JAKARTA, Kabarnusa24.com – Shalat Jumat merupakan salah satu kewajiban utama bagi setiap Muslim yang telah memenuhi syarat-syaratnya, seperti laki-laki dewasa, sehat, dan tidak dalam perjalanan.
Shalat Jumat memiliki kedudukan yang sangat penting dalam Islam sebagai sarana pengingatakan kewajiban seorang Muslim kepada Allah SWT. Dalam Alquran, Allah SWT berfirman sebagai berikut ini:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا نُوْدِيَ لِلصَّلٰوةِ مِنْ يَّوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا اِلٰى ذِكْرِ اللّٰهِ وَذَرُوا الْبَيْعَۗ ذٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkan jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS Al-Jumu’ah: 9)
Akan tetapi, terkadang sebagian Muslim tidak menjalankan perintah shalat Jumat ini, baik karena sengaja maupun karena berhalangan. Lalu bagaimana hukumnya jika kewajiban tersebut ditinggalkan?
Menurut anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kiai Nurul Irfan, meninggalkan Shalat Jumaat tanpa udzur syar’i merupakan dosa besar.
Bahkan, dalam hadits disebutkan, bahwa jika seorang Muslim meninggalkan Shalat Jumat tiga kali berturut-turut, Allah SWT akan menempelkan cap pada hatinya sebagai tanda kemunafikan.
Dari Abu Hurairah dan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhum, bahwa mereka berdua mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda di atas tiang-tiang mimbarnya,
لَيَنْتَهِيَنَّ أقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمُ الجُمُعَاتِ أَوْ لَيَخْتِمَنَّ اللهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُونَنَّ مِنَ الغَافِلِينَ
“Hendaklah orang-orang berhenti dari meninggalkan Jumat atau Allah pasti akan menutupi hati mereka kemudian mereka menjadi orang-orang yang lalai.” (HR Muslim, no 865).
Dalam riwayat lain, disebutkan juga sebagai berikut.
مَنْ تَرَكَ ثَلاَثَ جُمَعٍ تَهَاوُنًا بِهَا طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ
“Barangsiapa meninggalkan shalat Jumat sebanyak tiga kali karena lalai terhadap shalat tersebut, Allah akan tutupi hatinya.” (HR Abu Daud, no 1052, An-N sai, no 1369, dan Ahmad 3:424)
Sementara itu, dari Usamah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ تَرَكَ ثَلاثَ جُمُعَاتٍ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ كُتِبَ مِنَ الْمُنَافِقِينَ
“Siapa yang meninggalkan shalat Jumat sebanyak tiga kali tanpa ada uzur, maka dicatat sebagai golongan orang munafik.” (HR Ath-Thabrani dalam Al-Kabir, dari riwayat Jabir Al-Ja’fi)
“Shalat Jumat adalah kewajiban yang harus dijalankan oleh setiap Muslim yang sehat dan tidak sedang dalam perjalanan. Jika seseorang sengaja meninggalkannya, maka ia tidak hanya berdosa, tetapi bisa dianggap sebagai orang munafik,” ungkap Kiai Nurul Irfan dalam wawancaranya bersama Media, Jumat (10/10/2024).
Menurutnya, meninggalkan shalat Jumat bagi Muslim sehat dan tidak musafir dapat dianggap sebagai bentuk kemurtadan, terutama jika orang tersebut mengabaikannya secara terus-menerus.
“Kemurtadan ini tidak selalu berarti keluar dari Islam, namun menunjukkan bahwa orang tersebut telah meninggalkan kewajiban yang penting dalam agama,” tambahnya.
Kiai Nurul Irfan pun menjelaskan, seorang Muslim yang memiliki udzur seperti musafir atau sakit, meninggalkan shalat Jumat tidaklah berdosa. Mereka diperbolehkan menggantinya dengan shalat Zuhur.
“Orang yang sedang bepergian atau dalam kondisi sakit tidak diwajibkan shalat Jumat. Mereka boleh menggantinya dengan shalat Zuhur,” jelasnya.
Sementara itu, bagi perempuan, shalat Jumat tidaklah wajib. Mereka boleh melaksanakan shalat Zuhur di rumah atau ikut shalat Jumat jika mereka menginginkannya.
Kiai Nurul Irfan mengingatkan agar Muslim tidak meremehkan kewajiban sholat Jumat. Menurtnya, shalat adalah pembeda antara Muslim dan non-Muslim.
“Jika seseorang meninggalkan shalat, termasuk shalat Jumat, maka ia bisa disebut murtad atau kafir, meskipun istilah ini tidak selalu menunjukkan bahwa ia keluar dari Islam,” ungkapnya.
Melalui penjelasannya ini, Kiai Nurul Irfan mengajak umat Islam untuk memperhatikan pentingnya shalat Jumat demi menjaga keimanan dan menghindari dosa besar.
Sumber: Majlis Ulama Indonesia (MUI)