Sekapur Sirih

Perceraian dan Dampaknya Bagi Remaja

15
×

Perceraian dan Dampaknya Bagi Remaja

Sebarkan artikel ini
Perceraian dan Dampaknya Bagi Remaja

KABARNUSA24.COM — Dalam sebuah kajian saya ditanya, “Bagaimana jika saya dilarang ketemu sama papa saya? Hanya karena papa dan mama saya sudah berpisah.” Gadis yang bertanya itu tampaknya memang sedang ada masalah. Dia bertanya sambil menahan air mata. Sesekali kerudung kecilnya menjadi kain pengusap matanya.

Tidak hanya satu, ternyata pertanyaan yang hampir sama dilontarkan oleh penanya berikutnya. Ia bertanya bagaimana jika ibunya dicerai karena nakal. Apa yang harus dia lakukan untuk mendakwahi ibunya itu.

Pertanyaan semakin seru. Saya pun terharu. Saya tidak pernah mendapatkan pertanyaan seperti ini sebelumnya.

Perceraian adalah sebuah monster. Setidaknya itu yang saya tangkap dari wajah anak-anak SMA itu. Mereka sama sekali tidak menginginkannya. Yang mereka mau, sebuah keluarga nan utuh yang bisa membawa keharmonisan, bukan peperangan. Tapi yang mereka terima justru sebaliknya. Keluarganya pecah masing-masing dengan egonya, dan perahu rumah tangga tak bisa berlayar lagi. Harus terhempas karang dan pecah, remuk tak berbentuk lagi.

Mereka hanya tahu bahwa ayah dan ibunya harus bersatu. Tidak boleh pisah lagi. Untuk apa pisah, bukankah mereka keluarga. Untuk apa harus tinggal di rumah yang berbeda, padahal mereka adalah satu keluarga yang awalnya utuh? Demi apakah hingga perpisahan itu harus ada? Nalar mereka mencoba menolaknya, tetapi kenyataan itu begitu tampak nyata menganga di depan mata.

Perceraian menggores luka nan dalam bagi remaja. Mereka yang masih butuh sosok ayah dan ibu utuh, akhirnya harus menelan kenyataan bahwa ayahnya tak lagi bersama dia. Sosoknya hilang tergantikan dengan kesepian tanpa ayah di rumah. Hanya ada ibu yang sendiri. Kadang tak mau dengar keluhan dia, dan justru bentakan yang selalu dia terima.

Mereka akhirnya merasa tertolak. Di rumah merasa tidak nyaman. Buat apa di rumah, rasanya sudah seperti neraka. Tak ada lagi yang mau mengerti rasa yang ada dalam dirinya. Sudah sepi, kesepian, sendiri tanpa teman. Di rumah yang ada hanya masalah. Sehingga dia tidak betah. Pengen segera pergi menjauh. Seolah-olah ingin berkata, “Ini hanya mimpi buruk saja. Bangun!”

Tapi ini bukan mimpi. Ini adalah sebuah kenyataan pahit yang harus dia telan. Sementara dia tidak siap untuk menghadapi semua ini. Dia masih ingin bermanja dengan ayahnya. Bergelayutan di bahunya sama kayak masa kecil dulu. Masih ingin bercanda main kuda-kudaan berkeliling ruang tamu. Atau lempar-lemparan bantal di atas kasur keluarga. Itu semua kini sudah tidak mungkin lagi. Semuanya sudah bubar.

Lalu apa yang akan remaja lakukan. Ia akan menutup diri. Ia pendam semuanya sendiri. Sebab bercerita dengan orang lain tidak membantu apa-apa. Air mata? Sudah kering tampaknya. Tak ada lagi air mata berlinang, karena semuanya sudah selesai. Batinnya tak ada yang bisa mendengar. Ibunya sibuk menutupi kebutuhan keluarga. Kadang sampai malam ibunya baru pulang. Ia sendirian di rumah tanpa kawan dan tanpa teman. Hidupnya kosong.

Saat seperti ini mudah sekali setan masuk mengganggu pikirannya. Memasukkan bisikan-bisikan yang menyesatkan hidupnya. Bergaullah dia dengan orang-orang yang bernasib sama. Mereka melampiaskan bebannya dengan apa saja. Menjadi liar, nakal, memprotes kejenuhan yang membelenggu mereka.

Jadilah mereka remaja yang susah dikendalikan. Hidupnya terserah dirinya sendiri. Baginya dunia sudah berlaku kejam, maka dia akan kejam pada dirinya sendiri. Dia tak butuh nasihat, seolah bisa hidup sendiri dengan kaki mungilnya. Padahal dia masih remaja.

Mulailah tampak eksistensi diri. Dia ingin diakui, ingin dipahami, dianggap ada, maka dia melakukan apa yang bisa dia lakukan. Dia menampilkan dirinya dengan asesoris-asesoris versi dirinya. Inilah saya, dan mau tidak mau Anda harus terima saya. Dandan dengan tindik di telinga, atau bergaya pakaian beda dengan remaja lainnya. Pilihan musik pun, tidak musik yang seperti orang biasa dengar. Penuh aroma kemarahan.

Sebelum itu terjadi…

Maka rangkullah remaja kita wahai ibunda… Cegahlah perceraian, jangan sampai terjadi. Usahakan tetap utuh dalam bingkai pernikahan yang bahagia. Pikirkanlah masa depan anak-anak remaja kita kelak. Jaga pertumbuhan mereka agar kelak menjadi remaja yang punya sosok ayah dan ibu yang lengkap.

Kitalah orang-orang yang akan mendengar keluhan-keluhan mereka. Kita pula yang akan mengarahkan, menjawab pertanyaan, serta mengobati keingintahuan mereka. Bukan pergaulan yang salah, bukan orang yang salah, dan bukan teman-teman yang salah yang akan melakukan itu semua. Tapi kita, orang tuanya.

Maka segeralah lakukan antisipasi jika semua itu terjadi. Perubahan itu bisa dibaca, bisa dideteksi, ada apa dengan anak saya, kenapa dia berubah, kenapa dia begini dan kenapa dia begitu. Perubahan itu tidak mendadak langsung berubah, tapi ada sekian rentetan proses panjang yang harus dipahami dan diketahui. Maka jika itu sudah bermula, segeralah rangkul anak-anak kita dan jadikan kita sebagai orang pertama yang tahu apa masalah mereka.

Sumber: dakwah.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *