Religi  

6 Landasan Al-Qur’an dalam Fatwa MUI Terkait Hukum Muslim Ikuti Perayaan Natal

6 Landasan Al-Qur'an dalam Fatwa MUI Terkait Hukum Muslim Ikuti Perayaan Natal

6 Landasan Al-Qur’an dalam Fatwa MUI Terkait Hukum Muslim Ikuti Perayaan Natal

KABARNUSA24.COM, Keberagaman agama di Indonesia merupakan salah satu bentuk dari kebhinekaan, identitas utama bangsa Indonesia. Kebhinekaan sendiri menuntut kesadaran terhadap perbedaan, termasuk perbedaan dalam keyakinan, sehingga sebagai warga negara Indonesia kita harus saling menghormati keyakinan satu sama lain.

Dalam Islam, tidak ada larangan sama sekali untuk bergaul dan bermu’amalah dengan umat agama lain. Bahkan kita dianjurkan untuk saling menghormati, bekerja sama, dan menjaga hubungan baik dengan non-muslim dalam masalah-masalah duniawi.

Namun, bagaimana dengan masalah aqidah atau peribadatan? Misalnya mengikuti perayaan natal bersama orang-orang kristen. Apakah ikut perayaan Natal bersama umat kristen diperbolehkan?

Berhubungan dengan ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah sejak lama mengeluarkan Fatwa tentang hukum Perayaan Natal Bersama yang ditetapkan di Jakarta, 7 Maret 1981 M.

Dalam fatwa tersebut, MUI menegaskan bahwa mengikuti upacara Natal bersama bagi umat Islam hukumnya haram. Hal ini semata-mata bertujuan agar umat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah Swt untuk ikut serta dalam ritual peribadatan agama lain, seperti halnya Natal.

Setidaknya ada 6 alasan berlandaskan ayat Al-Qur’an yang menjadi pijakan keharaman umat Islam mengikuti perayaan natal bersama. Di antaranya:

1. Umat Islam diperbolehkan untuk bekerja sama dan bergaul dengan umat-umat agama lain dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan masalah keduniaan, berdasarkan: Qs. Al-Hujurat [49]: 13, Qs. Luqman [31]: 15, dan Qs. Muntahanah [60]: 8.

2. Umat Islam tidak boleh mencampuradukkan aqidah dan peribadatan agama-nya dengan aqidah dan peribadatan agama lain, berdasarkan: Qs. Al-Kafirun [109]: 1-6 dan Qs. Al-Baqarah [2]: 42.

3. Umat Islam harus mengakui kenabian dan kerasulan Isa Al-Masih bin Maryam sebagaimana pengakuan mereka kepada para Nabi dan Rasul yang lain, berdasarkan: Qs. Maryam [19]: 30-32, Qs. Al-Maidah [5]: 75, dan Qs. Al-Baqarah [2]: 285.

4. Siapa yang berkeyakinan bahwa Tuhan itu lebih dari satu, Tuhan itu mempunyai anak dan Isa al-Masih itu anaknya, maka orang itu kafir dan musyrik, berdasarkan: Qs. Al-Maidah [5]: 72-73 dan Qs. At-Taubah [9]: 30.

5. Allah pada hari kiamat nanti akan menanyakan Isa, apakah dia pada waktu di dunia menyuruh kaumnya, agar mereka mengakui Isa dan ibunya (Maryam) sebagai Tuhan. Isa menjawab “tidak”. Hal itu berdasarkan: Qs. Al-Maidah [5]: 116-118.

6. Islam mengajarkan bahwa Allah SWT itu hanya satu, berdasarkan: Qs. Al-Ikhlas [112]: 1-4.

Maka dari itu, sebagai umat Islam, kita harus bijak dalam membedakan mana perkara aqidah dan mana perkara mu’amalah, mana hal-hal yang menjadi prinsip agama dan mana hal-hal yang berhubungan dengan interaksi sosial.

Cara bertoleransi, menghargai, dan menghormati umat agama lain adalah dengan bergaul dan berinteraksi dengan baik dalam masalah-masalah keduniaan. Bersama membangun negeri, mencapai kemaslahatan dalam bermasyarakat, dan menjaga kerukunan antarumat beragama.

Akan tetapi, dalam perkara aqidah dan ritual peribadatan kita tidak boleh mencampuradukkan agama kita dengan agama lain. Juga tidak boleh ikut-ikutan ritual dan kegiatan peribadatan agama lain. Seperti dalam firman Allah Swt:

‎لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ

“Untukmu agamamu dan untukku agamaku.” (Qs. Al-Kāfirūn [109]:6)

 

Sumber: Majlis Ulama Indonesia (MUI)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *