Sekapur Sirih

Mengenal Adab-Adab Dunia Tarekat

0
×

Mengenal Adab-Adab Dunia Tarekat

Sebarkan artikel ini
Mengenal Adab-Adab Dunia Tarekat

Mengenal Adab-Adab Dunia Tarekat

Oleh: Ustadz Amien Nurhakim (Dosen Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, Universitas PTIQ Jakarta)

Kabarnusa24.com, – Tarekat memiliki beberapa komponen inti, seperti guru (mursyid), murid (salik), amalan, zawiyah, dan adab. Guru tarekat, atau syekh maupun mursyid, memainkan peran sentral dalam membimbing murid untuk mencapai penghayatan spiritual.

Mengutip Yuslia Styawati dalam artikel “Mengenal Tarekat di Dunia Islam” yang diterbitkan dalam jurnal Spiritualis (vol. 5, no. 1, Maret: 63-87), seorang murid dalam tarekat harus menaati setiap perintah mursyidnya. Yuslia mengutip pandangan Ibnu ‘Arabi yang menyatakan bahwa seorang salik di hadapan gurunya seharusnya bersikap layaknya mayat di tangan orang yang memandikannya, sepenuhnya patuh dan tunduk.

Lebih terperinci lagi, adab seorang salik kepada gurunya seperti yang dikutip dari jurnal di atas (halaman 70), sebagaimana berikut:

1. Salik tidak boleh memiliki prasangka buruk atau meragukan gurunya.

2. Salik tidak boleh duduk di tempat yang biasanya ditempati oleh gurunya.

3. Salik tidak boleh menggunakan barang-barang yang biasanya digunakan oleh gurunya.

4. Ketika guru memerintahkan salik untuk melakukan sesuatu, ia harus segera melaksanakannya tanpa menunda.

5. Salik tidak boleh memberikan saran jika ia belum memahami tugas atau pekerjaan yang sedang dikerjakannya.

6. Jika salik melihat gurunya menuju suatu tempat, ia tidak boleh menanyakan ke mana tujuannya.

7. Salik tidak boleh menikahi janda gurunya setelah gurunya bercerai atau meninggal dunia.

8. Salik yang berani menentang gurunya dianggap telah menentang Allah karena seorang syekh tarekat dipandang sebagai perwujudan dari kehendak Allah.

Ketika kita membaca secara detail adab murid kepada gurunya dalam dunia tarekat sebagaimana di atas, mungkin kita akan merasa bingung dan heran, mengapa adab tersebut begitu ketat ‘hingga sebegitunya’.

Terlebih lagi, pola pengajaran dan interaksi antara guru dan murid dalam tarekat tidak dapat diterapkan dalam sistem pendidikan lain, seperti di sekolah, apalagi di universitas.

Karena itu, tidak semua mursyid atau kiai di pesantren mengizinkan para santrinya untuk mengikuti tarekat yang dianut olehnya. Alasannya, mungkin tidak semua santri dapat memahami dan menerima pola interaksi antara mursyid dan murid yang berlaku dalam dunia tarekat.

Di sisi lain, dalam dunia tarekat, keyakinan terhadap eksistensi adab-adab kepada guru tidak bisa ditawar dengan keraguan. Siapa pun murid yang tidak beradab, maka tidak wushul (sampai) ke hadirat Ilahi Rabbi. Muhammad bin ‘Abdillah bin Hasanain menjelaskan:

اعلم أن التمسك بالآداب هو الذي يوصل المريد إلى ما يبتغيه، فلا يصل مريد حضرة الرب جل شأنه، وهو عار عن الآداب

Artinya, “Ketahuilah bahwa berpegang teguh pada adab adalah sikap yang mengantarkan seorang murid kepada tujuannya. Seorang murid tidak akan sampai kepada hadirat Tuhan Yang Maha Mulia jika ia tidak beradab.” (Al-Fathur Rabbani fima Yahtajuhu ilaihil Murid At-Tijani, [Mesir, Maktabah al-Qahirah, t.t.], halaman 30).

Muhammad bin ‘Abdillah Hasanain penganut tarekat Tijaniyah menjelaskan, bahwa adab dalam dunia tarekat untuk wushul ilallah terbagi tiga, yaitu adab kepada diri sendiri, kepada syekh atau mursyid, dan kepada sahabat-sahabatnya.

Pertama, adab kepada dirinya sendiri adalah dengan senantiasa menjalankan perintah agama yang lurus dan menjauhi larangan-larangan yang ditetapkan oleh Allah. Dengan menjunjung adab dalam konteks ini, maka dirinya akan mendapat ridha dari Allah, beserta manusia seluruhnya, hingga memasuki surga kelak.

Kedua, adab terhadap syekh atau mursyid. Seorang murid harus selalu bersikap hormat di hadapan gurunya, karena dengan sikap ini murid akan mendapatkan ridha dari gurunya. Murid juga wajib menghormati gurunya, baik secara lahir maupun batin, yang berarti menjaga kehormatan gurunya, bahkan ketika gurunya tidak berada di hadapannya.

Selanjutnya, di antara adab terhadap guru adalah sebagai berikut: murid tidak boleh membantah gurunya, harus mengutamakannya di atas orang lain, tidak duduk ketika gurunya masih berdiri, tidak tidur di hadapan gurunya tanpa izin, tidak banyak bicara kecuali dengan izinnya, tidak menggunakan sajadah atau duduk di tempat yang khusus disediakan untuk gurunya, dan tidak menggunakan tasbih milik gurunya (halaman 31).

