Kabarnusa24.com, – Berikut ini uraian penjelasan singkat jawaban atas pertanyaan mengenai pembahasan Hukum Fiqih tentang Shalat Sunah Berjamaah dengan Imam Shalat Fardhu berdasarkan pendapat 4 mazhab (Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali) menjadi sandaran hukum, dilansir Kabarnusa24.com dari ulasan artikel Nu.or.id.
Assalamu’alaikum wr wb. Mohon maaf ingin bertanya ustadz. Bagaimana hukumnya jika ada orang shalat sunah tapi berjamaah dengan shalat fardhu, dan ia baru mengetahuinya ketika di pertengahan shalat, karena dalam kondisi masbuk? Terimakasih (Fathimatuzzahro).
Jawaban:
Wa’alaikumussalam wr wb. Terima kasih atas pertanyaannya, semoga kita selalu dalam rahmat dan lindungan Allah swt. Amin.
Berkaitan dengan pertanyaan yang disampaikan, menurut mazhab Syafi’i, hukum shalat sunah berjamaah dengan imam shalat fardhu adalah boleh dan mendapat pahala keutamaan jamaah. Begitu pula kebalikannya, yakni makmum shalat fardhu dengan imam shalat sunah.
Dalam pembahasan hukum berjamaah, shalat sunah dibagi menjadi dua:
1. Shalat sunah yang dianjurkan untuk berjamaah seperti shalat ‘id dan tarawih;
2. Shalat sunnah yang tidak dianjurkan untuk berjamaah seperti shalat dhuha, qabliyah, ba’diyah, dan tahajjud.
Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa dalam permasalahan shalat berjamaah antara shalat fardhu dan shalat sunah terdapat perbedaan pendapat dari empat mazhab:
1. Menurut mazhab Syafi’i dan Hanbali, jamaah shalat sunah dengan imam shalat fardhu hukumnya boleh dan sah, begitu pula sebaliknya.
2. Menurut satu riwayat dari Imam Malik, tidak boleh berjamaah antara shalat fardhu dan shalat sunnah. Begitu pula antara dua shalat fardhu yang berbeda, semisal shalat dhuhur dengan shalat ashar.
3. Menurut Abu Hanifah dan satu riwayat dari Imam Malik, shalat berjamaah antara dua shalat yang berbeda hanya diperbolehkan jika makmum melaksanakan shalat sunah dan imam melaksanakan shalat fardhu.
Sedangkan jika makmum melaksanakan shalat fardhu dan imam melaksanakan shalat sunah, atau keduanya melaksanakan shalat fardhu yang berbeda, maka hukumnya tidak diperbolehkan.
قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ مَذْهَبَنَا جَوَازُ صَلَاةِ الْمُتَنَفِّلِ وَالْمُفْتَرِضِ خَلْفَ مُتَنَفِّلٍ وَمُفْتَرِضٍ فِي فَرْضٍ آخَرَ وَحَكَاهُ ابْنُ الْمُنْذِرِ عَنْ طَاوُسٍ وَعَطَاءٍ وَالْأَوْزَاعِي وَأَحْمَدَ وَأَبِي ثَوْرٍ وَسُلَيْمَانَ بْنِ حَرْبٍ قَالَ وَبِهِ أَقُوْلُ وَهُوَ مَذْهَبُ دَاوُدَ
Artinya, “Telah kami sebutkan bahwa mazhab kita (Syafi’iyah) adalah diperbolehkan shalat sunnah dan fardhu di belakang (imam) yang melaksanakan shalat sunnah, dan juga diperbolehkan shalat wajib di belakang imam yang melaksanakan shalat wajib lainnya. Ibnu al-Mundhir meriwayatkannya dari Thawus, Atha’, Al-Auza’i, Ahmad, Abu Tsaur, dan Sulaiman bin Harb. Beliau berkata, ‘Dan aku mengucapkannya,’ dan itu adalah mazhab Dawud.”
وَقَالَتْ طَائِفَةٌ لَايَجُوْزُ نَفْلٌ خَلْفَ فَرْضٍ وَلَا فَرْضٌ خَلْفَ نَفْلٍ وَلَا خَلْفَ فَرْضٍ آخَرَ قَالَهُ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ وَالزُّهْرِى وَيَحْيَى بْنُ سَعِيْدٍ الْأَنْصَارِي وَرَبِيْعَةُ وَأَبُو قَلَابَةَ وَهُوَ رِوَايَةٌ عَنْ مَالِكٍ
Artinya, “Sekelompok ulama berkata, ‘Tidak boleh menunaikan shalat sunnah di belakang shalat wajib, juga tidak boleh shalat wajib di belakang shalat sunnah, tidak pula di belakang shalat wajib lainnya,’ ini pendapat Al-Hasan Al-Bashri, Az-Zuhri, Yahya bin Sa’id Al-Ansari, Rabi’ah, dan Abu Qalabah, serta menjadi salah satu riwayat Malik’.”
وَقَالَ الثَّوْرِيُّ وَأَبُوْ حَنِيْفَةَ لَايَجُوْزُ الْفَرْضُ خَلْفَ نَفْلٍ وَلَا فَرْضٍ آخَرَ وَيَجُوْزُ النَّفْلُ خَلْفَ فَرْضٍ وَرُوِيَ عَنْ مَالِكٍ مِثْلُهُ
Artinya, “Al-Tsauri dan Abu Hanifah berkata: Tidak boleh menunaikan shalat fardhu di belakang shalat sunnah atau shalat fardhu lainnya, dan diperbolehkan menunaikan shalat sunnah di belakang shalat fardhu, dan diriwayatkan bahwa Imam Malik juga berpendapat yang sama.” (Al-Majmu’, [Saudi Arabia, Maktabah Al-Irsyad: t.t.] juz IV, halaman 169).
Uraian kitab Al-Majmu’ di atas menjelaskan baha menurut mazhab Syafi’iyah, Ahmad bin Hanbal, Abu Hanifah, dan satu riwayat dari Malik, diperbolehkan melaksanakan shalat sunah berjamaah dengan imam yang melaksanakan shalat fardhu.
Sedangkan jika makmum melaksanakan shalat fardhu dengan imam yang melaksanakan shalat sunnah, maka diperbolehkan menurut mazhab Syafi’i dan Hanbali.
Kemudian yang dikehendaki dengan hukum boleh berjamaah di atas adalah dianggap sah dan mendapat pahala keutamaan jamaah, meskipun dihukumi makruh (sebaiknya tidak dilakukan), karena dua shalat tersebut memiliki sifat yang berbeda, yaitu sunah dan wajib.
Syekh Zakariya Al-Anshari menjelaskan, berjamaah antara dua shalat yang berbeda macam atau sifatnya hukumnya makruh, meskipun tetap mendapat keutamaan jamaah.
قَوْلُهُ إِذَا اتَّفَقَ فِيْهَا صَلَاتَا الْإِمَامِ وَالْمَأْمُوْمِ أَيْ عَدَدًا وَنَوْعًا كَظُهْرَيْنِ فَإِنِ اخْتَلَفَا نَوْعًا فَقَطْ كَعَصْرٍ خَلْفَ ظُهْرٍ أَوْ نَوْعًا وَصِفَةً كَمَغْرِبٍ خَلْفَ ظُهْرٍ كَانَتْ الْجَمَاعَةُ مَكْرُوْهَةً وَ مَعَ ذَلِكَ تَحْصُلُ فَضِيْلَتُهَا كَفَرْضٍ خَلْفَ نَفْلٍ وَعَكْسِهِ
Artinya, “Pernyataan jika sama shalatnya imam dan makmum, maksudnya sama dalam jumlah rakaat dan macamnya, seperti dua shalat dhuhur. Jika shalat imam dan makmum berbeda macamnya seperti shalat asar (berjamaah) di belakang (imam) shalat dhuhur, atau berbeda macam dan sifatnya seperti shalat maghrib di belakang shalat dhuhur, maka hukum jamaahnya menjadi makruh tetapi tetap mendapat keutamaan (fadlilah) jamaah, seperti shalat fardhu di belakang shalat sunnah, begitu juga sebaliknya.” (Tuhfatut Thullab, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2006], halaman 211).
Jadi, hukum berjamaah shalat sunah dengan shalat fardhu adalah boleh dan mendapat pahala jamaah, akan tetapi hukumnya makruh (sebaiknya tidak dilakukan) karena perbedaan sifat antara shalat imam dan makmum. Wallahu a’lam bis shawab.
(Oleh: Muhammad Zainul Millah, Khadim Pesantren Fathul Ulum Wonodadi Blitar)