu. Dan jika ia meninggal sebelum sempat mengembalikannya, maka tidak ada tuntutan atasnya di akhirat selama ia tidak berbuat dosa dalam memenuhi kewajibannya tersebut. Diharapkan dari kemurahan Allah yang luas, bahwa orang yang berhak atas harta tersebut akan mendapatkan ganti rugi dari Allah Ta’ala.”

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa tobat dari menzalimi orang lain, khususnya yang melibatkan hak-hak harta, harus disertai dengan mengembalikan barang yang diambil atau meminta halal kepada yang bersangkutan.

Mengganti dengan sedekah tidak dibenarkan selama pemilik atau ahli warisnya masih ada dan diketahui secara pasti. Rasa malu tidak bisa dijadikan alasan yang sah untuk menghindari kewajiban ini.

Hal ini juga menjadi peringatan keras bagi kita semua bahwa menzalimi orang lain, baik dalam hal harta, kehormatan, atau lainnya, bukanlah perkara sepele. Tuntutannya akan berlanjut hingga di akhirat jika tidak diselesaikan di dunia. Wallahu a’lam.

Sumber: Bahtsul-masail NU Online

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *