Kabarnusa24.com | JAKARTA – Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Mayjen TNI Nugraha Gumilar menjelaskan bantuan pengamanan dan keberadaan polisi militer (POM) untuk menjaga Gedung Kejaksaan Agung merupakan tindak lanjut dari MoU (memorandum of understanding) yang ditandatangani oleh kedua lembaga itu pada 6 April 2023 dan tidak terkait kasus dugaan peristiwa penguntitan terhadap Jampidsus oleh anggota Densus 88.
Senada dengan hal itu Menteri Koordinator Bidang Hukum dan HAM (Menko Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra menegaskan bahwa pelindungan Tentara Nasional Indonesia (TNI) kepada jaksa tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI.
Hal itu diatur secara jelas dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 66 Tahun 2025 tentang Pelindungan Negara terhadap Jaksa dalam Melaksanakan Tugas dan Fungsi Kejaksaan Republik Indonesia.
Yusril menjelaskan, tugas utama TNI dalam hal pertahanan negara tetap menjadi landasan hukum pemberian pelindungan tersebut. “Tidak bertentangan. Tugas TNI memang berkaitan dengan pertahanan negara,” ujarnya saat ditemui di Jakarta, Kamis (23/5/2024).
Ia menekankan bahwa pelindungan TNI diberikan dalam konteks ancaman strategis terhadap institusi kejaksaan, terutama saat jaksa menangani kasus-kasus berisiko tinggi seperti di daerah konflik atau wilayah ekonomi eksklusif.
Perpres 66/2025, yang ditandatangani Presiden Prabowo Subianto pada 21 Mei 2024, memisahkan secara tegas peran TNI dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dalam memberikan pelindungan.
Pasal 5 menyatakan bahwa Polri bertanggung jawab atas keamanan pribadi jaksa dan keluarganya, termasuk pelindungan tempat tinggal, kerahasiaan identitas, dan harta benda.
Sementara itu, Pasal 9 menegaskan bahwa TNI memberikan pelindungan secara institusional, seperti dukungan personel pengawalan dan bantuan operasional dalam kondisi strategis.
“Pelindungan oleh Polri bersifat personal, sedangkan TNI terlibat jika ancaman mengganggu stabilitas institusi kejaksaan, misalnya dalam penanganan kasus korupsi besar atau konflik bersenjata,” jelas Yusril.
Ia mencontohkan situasi di Papua atau zona ekonomi eksklusif, di mana jaksa rentan menghadapi tekanan dari pihak-pihak tertentu.
Perpres itu terdiri dari 6 bab dan 13 pasal, dengan Pasal 2 menjamin hak jaksa atas pelindungan negara dari ancaman fisik maupun nonfisik. Pelaksanaannya melibatkan koordinasi ketat antara Kejaksaan Agung, TNI, dan Polri untuk memastikan kepatuhan terhadap prinsip legalitas.
Yusril menekankan bahwa Perpres 66/2025 dirancang untuk memenuhi dua tujuan: memperkuat independensi kejaksaan dan mencegah penyalahgunaan wewenang. “Ini bukan soal militerisasi, melainkan penegakan hukum dalam kerangka UU TNI yang jelas,” tambahnya.
Kehadiran Perpres itu diharapkan memperjelas batasan pelibatan TNI dalam tugas sipil, sekaligus menjawab kekhawatiran atas tumpang tindih kewenangan. Pakar hukum tata negara menilai, aturan ini bisa menjadi preseden bagi penguatan kolaborasi institusi penegak hukum tanpa melanggar prinsip demokrasi.
Dengan demikian, pelindungan TNI terhadap jaksa tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga dirancang untuk memastikan kejaksaan dapat bekerja tanpa intervensi, khususnya dalam kasus-kasus yang berdampak pada keamanan nasional.
(Db)