Kabarnusa24.com | Aceh Utara –
Mahasiswa Aceh. Kebijakan penetapan 4 pulau yaitu Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang
ke provinsi sumatera utara itu adalah kebijakan yang sakit dari pola pikir Menteri Dalam Negeri . menurut Surat Nomor 136/40430 pada tahun 2017 yang inti surat tersebut menyatakan bahwa berdasarkan Peta Topografi TNI AD 1978, ke-4 pulau tersebut masuk ke dalam wilayah Aceh Pada tahun 2022, terus Kementerian Dalam Negeri melakukan revisi terhadap (Kepmendagri) Nomor 050-145 Tahun 2022 dengan Kepmendagri Nomor 100.1.1-6117 tahun 2022, namun lampiran Keputusan Menteri Dalam Negeri tersebut masih tetap menyatakan status wilayah administrasi Pulau Mangkir Ketek, Mangkir Gadang, Lipan, dan Panjang masuk dalam Kabupaten Tapanuli Tengah, masuk dalam Provinsi Sumatera Utara. Sampai penerbitan Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 keempat pulau tersebut tetap masuk dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara.
menurut zulfikar secara geografis, ke-4 pulau yaitu Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Lipan dan Pulau Panjang lebih dekat kepada daratan Kabupaten Tapanuli Tengah namun ketika verifikasi lapangan, tidak didapatkan bukti yang mendukung kepemilikan Kabupaten Tapanuli Tengah. ini membuktikan adanya kegamblangan dalam mengambil kebijakan, karena masyarakat nelayar disana juga mengikuti peraturan adat yang melarang untuk mengambil ikan di hari jummat. ini jelas sekali bahwa pulau tersebut emang kepemilikan adat aceh dan jelas masuk dalam wilayah Aceh dan hukum adat aceh. Ujar Zulfikar
zulfikar menilai Ada maksud tertentu dalam pulau tersebut maka lahirnya frasa “ada udang di balik 4 pulau”. sehingga ada pertemuan yang dilakukan secara persuasif oleh pemerintah Sumatera Utara untuk mengajak kelola bersama, pertanyaanya? ada apa, sehingga ada opsi untuk kelola bersama. apakah ini cuma jargon politik?
ketidakjelasan pengakuan pusat selalu mengucilkan aceh dan selalu menimbulkan kegaduhan masyarakat. dalam pemikiran liar dikepala saya, tidak bisa saya abaikan dugaan adanya kaitan dengan kepentingan kelola dan mengelola oleh pemeran kita sebut saja “Ayam Lama Pusat”. sehingga di benturnya dengan permasalahan status kepemilikan pulau untuk mempropaganda. padahal pusat bisa berpacu menurut Surat Nomor 136/40430 pada tahun 2017 yang inti surat tersebut menyatakan bahwa berdasarkan Peta Topografi TNI AD 1978.
ketika pengakuan terhadap pulau-pulau itu di gantung tanpa adanya kepastian, yang sebenarnya di mainkan adalah status kepemilikan, bukan kepemilikan daerah, bukan kepemilikan rakyat, bukan juga kepemilikan adat, tapi hanya ada kepemilikan berdasarkan tafsir kekuasaan, apakah ini hanya skenario yang sengaja di belok-belokan agar rakyat saling curiga dan elite masuk tanpa suara jejak. jelas zulfikar
Upaya mempertahankan 4 pulau Aceh harus segera di lakukan secara administratif dan segara mendapatkan kepastian hukum yang kuat. sehingga tidak ada lagi celah kepentingan, harus ada keberanian politik. koordinasi dan penyelesaian non litigasi tidak selalu menjadi jalan yang tepat, kadang menyimpan banyak celah kepentingan dan dapat menimbulkan lagi masalah ke depan jika ada salah satu oknum yang membuka jalan kepentingan kelola dan mengelola kedepan. ini adalah hal yang tidak masyarakat inginkan, “kelola bersama” hanya akan menjadi narasi manis di awal untuk mempelerai masalah yang mudah dijual ke publik. Ujar Zulfikar.
Zulfikar mendesak pemerintah Aceh “Meusaboh Pakat” dalam menyelesaikan kasus ini tanpa adanya ego kepintingan sektoral. ini bukan masalah peta dan wilayah saja, ini adalah menyangkut marwah daerah Aceh dan kehidupan berkelanjutan untuk anak bangsa aceh kedepan. pemerintah aceh harus benar” melakukan tindak andil dalam permasalahan ini, harapan masyarakat aceh jangan di jadikan sebagai luka. empat tanah kosong itu bukan tanah yang bisa di bagi-bagi dia menyimpan potensi besar untuk masa depan masyarakat aceh. Tutup zulfikar