Kabarnusa24.com
Jakarta Timur: Pengacara Publik LBH Jakarta, Charlie Albajili mengatakan sidang pertama pembacaan gugatan antara warga masyarakat terhadap Presiden RI dan Mendagri RI terkait perbuatan melawan hukum dalam pengangkatan penjabat kepala daerah telah berlangsung pada Kamis (05/01/2023).
Pembacaan gugatan perkara yang teregistrasi dengan nomor: 422/G/TF/2022/PTUN.JKT tersebut dilaksanakan secara elektronik.
“Pembacaan gugatan tersebut dilakukan setelah menempuh proses dismissal dan pemeriksaan persiapan yang kemudian menyimpulkan PTUN Jakarta berwenang memeriksa gugatan tersebut,” ujar Charlie Albajili dalam keterangan resminya, di Jakarta, Kamis (05/01/2023).
Menurutnya, pembacaan gugatan juga menandai proses pemeriksaan terhadap aspek substansial dan prosedural gugatan resmi dimulai dan terbuka untuk umum.
Sebelumnya, kata dia, pada 28 November 2022 lalu, LBH Jakarta mewakili 3 (tiga) orang individu warga masyarakat dan Yayasan Perludem sebagai organisasi pemerhati Pemilu dan demokrasi mendaftarkan gugatan tersebut kepada PTUN Jakarta.
Gugatan diajukan atas dasar perbuatan melawan hukum penguasa _(Onrechtmatige Overheidsdaad)_ yang dilakukan Presiden RI dan Mendagri RI dalam melakukan serangkaian pengangkatan penjabat kepala daerah, tanpa terlebih dahulu membentuk peraturan pelaksanaan mengenai tata laksana penjabat kepala daerah yang diamanatkan Undang-Undang hingga Putusan Mahkamah Konstitusi.
“Tindakan tersebut melanggar serangkaian ketentuan perundang-undangan dan juga Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB),” tandasnya.
Ia memerinci, ada tiga hal utama yang dipermasalahkan LBH Jakarta dalam gugatan tersebut.
Pertama, kata Charlie, Presiden mengabaikan tanggung jawab hukumnya untuk membuat Peraturan Pemerintah terkait Pasal 201 ayat (9), (10), dan (11) UU No. 10 Tahun 2016 yang diperlukan untuk mengatur mekanisme dan persyaratan yang terukur dan jelas terkait pengisian penjabat kepala daerah beserta batasan kewenangannya.
“Padahal tanggung jawab tersebut telah digariskan dalam Pasal 205 C UU No. 10 Tahun 2016, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XIX/2021, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XX/2022. Terakhir bahkan dikuatkan kembali oleh rekomendasi Ombudsman RI. Atas dasar tersebut, tindakan pemerintah bertentangan dengan UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada,” ujarnya.
Yang kedua, lanjut dia, pengabaian tanggung jawab hukum oleh Presiden untuk membentuk peraturan pelaksanaan menimbulkan polemik meluas dalam penunjukan penjabat di berbagai daerah.
“Terhitung sejak Mei hingga November 2022, telah terdapat 88 penjabat yang dilantik di berbagai daerah oleh Pemerintah Pusat. Di berbagai daerah penunjukan sepihak oleh Pemerintah Pusat tanpa mekanisme dan persyaratan yang jelas mendapatkan tentangan dari masyarakat, bahkan pemerintah daerah setempat, seperti warga Banten yang menggugat penunjukan kepala daerah hingga Gubernur Sulawesi Tenggara yang menolak melantik penjabat bupati atau walikota,” bebernya.
Lebih parah, kata dia, dwifungsi TNI seolah dihidupkan kembali ketika TNI aktif diangkat sebagai penjabat di beberapa wilayah, seperti di Provinsi Aceh, yang memicu adanya gugatan masyarakat.
Tak hanya itu, di beberapa wilayah seperti Jakarta, protes masyarakat marak diajukan lantaran ketidakjelasan batasan kewenangan penjabat ketika menyimpang dari Rencana Pembangunan Daerah (RPD) yang disepakati sebagai acuan kerja hingga Pilkada serentak.
Atas dasar tersebut, tambah dia, tindakan pemerintah bertentangan dengan serangkaian kaidah-kaidah Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) mulai dari asas kepastian hukum, asas kemanfaatan, asas kecermatan, asas keterbukaan, asas ketidakberpihakan, hingga asas kepentingan umum.
Permasalahan yang ketiga, lanjut Charlie, Presiden berpotensi menyalahgunakan kekuasaan dalam pengangkatan penjabat kepala daerah yang mengancam otonomi daerah dan hak politik masyarakat.
“Perlu ditekankan bahwa prinsip otonomi daerah dan desentralisasi menjadi tonggak pemerintahan daerah yang membedakannya dengan rezim otoriter orde baru yang sentralistik,” katanya.
Masih menurutnya, ketiadaan aturan yang jelas berpotensi membuka ruang penyalahgunaan kekuasaan _(abuse of power)_ oleh pemerintah pusat yang mengakibatkan penunjukan penjabat tidak transparan dan akuntabel, serta tidak menghasilkan pemimpin yang kompeten, berintegritas, dan sesuai aspirasi daerah sebagaimana disampaikan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi.
“Praktik yang terjadi hari ini dalam pengisian penjabat kepala daerah kembali memusatkan kekuasaan dan otoritas pada pemerintah pusat yang tentu saja mengancam prinsip otonomi daerah. Serangkaian hal tersebut melanggar berbagai aspek administrasi pemerintahan yang diatur dalam UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan,” kata Charlie.
Ia menambahkan, berdasarkan tiga permasalahan tersebut, LBH Jakarta bersama para Penggugat meminta kepada Majelis Hakim PTUN Jakarta yang memeriksa perkara ini untuk menjatuhkan putusan yakni pertama, mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk seluruhnya.
“Yang kedua, menyatakan batal atau tidak sah Tindakan Pemerintahan Berupa Perbuatan Tidak Bertindak _(Omission)_ oleh Para Tergugat yang tidak melakukan serangkaian tindakan pemerintahan untuk menerbitkan peraturan pelaksana sebagai tindak lanjut dari keberlakuan Pasal 201 ayat (9), (10), dan (11) UU No. 10 Tahun 2016,” kata Charlie.
Yang ketiga, lanjut dia, yakni Majelis Hakim menyatakan batal atau tidak sah tindakan Tergugat I dan Tergugat II dalam pengangkatan dan pelantikan penjabat kepala daerah di 88 (Delapan Puluh Delapan) daerah (Kota/Kabupaten dan Provinsi) selama kurun waktu sejak 12 Mei 2022 sampai dengan 25 November 2022 yang dilakukan tanpa terlebih dahulu menerbitkan peraturan pelaksana sebagai tindak lanjut dari keberlakuan Pasal 201 ayat (9), (10), dan (11) UU No. 10 Tahun 2016 sebagaimana dimandatkan ketentuan Pasal 205 C UU No. 10 Tahun 2016, jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XIX/2021, tertanggal 20 April 2022, jo Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XX/2022;
Kemudian, yang keempat meminta agar Majelis Hakim memerintahkan Para Tergugat untuk melakukan serangkaian tindakan pemerintahan untuk menerbitkan peraturan pelaksana sebagai tindak lanjut dari keberlakuan Pasal 201 ayat (9), (10), dan (11) UU No. 10 Tahun 2016 sebagaimana dimandatkan ketentuan Pasal 205 C UU No. 10 Tahun 2016, jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XIX/2021, tertanggal 20 April 2022, jo Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XX/2022.
“Selanjutnya yang kelima agar Majelis Hakim memerintahkan Para Tergugat untuk tidak melakukan serangkaian tindakan pengangkatan dan pelantikan penjabat kepala daerah kembali sebelum adanya peraturan pelaksana sebagai tindak lanjut dari keberlakuan Pasal 201 ayat (9), (10), dan (11) UU No. 10 Tahun 2016,” pungkas Charlie mengakhiri, seraya mengatakan persidangan selanjutnya akan digelar pada Kamis (12/01/2023) pekan depan secara elektronik dengan agenda pembacaan jawaban Tergugat. (R)