Murid tidak boleh mendesak gurunya dalam urusan apapun. Ia juga tidak diperkenankan melakukan perjalanan, menikah, atau melakukan sesuatu yang penting tanpa izin dari gurunya. Saat bersalaman, murid tidak boleh melakukannya jika tangan gurunya sedang memegang sesuatu, seperti pena.

Murid juga tidak boleh berjalan sejajar dengan gurunya kecuali dalam kegelapan, di mana ia harus berada di depan untuk melindungi gurunya dari hal-hal tak terduga. Murid tidak boleh memuji gurunya di hadapan musuhnya, karena hal itu dapat memicu cemoohan terhadap gurunya. Ia harus menjaga kehormatan gurunya, baik saat hadir maupun tidak, serta selalu memperhatikannya dengan hati agar memperoleh berkahnya. (halaman 32).

Murid tidak boleh bergaul dengan orang yang dibenci oleh gurunya, dan harus meyakini bahwa segala berkah yang diperolehnya berasal dari gurunya. Ia juga harus sabar terhadap sikap keras atau pengabaian dari gurunya, tanpa mempertanyakan alasan perlakuan gurunya terhadap dirinya dibandingkan dengan orang lain. Murid harus menaati setiap perintah gurunya dan tidak boleh menyelidiki ibadah atau kebiasaan pribadi gurunya. (halaman 32).

Murid tidak diperbolehkan memasuki ruang khalwat gurunya kecuali dengan izin, dan hanya boleh mengunjungi gurunya dalam keadaan suci. Ia harus selalu berprasangka baik kepada gurunya dalam segala situasi dan tidak membebani gurunya dengan sesuatu. Selain itu, murid tidak boleh menikahi wanita yang telah diceraikan atau ditinggalkan oleh gurunya setelah kematiannya. (halaman 32).

Secara umum, murid harus melakukan segala sesuatu yang membuat gurunya ridha dan menghindari hal-hal yang tidak disukai oleh gurunya. Adab-adab ini wajib bagi murid terhadap Syekh Tarekat dan juga kepada wakilnya, karena wakil tersebut mewakili sang Syekh. Adab ini juga berlaku untuk pemimpin tarekat lainnya, karena mereka merupakan bagian dari murid Syekh (hlm 32).

Ketiga, adab kepada teman dan sahabat seperguruan dalam satu tarekat. Di antaranya, murid harus berjabat tangan dengan penuh keramahan saat bertemu dan berpisah, serta selalu memulai dengan salam, “Assalamu’alaikum.” (halaman 33).

Murid juga tidak boleh memutuskan hubungan dengan saudara seiman. Ia harus menghormati yang lebih tua dan menyanyagi yang lebih muda, serta tidak mengutamakan dirinya kecuali apa yang memang Allah berikan kepadanya. Keterangan ini selarasan dengan sabda Rasulullah saw:

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيُوَقِّرْ كَبِيرَنَا

Artinya, “Bukanlah termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi yang muda dan tidak menghormati yang tua.” (HR. At-Tirmidzi).

Selain itu, murid harus mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri, menjenguk saat mereka sakit, menanyakan kabar jika mereka absen, dan berusaha mendapatkan keridhaan mereka. Adab seperti ini tentunya selaras dengan sabda Nabi saw:

إِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

Artinya, “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah sempurna keimanan salah seorang di antara kalian hingga ia mencintai bagi saudaranya sebagaimana apa yang ia cintai bagi dirinya sendiri.” (HR An-Nasai).

Selanjutnya, murid tidak boleh bersaing dalam hal-hal duniawi dengan saudaranya. Ia harus menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, dan membantu mereka dalam berzikir kepada Allah. Dalam hal mencintai Allah, ia harus bekerja sama dan mendorong saudaranya untuk melakukan hal-hal yang diridhai-Nya. (halaman 34).

Murid juga perlu menahan diri dari mencela mereka, memaafkan kesalahan mereka, mencintai orang yang mereka cintai, dan memusuhi orang yang memusuhi mereka. Ia harus memberikan bimbingan jika lebih tua, dan belajar dari mereka jika lebih muda. (halaman 34).

Murid juga tidak boleh memperluas kemudahan untuk dirinya sendiri sementara saudaranya dalam kesulitan. Sebaliknya, ia harus siap melayani, bahkan dengan hal-hal sederhana seperti menyajikan alas kaki. Saat berbicara, murid harus bersikap ramah, setuju, dan tidak menentang. Selain itu, ia tidak boleh membebani saudaranya dengan tugas yang berat atau memaksa mereka untuk meminta maaf. (halaman 34).

Murid juga tidak boleh memaksa saudara-saudaranya melakukan sesuatu kecuali ia yakin mereka mampu melakukannya. Ia harus berupaya semaksimal mungkin untuk menyenangkan mereka, yang dalam tarekat tidak dianggap berlebihan. Murid juga harus memprioritaskan orang yang dikenal karena keutamaannya di antara mereka dan memberinya tempat yang lebih luas dalam majelis (halaman 34).

Demikianlah adab-adab dalam dunia tarekat, baik yang berkaitan dengan diri sendiri, mursyid atau syekh, maupun terhadap saudara dan teman seperguruan.

Selain adab-adab yang telah penulis sebutkan dari referensi Tarekat Tijaniyyah, tentu saja masih banyak adab lainnya yang dijelaskan secara rinci oleh para penulis kitab tarekat lainnya. Wallahu a’lam.

Sumber: Tasauf/Akhlak — NU Oneline

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *