Religi

Tidak Shalat karena Menunggu Orang Sakit, Bagaimana Hukumnya?

22
×

Tidak Shalat karena Menunggu Orang Sakit, Bagaimana Hukumnya?

Sebarkan artikel ini
Tidak Shalat karena Menunggu Orang Sakit, Bagaimana Hukumnya?
Menunggu orang sakit (ilustrasi)

Kabarnusa24.com,-

Pertanyaan: Assalamu’alaikum wr wb. Yang terhormat pengasuh Bahtsul Masail, saya izin bertanya, bagaimana hukum menemani orang sakit yang tidak bisa ditinggal hingga meninggalkan shalat? Apakah dosa atau tidak, dan apakah boleh shalatnya diganti dengan qadha? (Hamba Allah).

Jawaban: Wa’alaikumussalam wr wb. Penanya yang budiman, semoga kita selalu dalam lindungan Allah swt.

Perlu diketahui, shalat merupakan salah satu pilar utama dalam ajaran Islam. Shalat merupakan ibadah yang ditetapkan langsung oleh Allah melalui wahyu-Nya dalam Al-Qur’an, dan diperkuat dengan sabda Nabi Muhammad saw.

Kewajiban ibadah yang satu ini telah dinash secara jelas, baik dalam Al-Qur’an maupun hadits. Salah satunya sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an:

اِنَّ الصَّلٰوةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتٰبًا مَّوْقُوْتًا

Artinya, “Sesungguhnya salat itu merupakan kewajiban yang waktunya telah ditentukan atas orang-orang mukmin.” (QS An-Nisa’: 103).

Rasulullah saw dalam salah satu haditsnya menyebutkan, shalat merupakan ibadah yang menjadi pilar penting dan tiang agama Islam. Nabi saw menggambarkan shalat sebagai fondasi utama yang menopang seluruh bangunan keimanan seorang Muslim. Rasulullah bersabda:

اَلصَّلاَةُ عِمَادُ الدِّيْنِ فَمَنْ أَقَامَهَا فَقَدْ أَقَامَ الدِّيْنَ وَمَنْ هَدَمَهَا فَقَدْ هَدَمَ الدِّيْنَ

Artinya, “Shalat adalah tiang agama. Siapa saja yang menunaikannya, maka ia menegakkan agama, dan siapa saja meninggalkannya, maka ia telah meruntuhkan agama.” (HR At-Thabarani).

Dari ayat dan hadits di atas dapat dipahami, shalat adalah kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan dalam keadaan apapun. Shalat merupakan pilar utama dalam Islam, yang dinyatakan secara tegas dalam Al-Qur’an dan hadits.

Rasulullah saw menggambarkan shalat sebagai tiang agama yang menopang seluruh bangunan keimanan. Menegakkan shalat berarti menegakkan agama, sedangkan meninggalkannya sama dengan meruntuhkan agama.

Berkaitan dengan pertanyaan di atas, perlu penulis jelaskan, bahwa penjaga pasien di rumah sakit atau lainnya hanyalah sekadar penjaga, yang tidak memiliki peran urgen bagi kesehatan dan kesembuhan pasien sebagaimana dokter. Dengan demikian, keberadaan dan ketiadaannya tidak sepenting dokter dalam hal-hal yang berkaitan langsung dengan pengobatan.

Selain itu, menjaga pasien tidaklah termasuk dari uzur-uzur shalat, sehingga orang yang menjaga pasian tetap wajib menunaikan shalat. Adapun tugas menjaganya bisa digantikan kepada yang lain saat menunaikan shalat yang hanya perlu beberapa menit.

Sedangkan yang dimaksud uzur shalat dalam konteks ini adalah ia tidak dosa apabila mengakhirkan shalat hingga keluar dari waktunya. Uzur shalat hanya ada dua, yaitu tidur dan lupa.

Orang yang tidur sebelum masuk waktu shalat, kemudian terbangun setelah keluarnya waktu, maka tidak dosa baginya. Begitu juga orang yang lupa, ia juga tidak berdosa disebabkan kelupaannya.

Sebab itu, keduanya mendapatkan dispensasi dalam Islam karena tidur dan lupa memang bukan dalam kendali manusia. Syekh Salim bin Abdillah Al-Hadrami, yaitu:

أَعْذَارُ الصَّلاَةِ اِثْنَانِ: أَيْ لاَ يَأْثَمُ مَنْ أَخَّرَ الصَّلاَةَ عَنْ وَقْتِهَا بِسَبَبِهَا، النَّوْمُ وَالنِّسْيَانُ

Artinya, “Uzur-uzur shalat itu ada dua, maksudnya adalah orang yang mengakhirkan shalat dari waktunya dengan sebab tersebut tidak berdosa, yaitu; (1) tidur; dan (2) lupa.” (Nailur Raja bi Syarhi Safinatin Naja, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: tt], halaman 59-60).

Sebab itu, orang yang menjaga pasien di rumah sakit atau lainnya tidak boleh meninggalkan shalat, karena kondisi tersebut tidak masuk dalam kategori uzur shalat. Jika dalam kondisi ini ia meninggalkan shalat, maka ia berdosa. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Syekh Nawawi Banten:

فَتَجِبُ الصَّلاَةُ فِي هَذِةِ الْأَوْقَاتِ وَتَقْدِيْمُهَا عَلَيْهَا وَتَأْخِيْرُهَا عَنْهَا مِنْ أَكْبَرِ الْمَعَاصِي وَأَفْحَشِ السَّيِّئَاتِ

Artinya, “Maka wajib menunaikan shalat pada waktu-waktu tersebut. Adapun mengedepankan shalat dari waktunya atau mengakhirkan shalat dari waktunya, merupakan paling besarnya maksiat dan paling jeleknya perbuatan jelek.” (Sullamul Munajah ‘ala Safinatis Shalah, [Beirut,Darul Kutub Ilmiah: tt], halaman 27).

Karena itu, shalat adalah kewajiban mutlak yang harus dijaga oleh semua umat Islam yang sudah baligh, berakal, laki-laki maupun perempuan, serta suci dari haid dan nifas bagi wanita.

Orang-orang yang sudah memenuhi syarat wajib tersebut, tidak boleh baginya untuk meninggalkan shalat dalam kondisi apapun, termasuk menjaga orang sakit.

Bila terlanjur tidak shalat bagaimana?

Perlu diketahui, setiap kewajiban dalam Islam harus dilakukan sesuai dengan ketentuan dan waktunya. Jika tidak memungkinkan, sebagaimana dalam pertanyaan di atas, maka tetap diwajibkan untuk menggantinya atau qadha di luar waktu yang telah ditentukan.

Misal tidak shalat Dzuhur pada waktunya, maka hendaknya mengganti shalat tersebut sesegera mungkin; atau kalau masih sangat sibuk mengurus orang yang sakit, maka bisa mengikuti pendapat yang membolehkan penundaan shalat qadha, sebagimana pendapat Sayyid Abdullah Al-Hadad, asalkan jangan sampai menyepelekannya.

وَيَلْزَمُ التَّائِبَ أَنْ يَقْضِيَ مَا فَرَّطَ فِيْهِ مِنَ الْوَاجِبَاتِ كَالصَّلاَةِ وَالصَّوْمِ وَالزَّكاَةِ لاَ بُدَّ لَهُ مِنْهُ وَيَكُوْنُ عَلىَ التَّرَاخِي وَالْاِسْتِطَاعَةِ مِنْ غَيْرِ تَضْيِيقٍ وَلَا تَسَاهُل

Artinya, “Dan wajib bagi orang yang bertobat untuk mengqadha (mengganti) kewajiban-kewajiban yang ia lalaikan, seperti shalat, puasa, dan zakat. Ia harus melakukannya, namun dapat dilakukan secara bertahap dan sesuai kemampuan, tanpa kesempitan waktu dan tanpa menyepelekannya .” (Abdurrahman Al-Hadrami, Bughyatul Mustarsyidin, [Beirut: Darul Fikr, tt], halaman 71).

Apakah Ada Solusi Lain?

Namun demikian, terdapat salah satu solusi bagi orang yang memang benar-benar sibuk mengurusi orang sakit, yaitu dengan menggabungkan (jamak) shalat. Misal menggabungkan shalat Dzuhur dengan Ashar di waktu Dzuhur (jamak taqdim), di waktu Ashar (jamak ta’khir).

Imam An-Nawawi mengatakan, jamak shalat tidak harus karena ada uzur sakit atau rasa takut. Pendapat ini adalah pendapat Imam Ibnul Munzir, salah satu ulama mazhab Syafi’iyah:

وَقَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ مِنْ أَصْحَابِنَا يَجُوْزُ الْجَمْعُ فِي الْحَضَرِ مِنْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ مَطَرٍ وَلاَ مَرَضٍ

Artinya, “Berkata Imam Ibnul Munzir dari kalangan mazhab Syafi’i: “Diperbolehkan menjamak shalat di rumah sekalipun tidak karena takut, tidak karena hujan, tidak pula karena sakit.” (Al-Majmu’ Syarhul Muhaddzab, [Beirut: Darul Fikr, tt], jilid IV, halaman 384).

Kendati ada yang membolehkan, pendapat Ibnul Munzir di atas tidak boleh dijadikan kebiasaan dan pijakan untuk semena-mena dalam menjalankan syariat Islam. Pendapat tersebut boleh digunakan hanya dalam kondisi-kondisi yang sangat mendesak saja. Sedangkan dalam keadaan yang tidak mendesak, maka mengikuti pendapat mayoritas ulama yang tidak membolehkan menjamak shalat kecuali dengan alasan-alasan tertentu dalam bab jamak shalat.

Dari beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan, orang yang sedang menjaga pasien tidak diperbolehkan baginya untuk meninggalkan shalat, karena dalam kondisi tersebut, masih sangat bisa untuk mencari pengganti, sekaligus keberadaan dan ketiadaannya tidak memiliki dampak apa-apa pada pasien. Jika meninggalkan shalat, maka tetap berdosa dan wajib untuk diganti.

Demikian penjelasan tentang hukum tidak shalat karena menjaga orang sakit. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bisshawab.

Oleh: Ustadz Sunnatullah (Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur).

Sumber: Bahtsul Masail NU Online

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *