Kabarnusa24.com | MAKKAH — Haid merupakan kodrat perempuan. Perempuan yang sedang menstruasi dilarang untuk salat. Dalam konteks haji, kerap timbul pertanyaan bagaimana hukum perempuan yang akan menunaikan wukuf dan tawaf sedang berhalangan atau haid.
Pembimbing Ibadah (Musytasyar din) PPIH Arab Saudi, Abdul Moqsith Ghazali mengatakan, perempuan yang sedang haid tetap sah melakukan wukuf di Arafah. Hal ini karena satu-satunya rukun haji yang disyaratkan suci adalah tawaf.
“Jangan khawatir bagi perempuan yang wukuf tapi masih haid, maka wukufnya tetap sah. Hanya saja ia masih menanggung tawaf Ifadah yang disyaratkan untuk suci,” jelasnya.
Untuk tawaf Ifadah, ia harus menunggu hingga keadaan suci dari haid. Namun apabila menjelang kepulangan ke Tanah Air, jemaah perempuan masih dalam keadaan haid, maka menurut sebagian ulama, salah satunya Sayyid Muhammad Alawi Almaliki Almakkiyah, boleh bertawaf dengan syarat tertentu.
“Bagi perempuan yang mau tawaf Ifadah tapi ia masih dalam keadaan haid, sementara ia sudah harus segera pulang ke Tanah Air, maka ia bisa bertawaf dengan cara mandi sampai bersih lalu membalut haid hingga dipastikan tidak menetes di area tawaf dan area Masjidil Haram,” jelasnya.
Menurut Moqsith, kondisi ini tidak bisa dihindari karena bukan jemaah haji Indonesia yang mengatur kepulangan ke Tanah Air. “Kita sudah diatur oleh sistem kepulangan ke Tanah Air. Jadi yang belum dalam keadaan Tahallul penuh atau belum tawaf Ifadah, tapi dia masih masih berhalangan, maka diperbolehkan tawaf dalam keadaan haid dengan cara seperti itu,” paparnya.
Begitu pula, apabila jemaah haji perempuan yang masih haid hendak bergerak dari Madinah menuju Makkah, ia sudah bisa melakukan niat umrah wajib dari Bir Ali. Namun begitu sampai di Makkah, ia harus menunggu dalam keadaan suci untuk melakukan umrah wajib, dan tentunya menjaga keadaan ihramnya.
Selain haid, permasalahan lainnya adalah tawaf yang disyaratkan harus berwudhu, sebagaimana menunaikan salat. Ketika tawaf, potensi bersentuhan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram sangat tinggi karena berdesak-desakan.
Moqsith menjelaskan, untuk mengatasi hal ini, jemaah haji bisa mengganti mazhab wudhu dari Imam Syafi’i ke Imam Hanafi. Dalam mazhad Syafi’i, bersentuhan kulit antara lawan jenis yang bukan mahram bisa membatalkan wudhu. Sementara menurut imam Hanafi, bersentuhan kulit antara lawan jenis dan bukan mahram tidak membatalkan wudhu.
Moqsith menyebutkan, ada perbedaan antara salat dan tawaf. “Kalau salat tidak boleh bicara, makan dan minum, sementara tawaf boleh bicara, makan dan minum,” katanya.
Ditegaskan juga, ketika dalam keadaan ihram atau tawaf, perempuan harus melepas cadar karena wajah perempuan dan telapak tangan adalah bukan aurat.
Sumber: Kemenag RI